Senin, 05 November 2018

Dato' Dato', Bonting-Bonting, Kanana'

Diskripsi Boneka Melayu
Dato' Dato', Bonting-Bonting, Kanana' 


Boneka merupakan salah satu peninggalan budaya masyarakat dan jejak kebudayaan. Boneka sendiri memiliki simbolisasi tersendiri dan makna - makna terpendam terhadap kearifan lokal yang ada di lapisan masyarakat. Awal mula peradaban sudah mencatatkan mengenai kepercayaan animisme dan dinamisme, sebelum agama dan keyakinan di Wahyu - kan. manusia mencari jati dirinya sendiri untuk mengetahui darimanakah dia berasal, sehingga menempatkan sebuah boneka pada diskripsi mengenai Sang Leluhur dan Sang Pencipta. Makna selanjutnya pada perkembangan zaman meletakkan makna boneka pada kebutuhan tersier sebagai hiburan, hasil seni dan barang komoditas, karena manusia sudah mengetahui siapa Sang Pencipta tersebut (Sudah mengenal Agama), sehingga kepercayaan terhadap benda sudah mulai ditinggalkan.
Selain Boneka sebagai Kebutuhan Tersier , boneka juga mempunyai sisi mitologi yang masih dipertahankan oleh beberapa kalangan pelestari Budaya, misalnya boneka Jalangkung yang terkenal di tanah Jawa.



Salah satu contoh Boneka pada zaman manusia masih memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme, boneka dengan bentuk perempuan sebagai perwujudan ibu bumi (dewi bumi) 



Demi melestarikan budaya tersebut penulis mencoba memcatatkan kajian mengenai boneka yang pernah ditemui di perantauan. Salah satu destinasi tempat yaitu Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan,  yang memiliki kekayaan sejarah dan Budaya. di Tanah To'Ugi ( Bugis) ini ada salah satu kekayaan khasanah Budaya yang sempat di Catatkan , yaitu mengenai Boneka di Tanah Sulawesi (Celebes) . Pada masa ini cuma dikenal 2 boneka saja di Sulawesi yaitu ; pertama yang paling terkenal adalah Tau-Tau dari Toraja ( biasanya diletakkan di pemakaman) dan boneka khas Suku Bugis untuk upacara pernikahan yang dinamakan Kanana'. Sebenarnya ada bayak jenis Boneka di Kebudayaan Bugis dan Sulawesi, dibawah ini merupakan beberapa boneka yang sempat dicatatkan  oleh penulis dalam perjalananya.     




1. Dato'Dato' 
adalah para roh penjaga lokal di Tanah Melayu. Salah satu variasi namanya adalah Datok atau Datuk (Datok Gong), berasal dari bahasa Melayu yang memiliki arti 'kakek'. Nama Datuk digunakan sebagai panggilan kehormatan, demikian pula gelar Gong juga merupakan gelar kehormatan. Salah satu versi asal mula pemujaan Na Du Gong adalah bahwa mereka berasal dari pemujaan Tu Di Gong yang berasal dari China[1] dan Datuk Keramat yang merupakan dewa asli Melayu. 



Boneka Dato' Dato' Pakaian yang digunakan lebih berkesan dengan ciri khas pakaian dari Sulawesi atau pakaian adat Bugis.  


Boneka Dato' Dato' 


Boneka Dato' Dato' 


Boneka Dato' Dato' Lebih tampak dari pakaian yang digunakan berasal dari Suku Bugis


Boneka Dato' Dato' 


Boneka Dato' Dato' 


Boneka Dato' Dato'  Busana lebih berkesan Cina Selatan ( Champ) 


Boneka Dato' Dato' Pakaian yang digunakan lebih berkesan Suku Makassar dari Sulawesi 





2. Bonting-bonting
Boneka Pengantin yang ada di kebudayaan Melayu, dibuat berpasangan antara laki - laki dan perempuan, dengan hiasan nan mewah. kedua boneka ini biasanya diletakkan di sisi kanan kiri dari sepasang pengantin untuk syarat ritual adat pengantin. kepercayaan yang masih kental dengan animisme dan dinamisme. keluarga sang pengantin memiliki kepercayaan jika kedua boneka tersebut merupakan syarat untuk membuat hubungan kedua pengantin tersebut langgeng dan awet hingga akhir hayat nantinya.  



Boneka Pengantin Laki - laki memakai pakaian adat Melayu dengan hiasan mewah dan ikat kepala yang indah. Beberapa bagian dihiasi oleh logam mulia dan permata. 


Boneka Pengantin Perempuan memakai pakaian adat Melayu dengan hiasan dan ikat rabut yang indah. Beberapa bagian dihiasi oleh logam mulia, manik-manik dan permata. 



3. Kanana / Kananak 
Boneka Permainan dari Suku Bugis, boneka ini biasanya dimainkan oleh anak kecil. Mainan zaman dulu kala yang terlupakan dan sudah punah, tersisa hanya foto-foto peninggalan Belanda.


Boneka Kananak dari bahan Kain 


Boneka Kananak dari bahan daun lontar yang dianyam


4. Tau Tau. 
Tau-tau adalah patung yang dipahat dari kayu. Patung ini dikenal dalam masyarakat Toraja sebagai personifikasi orang yang telah meninggal.Pembuatan patung ini terikat pada berbagai ketentuan religius: mulai dari memilih dan menebang pohon nangka; manglassak, sebuah ritus untuk menentukan jenis kelamin boneka yang dibuat; disabu, sebuah ritus untuk menahbiskan tau-tau. Pembuatan tau-tau tidak boleh dikerjakan oleh sembarang orang. Sepanjang proses pembuatan ini, diwajibkan bagi yang membuat untuk mengerjakannya dekat dengan jenasah. Patung yang dibuat harus menyerupai orang yang meninggal. Patung ini hanya dapat dibuat bagi para bangsawan atau tana' bulaan, alasannya ialah patung tersebut merupakan representasi dari orang yang meninggal dan oleh karena itu harus disembah menurut statusnya. Melalui patung ini, interaksi dianggap tetap berlangsung karena tau-tau dianggap menampakkan persekutuan yang langgeng antara orang hidup dengan orang mati. 

Boneka Tau-Tau



foto atas; Pengrajin Tau - Tau dan Foto bawah; jejeran Patung Tau - Tau sebagai simbol Penghargaan bagi jasa - jasa leluhur yang pernah hidup. Supaya semangat mereka terus terkenang. 



Sumber; 
Theodorus Kobong. 2008. Injil dan Tongkonan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
https://video.medcom.id/newsline/5b2qAovN-kanana-boneka-tradisional-tanah-daeng
https://rakyatsulawesi.co.id/lontara-dalam-gelar-boneka-bugis-makassar-semarakkan-hut-ri-ke-72/











Senin, 30 Juli 2018

Mitos Panjarungang

Badik Panjarungang 

Kisah mitos mengenai Badik Panjarungang
Panjarungang merupakan salah satu nama desa di wilayah Sulawesi Selatan 


Badik Makassar sendiri terdiri dua jenis yakni Taeng dan Panjarungang. Hal ini Berdasarkan tempat dimana badik ini ditempa. Secara fisik antara Taeng dan Panjarungang tampak sama kecuali bagian bawah atau perut. Taeng memiliki ciri khas memiliki perut yang lebar atau mirip dengan perut buncit, sementara Panjarungang memiliki perut yang tidak terlalu buncit.


Kalau bicara badik Makassar maka cuma ada dua jenis yaitu Taeng dengan Panjarungang dan kedua jenis ini memiliki hubungan sejarah sehingga harus ditempa dari dua tempat yang berbeda





Taeng sendiri merupakan nama sebuah kampung di mana badik ini secara awal mula ditempa dan diproduksi secara massal. Taeng saat ini berada di Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Sementara Panjarungang saat ini adalah nama sebuah Dusun di Desa Massamaturu, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar. Konon badik Taeng dikenal ganas dan haus darah dan dikenal harus menyentuh darah jika dalam perkelahian badik Taeng ini terhunus dari sarungnya. Dan yang mampu menjinakkan Taeng ini hanya Badik jenis Panjarungang. "Memang faktanya begitu yang bisa menjinakkan Taeng kalau mengamuk hanyalah Panjarungang,


Sumber : 
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Badik, antara Fakta dan Mitos", https://regional.kompas.com/read/2017/10/17/08321831/badik-antara-fakta-dan-mitos


Penulis : Kontributor Bone, Abdul Haq




Badik Panjarungang koleksi R. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. 
Hiasan dari logam Kuningan dengan ukiran khas motif bunga teratai menyamping Karya Daeng Serang (kampung Pampang )  




Badik Panjarungang, bentuk fisiknya ramping meruncing dengan bagian belakang agak sedikit mengembang gemuk dengan pamor berurat ujung / Uretuwo. ujung - ujung urat berakhir di pujuk badik dengan bagian bawah tajam hitam dari baja gantung ciri khas badik. informasi dari pemiliknya awal badik ini ditempa di wilayah Pangkep tetapi penempanya tidak diketahui.

Badik dari Pangkep berbeda dengan badik yang ditempa di wilayah Luwu, perbedaanya terdapat dari tipe baja gantung pada sisi tajamnya, jika ditempa di wilayah Luwu, maka baja gantungnya cenderung lebih hitam karena wilayah Luwu menggunakan baja gantung khusus atau baja tua. sebenarnya untuk tipe pembuatan lebih khusus bisa dipesan kepada Pandre (Mpu) nya pembuat badik.   




Festival Pusaka Nusantara Sulawesi Selatan

Festival Pusaka Nusantara Sulawesi Selatan
Benteng Ujung Pandang ( Ford Rotterdam ) Kota Makassar 
27 - 29 juli 2018 



Seputar Benteng Rotterdam

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.



Pameran Bilah Pusaka Sulawesi Selatan

Pameran bilah Pusaka Sulawesi yang diikuti dari berbagai komunitas pusaka se Sulawesi. Hal ini merupakan cara untuk melestarikan sejarah maupun budaya di wilayah Sulawesi. selain itu Pusaka merupakan peninggalan secara turun temurun yang memiliki cerita tersendiri, mulai dari sejarah keluarga maupun sejarah penempanya. 


Foto bersama dengan Para anggota Komunitas Pusaka Sulawesi dari berbagai daerah, khusunya wilayah Sulawesi Selatan. Komunitas pencinta pusaka ini merupakan Kolektor - kolektor benda bersejarah, selain itu terdapat komunitas pemaharan benda pusaka dan para Pandre (Mpu) atau orang yang ahli dalam pembuatan Pusaka. 


Bursa aksesories pusaka, pakaian adat, tosan aji, Keris dan Pusaka. selain Pameran 1000 lebih bilah pusaka  juga terdapat beberapa stand bursa dan pemaharan pusaka, bukan hanya pusaka saja tetapi juga ada beberapa aksesories pusaka yang terbuat dari logam (emas, perak, kuningan, dan tembaga) seperti kalasa, kili-kili, cincin wanua, hulu (dari logam, tulang , gading, kayu dan tanduk) sarung badik ukiran logam, dan jenis aksesories lainnya.  


Persiapan Kirab Pusaka dari Losari Ke Beteng Ujung Pandang. kontingen terdiri dari siswa - siswi dari berbagai sekolah di wilayah Kota Makassar, dewan adat, komunitas Pusaka, juga berbagai kelompok seni budaya di Kota Makassar dan sekitarnya.  



Pengunjung Melihat Keindahan Pesona Pusaka Sulawesi. Selain indah dan memiliki beragam jenis Pusaka sulawesi juga memiliki cerita tersendiri mulai dari peninggalan leluhur, peninggalan keluarga dari berbagai kerajaan, barter maupun hasil pemaharan, didapat dalam suasana mistik, didapat di lokasi eks perang zaman penjajahan, tempaan baru dari para Pandre - Pandre handal  dan berbagai cerita sejarah yang menyelimuti pusaka - pusaka tersebut.   



Pesona Pusaka Sulawesi. terdapat beberapa pusaka yang dikenakan kain di tempat pameran tersebut. Kain - kain itu memiliki makna antara lain.



Masing-masing warna kain, warna hitam, merah, putih dan hijau (yang bahannya asli katun, bukan tetiron) dan kain kuning yang mengkilat (nilon) memberikan pengaruh sendiri-sendiri terhadap pusaka. Uraiannya sbb :



1. Kain merah terang dapat menaikkan "power" pusaka, dalam arti dapat menaikkan aura galak dan berwibawa dari kerisnya.
2. Kain putih bersifat netral.



3. Kain hijau tua dapat menambah keteduhan aura pusaka

4. Kain kuning mengkilat, dapat menambah karisma keagungan / aura keningratan.

5. Kain Hitam dapat meningkatkan kekuatan gaib pusaka (menambah kepadatan energinya, menurunkan aura panas pusaka dan menambah kekerasan watak khodam nya. 





Barisan Pusaka Badik, Gecong, Calabai, Sonri, Toasi,  dan Lameng.





  

Minggu, 01 April 2018

KERIS 2018


(Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta) 
2018 

Pataka BRATASURA dibawa oleh Bapak Sentot Hernowo 

Rapat Pengurus dan Reorgenerasi Pengurus BRATASURA February 2018 : 

Pembentukan pengurus baru di Gedung Balai BRATASURA , kompleks Museum Keris Surakarta. 
Jalan Bhayangkara No.2, Sriwedari, Laweyan, Sriwedari, Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57141








Sumber Foto ; Bapak Yarmasto . 




http://www.eventsolo.com/Wisata/Solo/Museum-Keris-Solo.html
http://theurbanmama.com/articles/museum-keris-surakarta-B85920.html
https://www.kompasiana.com/winzocean18/599bdf15ff2405254370ef62/asyiknya-belajar-sejarah-di-museum-keris-nusantara









Seputar Komunitas Keris di Surakarta #2

BRATASURA 
(Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta) 
Sejarah , Awalmula , Fakum dan Berkembang Kembali 

Pendahuluan

Manajemen merupakan suatu ilmu dan seni, mengapa disebut demikian, sebab antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Manajemen sebagai suatu ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari sejak lama, dan telah diorganisasikan menjadi suatu teori. Hal ini dikarenakan didalamnya menjelaskan tentang gejala-gejala manajemen, gejala-gejala ini lalu diteliti dengan menggunakan metode ilmiah yang dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang diujudkan dalam bentuk suatu teori. Sedang manajemen sebagai suatu seni, disini memandang bahwa di dalam mencapai suatu tujuan diperlukan kkerja sama dengan orang lain, nah bagaimana cara memerintahkan pada orang lain agar mau bekerja sama. Pada hakekatnya kegiatan manusia pada umumnya adalah managing ( mengatur ) untuk mengatur disini diperlukan suatu seni, bagaimana orang lain memerlukan pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama.
Di dalam dunia seni rupa ketika berkarya dianggap sebagai kegiatan ekonomi maka karya yang dihasilkan disebut sebagai produk ekonomi, bernilai tukar dan bisa diperjualbelikan, menghasilkan laba, direproduksi secara terus menerus, dll. Di lain pihak, dunia usaha cenderung lebih membutuhkan praktisi ketimbang teoritisi (baca: kritikus, sejarawan seni), outputnya bisa segera tampak, yaitu: hasil produksi yang seragam karena reproduksi yang sama, terus-menerus, atau peniruan sebagai konsekuensi atas permintaan pasar. Produksi (supplay) akan terus-menerus terjadi dan harga akan naik ketika permintaannya tetap tinggi. Kemudian proses peniruan dan atau proses reproduksi tidak terbatas pada produknya tetapi juga pola proses transaksi jual belinya. Pengelolaan dengan tujuan ekonomi dalam dunia seni rupa, telah sangat menguntungkan. Situasi ini akan memunculkan spekulasi karena penyandang dana tidak mau kehilangan keuntungan atas investasi yang telah ditanamkan. Keinginan utama dari investor adalah meminimalkan risiko dan meningkatkan perolehan.
Asumsi umum bahwa investor individu yang rasional adalah seorang yang tidak menyukai risiko, maka investasi yang berisiko harus dapat menawarkan tingkat perolehan yang tinggi, oleh karena itu investor sangat membutuhkan informasi mengenai risiko dan pengembalian yang diinginkan. Dalam situasi ini maka maraknya lelang karya seni menjadi peristiwa yang logis sebagai alat penyedia informasi mengenai harga-harga. Namun informasi yang disediakan sekaligus menjadi pisau bermata dua bagi lapisan yang mengalami pencerahan kedua atau selanjutnya. Masalah yang terjadi adalah kegagapan kelas. Karena investor kedua atau yang selanjutnya itu, sebenarnya adalah pasar bagi investor yang telah maju lebih dahulu. Peristiwa ini terjadi karena tidak adanya kesadaran akan perbedaan nilai-nilai sosial dan ekonomi pada lapisan-lapisan yang berbeda. Istilah trendinya “culture shock”. Beberapa karya seni pada suatu saat bisa terjual lebih tinggi tinimbang nilai naturalnya. Misalnya; sama-sama hasil karya seni yang berupa Tosan Aji, atau umum disebut dengan Keris. Hal yang membuatnya sehingga disebut culture shock adalah sama-sama berasal dari pembuat yang sama, diperjualbelikan di kalangan pasar Tosan Aji dengan diperjual belikan di kalangan para pejabat dengan tambahan beberapa aksesoris yang bernilai. Dari hal tersebut sudah jelas harga yang ditentukan dalam kalangan pasar akan lebih rendah dari pada yang diperjualbelikan di kalangan pejabat.
Dalam yayasan Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta merupakan yayasan yang menaungi para pedangan di kalangan pasar dan pencipta, karena merekalah yang sering dirugikan oleh kalangan tengkulak yang berada di level atas. Hal tersebut dapat diandaikan seperti contoh sering nampak pada produk kebutuhan pokok di masyarakat umumnya. Bedanya dalam hal Tosan Aji (Keris)  bukan barang pokok melainkan barang kebutuhan tersier  yang kebutuhannya dapat dicukupi sewaktu-waktu jika diperlukan. Hal ini telah melenceng jauh dengan terbuktinya barang yang merupakan karya seni sebagai warisan budaya, penanda tingkatan status sosial (pangkat) dan pelengkap busana adat beralih fungsi sebagai barang dagangan, bahkan komoditi eksport setara dengan barang souvenir atau cindera mata lainnya, walaupun perdagangannya masih dalam jumlah terbatas.  

BAWARASA TOSAN AJI SURAKARTA
(BRATASURA)

  1. Sejarah Singkat Organisasi Keris di Surakarta
Di awal abad ke XX organisasi modern yang tumbuh di masyarakat merupakan kekuatan baru untuk memperjuangkan bidang politik, ekonomi dan budaya. Dulunya organisasi moderen tidak dikenal pada struktur feodal aristokrat sebelum abad ke XX. Kultur Komite dibentuk merupakan organisasi yang bergerak dalam pelestarian kebudayaan, beraktifitas secara rutin di tahun duapuluhan sampai tiga puluhan. Organisasi itu selalu mengadakan pertemuan membicarakan masalah kebudayaan di museum Radya Pustaka Surakarta. Pada pertemuannya mengupas masalah kebudayaan Jawa[1] Kultur Komite terdiri berbagai kalangan baik orang pribumi maupun orang Belanda. Organisasi itu sangat berguna banyak memberikan dasar-dasar tumbuhnya organisasi kebudayaan serupa di Surakarta dikemudian hari[2].
Tahun lima puluhan setelah keadaan politik dan ekonomi Indonesia sudah mulai stabil, masyarakat Surakarta kembali menata diri dalam bidang kebudayaan dan kesenian. Hilangnya empu keris membuat masyarakat pecinta keris mencoba mengorganisir diri dengan membentuk organisasi formal sebagai wadah organisasi budaya seperti kultur komite. Organisasi pecita keris berdiri pada tahun 1952 memperjuangkan tujuannya guna melestarikan pengetahuan dan pelestarian keris di Surakarta, dengan nama Paguyuban Bawarasa Tosan Aji. Paguyuban itu didirikan oleh beberapa orang mantan anggota kultur komite, anggotanya dari kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian dengan kelangsungan perkembangan keris di Surakarta. Bawarasa Tosan Aji merupakan organisasi yang berkecimpung dalam bidang kajian tentang keris, dipimpin oleh Pangeran Sumodiningrat, RMA Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwijaya. Anggotanya terdiri dari kalangan pecinta keris dari Keraton Surakarta, para saudagar dan masyarakat umum.[3] Paguyuban Bawarasa Tosan Aji dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, pertemuan dilakukan setiap bulan di rumah para anggota dari berbagai kalangan.
 Kegiatan tersebut berlangsung sampai pada pertengahan tahun enampuluhan. Sayangnya setelah situasi politik memanas setelah meletusnya G 30 S PKI tahun 1965, Bawarasa Tosan Aji menghentikan kegiatanya karena situasi tak lagi kondusif. Hal ini disebabkan oleh situasi pasca G 30 S tahun 1965, Surakarta berada di bawah kekuasaan Panglima Penguasa Perang. Pada situasi itu menerapkan jam malam dan membatasi orang berkumpul dan berserikat. Orang yang akan melakukan pertemuan di siang hari, melebihi jumlah lima orang harus ada izin khusus dari Penguasa Perang. Situasi politik saat itu tidak memberikan peluang untuk mengadakan pertemuan rutin untuk membicarakan keris kemudian organisasi itu beku. Kebekuan ini berlangsung cukup lama sampai pada tahun 1970, cita-cita semula sebagai awal dari kemunculan kembali empu keris di Surakarta kenyataanya terhenti di tengah jalan, karena situasi dan kondisi politik pada saat itu.


  1. Lahirnya BRATASURA
BRATASURA atau singkatan dari Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta merupakan yayasan yang bergerak pada sektor Seni dan Budaya khususnya dalam  pelestarian Tosan Aji. Yayasan ini merupakan wadah dari semua komunitas perkerisan di Kota Surakarta, gunanya untuk mempersatukan seluruh pecinta keris, kurator, pedagang keris, pengkoleksi keris dan segala perwakilan dari lapisan masyarakat yang mempunyai minat dan pecintaan untuk melestarikan warisan budaya tersebut. Demi tetap terjaganya martabat dan nilai-nilai luhur pakerisan, akhirnya forum Bawarasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) resmi melantik susunan kepengurusannya periode 2013-2017 di Bale Tawangarum, Balaikota Surakarta, Sabtu 2 Februari 2013.
Empu Daliman Puspabudaya sebagai ketua Bratasura menjelaskan ada tiga tujuan utama pendirian forum Bratasura. Yang pertama supaya kegiatan pakerisan di Solo tetap bisa terlaksana secara berkesinambungan, kedua untuk menjaga martabat dan nilai luhur pakerisan. Sedangkan yang terakhir untuk meningkatkan nilai ekonomis pakerisan itu sendiri. Kehadiran Bratasura diharapkan sekaligus juga sebagai media edukasi masyarakat, yang ingin belajar mengenai seluk beluk keris, mulai dari proses pembuatan, hingga ragam jenis keris.[4] Kesekretariatan BRATASURA beralamatkan di Sekretariat : Jl. Singosari Selatan 1 No. 5 Nusukan, Surakarta. Dengan akte pendirian yayasan dengan akte notaris no. 21. Sedangkan untuk areal yang digunakan sebagai workshop atau padepokannya untuk membuat keris adalah Padepokan Meteor Putih yang beralamatkan di Bonorejo rt.01/rw.02, Gondangrejo, Plesungan, Karanganyar, Surakarta.   
Dalam keorganisasiannya, BRATASURA mencakup beberapa bidang, bidang-bidang tersebut terbai menjadi tiga divisi bidang terkait yang saling melengkapi dalam formasinya. Bidang-bidang tersebut di antaranya  bidang divisi 1 meliputi bidang ekonomi kreatif dan bidang pembinaan profesi, bidang divisi II meliputi bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan,  bidang hukum dan kerja sama antar lembaga dan hubungan masyarakat, dan terakhir bidang divisi III meliputi bidang umum dan bidang pendokumentasian tosan aji. Setiap bidang mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda-beda menurut pengaturannya dari pihak pembina bidang atau sering disebut koordinator bidang.

  1. Susunan Keorganisasian
Seperti keorganisasian pada umumnya, susunan kepengurusan Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) memiliki, dewan pembina, ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi bagian, kadang seksi-seksi tersebut bisa dikatakan sebagai divisi atau bagian unit kerja. Dewan pembina Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) yang disebut di dalam organisasi ini adalah para senior atau sesepuh Mpu (pembuat keris dan para ahli lainnya) yang mengayomi dan memberikan dukungan terhadap pembentukan Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA). Para sesepuh tersebut terdiri dari Sekretriat Bersama Paguyuban Keris Jawa Tengah (KERTABRATA), Sekretariat Nasional Keris Indonesia (SNKI), Paguyuban Pedagang Keris Surakarta (PASUPATI), FEBERTAS Balai Soedjatmoko,   Mpu Keris senior dari Padepokan-padepokan keris di Surakarta, dan peneliti keris. Para perwakilan organisasi tersebut merupakan kesatuan unit pembina yang bertugas memantau kegiatan Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA).
Setelah pembina, kepengurusan selanjutnya dipegang oleh ketua sebagai penggerak dari kegiatan yang diusulkan oleh para pembina tersebut. Ketua Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) dibantu oleh dua orang sekretaris dan segala manajemen keuangannya dipegang oleh pihak bendahara. Setiap kegiatan lalu dilanjutkan dan dikoordinasikan kepada para divisi bidang antara lain:          
  1. Bidang I
a)     Bidang ekonomi kreatif
Bidang ini merupakan pengayom pada anggota Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) yang merupakan pedangan keris, karen selama ini para pedagang keris belum adanya keorganisasian. Bidang ekonomi kreatif bertujuan agar para pedagang keris, mranggi (pembuat warangaka keris), kemasan, pembuat pendok keris, pembuat mendak dan selut keris dapat terwadahi.
b)     Bidang pembinaan profesi
Bidang pembinaan profesi bertujuan agar para mranggi (pembuat warangaka keris), kemasan, pembuat pendok keris, pembuat mendak dan selut keris dapat mempunyai penerus ataupun penggarap yang dapat mewarisi keahlian tersebut, megingat hampir punahnya keahlian tersebut dan hanya beberapa orang tertentu saja yang dapat membuatnya. Tujuan dari bidang ini adalah membina generasi muda untuk dapat mempelajari dan menguasai keahlian tersebut.   
  1. Bidang II
a)      Bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan
Bidang ini merupakan bidang yang bertugas memberikan rancangan penulisan, makalah dan lainnya ketika seminar dilaksanakan. Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) melaksanakan seminar yang diagendakan setiap tahunnya. Anggota dari bidang ini merupakan para peneliti,penulis dan kuratorial.
b)      Bidang hukum dan kerja sama antar lembaga dan hubungan masyarakat.
Bidang ini merupakan naungan hukum dari Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA), selain itu juga merupakan jaringan yang menghubungkan Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) kepada yayasan atau organisasi lainnya.  
  1. Bidang III
a)      Bidang umum
Bidang ini merupakan bidang pendukung yang mempunyai kewajiban dalam melaksanakan tugas sewaktu-waktu, dan dapat menggantikan jika ada panitia ataupun anggota yang berhalangan hadir dalam acara-acara resmi, misalnya merangkap kesekretariatan dalam seminar, tenaga pendamping dalam pameran atau workshop,pendukung dalam acara kirab ataupun festival budaya, dan tugas-tugas lainnya.
b)      Bidang pendokumentasian tosan aji
Bidang pendokumentasian terbagi dalam dua kategori, bidang dokumentasi audio visual, dan dokumentasi cetak. Perkembangan selanjutnya mengacu pada pendokumentasian dan penulisan pada website di internet. Tugas dari bidang ini adalah mendokumentasikan setiap detai dari keris dan perangkatnya sesuai dengan petunjuk kurator, anggota yang terpilih merupakan anggota yang mempunyai bekal pada bidang media rekam, dan mampu mengetahui seluk beluk perkerisan, sehingga walaupun tanpa bimbingan dari kurator, dapat memdokumentasikan secara detail.



  1. Logo dan Simbol



Logo dari Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta
Sumber; Doc. Sekretariat BRATASURA

            Logo dari Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA)  merupakan penggambaran dari kehidupan di komunitas perkerisan di Kota Surakarta. Penggambaran dari semangat para pecinta, kolektor, pedagang, kurator, peneliti dan pengkaji keris baik itu merupakan keris Surakarta maupun keris dari wilayah lain, keris Kamardikan maupun keris peninggalan yang merupakan artefak pada masa lampau. Simbol gambar Blangkon gaya Kraton Kasunanan Surakarta merupakan tanda bahwa pendiri  Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) adalah masyarakat Kota Surakarta, simbol padi dan kapas merupakan penjelasan dari kemakmuran masyarakat yang dapat diciptakan dan slalu akan terjadi di kalangan anggotanya, termasuk kemakmuran dari setiap anggota Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA).  Gambar Keris gaya Surakarta, menyimbolkan bahwa Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) didirikan di Surakarta dan ruang lingkupnya untuk keris di wilayah Kota Surakarta dan sekitarnya, walaupun pada akhirnya nanti perkembangannya akan mengkaji keris di wilayah dalam maupun luar pulau Jawa. Lingkaran kuning merupakan arti dari tanah yang subur dan makmur. Pita merah dan putih menyimbolkan naungan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbentuk melingkar merupakan wadah dan naungan serta perlindungan dari keseluruhan hasil karya seni tersebut.  


SUSUNAN PENGURUS BAWARASA TOSAN AJI SURAKARTA
(BRATASURA)
PERIODE TH. 2012 – 2017
No.
JABATAN
NAMA
1.     
PELINDUNG
WALIKOTA SURAKARTA
2.     
REKTOR ISI SURAKARTA
3.     
PENASEHAT

FX HADI RUDYATMO
4.     
SEKDA KOTA SURAKARTA
5.     
KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
6.     
DEKAN FAKULTAS SENI RUPA DAN DESIGN ISI SURKARTA
7.     
PEMBINA
FAUZAN PUSPO SUKADGO
8.     
JOKO SUYANTO
9.     
HARDJO SUWARNO
10. 
RONGGOJATI
11. 
SUKAMDHI
12. 
YANTONO
13. 
BENNY ROOSMADHI
14. 
KETUA
DALIMAN
15. 
WAKIL KETUA I
AGUS TRIATMODJO
16. 
WAKIL KETUA  II
BAMBANG .S
17. 
SEKERTARIS
BAMBANG  TETUKO WIBOWO
18. 
SUGIYARMASTO  .M.M
19. 
BENDAHARA
ADY SULISTYONO
20. 
WARSITO SUPADMO
21. 
BIDANG EKONOMI KREATIF
AGUS SRI WIBOWO
22. 
WARINI
23. 
BIDANG PENDIDIDKAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
JOKO SURYONO
THOMAS P. HAROYO
ADI PRABOWO
KUNTADI WASI DARMOJO
24. 
25. 
26. 
27. 
BIDANG PEMBINAAN PROFESI
BANDI
SUYANTO WIRYO CURIGO
PARKUS SUMANTO
SUYANTO .P
28. 
29. 
30. 
31. 
BIDANG HUKUM DAN KERJA SAMA
ANTAR LEMBAGA DAN HUMAS
DARYONO
BENY HATMANTORO
ANDRY  WIJAYA
MUFTI RAHARJO
32. 
33. 
34. 
BIDANG UMUM


BIDANG PENDOKUMENTASIAN

SENTOT HERNOWO
35. 
DWI BUDI PURNOMO
36. 
SIGIT YUNARKO
37. 
MARYONO
38. 
CAHYA SURYA HARSAKYA
















Kesimpulan

Keris merupakan warisan luhur dari hasil kebudayaan dan kesenian di Indonesia, peninggalan hasil karya Nusantara yang mendapat penghargaan dunia Internasional oleh UNESCO sebagai hasil kekayaan milik bangsa Indonesia.  Keris merupakan suatu hasil karya seni yang harus tetap terjaga kelestariannya. Keris tidak bisa berdiri sendiri, melainkan dari berbagai unsur kesatuan yang melibatkan banyak penggarapnya, antara lain seorang Mpu dan para Panjak-nya (beberapa pembantu dalam pembuatan keris) beserta beberapa cantrik nya (murid Mpu pembuat keris, Mranggi (pembuat warangka), seorang pengukir garan (handle atau pegangan  keris), kemasan (ahli logam mulia seperti emas), tukang penatah (ukir)  pendok dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara dan pengumpulan data yang diperoleh dalam penulisan manajemen seni di Organisasi Bawarasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) adalah bentuk manajemen modern dengan pengembangan kegiatan yang cakupannya terhadap pelestarian tradisi dan budaya di Kota Surakarta. Dari situlah organisasi ini bergerak khususnya pada pelestarian hasil budaya dan karya seni bangsa, yaitu Tosan aji. Kegiatan Organisasi ini juga merupakan bentuk manajemen yang tersusun rapi, sehingga dalam pelaksanaannya setiap anggota sudah memiliki tugas kerja sendiri-sendiri. Walaupun sumber dana Bawarasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) yang penulis peroleh belum tertata dan selalu tidak setiap saat, tetapi sumber dana yang utama adalah dari sponsor para pecinta keris dan yayasan perkerisan di pusat yaitu SNKI Jakarta. Dengan manajemen modern dan tertata, pihak organisasi Bawarasa Tosan Aji Surakarta (BRATASURA) dapat mengalokasikan dana tersebut secara tepat, dan setiap akhir tahun, kegiatan yang direncanakan dapat terus dilaksanakan.  







[1] Kultur Komite diketuai Pangeran Adipati Ario Praboe Prangwedono (erevoorzitter), S. Koperberg (secretaris).       Tweede rij v.l.n.r.: Dr. Satiman Wirjosandjojo, Z. Stokvis, D. van Hinloopen Labberton, dr. Tjipto Mangoenkoesomo, J. Rottier, A. Mühlenfeld, R.M.S. Soeriokoesoemo.
[2] Wawancara dengan KRA Sukatno Purwoprojo.

[4] www.SoloBlitz.com/ - Sabtu, 02/02/2013 13:53 WIB. Wawancara dengan  M.Ng Daliman Puspobudoyo, Ketua BRATASURA.