Senin, 30 Juli 2018

Mitos Panjarungang

Badik Panjarungang 

Kisah mitos mengenai Badik Panjarungang
Panjarungang merupakan salah satu nama desa di wilayah Sulawesi Selatan 


Badik Makassar sendiri terdiri dua jenis yakni Taeng dan Panjarungang. Hal ini Berdasarkan tempat dimana badik ini ditempa. Secara fisik antara Taeng dan Panjarungang tampak sama kecuali bagian bawah atau perut. Taeng memiliki ciri khas memiliki perut yang lebar atau mirip dengan perut buncit, sementara Panjarungang memiliki perut yang tidak terlalu buncit.


Kalau bicara badik Makassar maka cuma ada dua jenis yaitu Taeng dengan Panjarungang dan kedua jenis ini memiliki hubungan sejarah sehingga harus ditempa dari dua tempat yang berbeda





Taeng sendiri merupakan nama sebuah kampung di mana badik ini secara awal mula ditempa dan diproduksi secara massal. Taeng saat ini berada di Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Sementara Panjarungang saat ini adalah nama sebuah Dusun di Desa Massamaturu, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar. Konon badik Taeng dikenal ganas dan haus darah dan dikenal harus menyentuh darah jika dalam perkelahian badik Taeng ini terhunus dari sarungnya. Dan yang mampu menjinakkan Taeng ini hanya Badik jenis Panjarungang. "Memang faktanya begitu yang bisa menjinakkan Taeng kalau mengamuk hanyalah Panjarungang,


Sumber : 
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Badik, antara Fakta dan Mitos", https://regional.kompas.com/read/2017/10/17/08321831/badik-antara-fakta-dan-mitos


Penulis : Kontributor Bone, Abdul Haq




Badik Panjarungang koleksi R. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. 
Hiasan dari logam Kuningan dengan ukiran khas motif bunga teratai menyamping Karya Daeng Serang (kampung Pampang )  




Badik Panjarungang, bentuk fisiknya ramping meruncing dengan bagian belakang agak sedikit mengembang gemuk dengan pamor berurat ujung / Uretuwo. ujung - ujung urat berakhir di pujuk badik dengan bagian bawah tajam hitam dari baja gantung ciri khas badik. informasi dari pemiliknya awal badik ini ditempa di wilayah Pangkep tetapi penempanya tidak diketahui.

Badik dari Pangkep berbeda dengan badik yang ditempa di wilayah Luwu, perbedaanya terdapat dari tipe baja gantung pada sisi tajamnya, jika ditempa di wilayah Luwu, maka baja gantungnya cenderung lebih hitam karena wilayah Luwu menggunakan baja gantung khusus atau baja tua. sebenarnya untuk tipe pembuatan lebih khusus bisa dipesan kepada Pandre (Mpu) nya pembuat badik.   




Festival Pusaka Nusantara Sulawesi Selatan

Festival Pusaka Nusantara Sulawesi Selatan
Benteng Ujung Pandang ( Ford Rotterdam ) Kota Makassar 
27 - 29 juli 2018 



Seputar Benteng Rotterdam

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.



Pameran Bilah Pusaka Sulawesi Selatan

Pameran bilah Pusaka Sulawesi yang diikuti dari berbagai komunitas pusaka se Sulawesi. Hal ini merupakan cara untuk melestarikan sejarah maupun budaya di wilayah Sulawesi. selain itu Pusaka merupakan peninggalan secara turun temurun yang memiliki cerita tersendiri, mulai dari sejarah keluarga maupun sejarah penempanya. 


Foto bersama dengan Para anggota Komunitas Pusaka Sulawesi dari berbagai daerah, khusunya wilayah Sulawesi Selatan. Komunitas pencinta pusaka ini merupakan Kolektor - kolektor benda bersejarah, selain itu terdapat komunitas pemaharan benda pusaka dan para Pandre (Mpu) atau orang yang ahli dalam pembuatan Pusaka. 


Bursa aksesories pusaka, pakaian adat, tosan aji, Keris dan Pusaka. selain Pameran 1000 lebih bilah pusaka  juga terdapat beberapa stand bursa dan pemaharan pusaka, bukan hanya pusaka saja tetapi juga ada beberapa aksesories pusaka yang terbuat dari logam (emas, perak, kuningan, dan tembaga) seperti kalasa, kili-kili, cincin wanua, hulu (dari logam, tulang , gading, kayu dan tanduk) sarung badik ukiran logam, dan jenis aksesories lainnya.  


Persiapan Kirab Pusaka dari Losari Ke Beteng Ujung Pandang. kontingen terdiri dari siswa - siswi dari berbagai sekolah di wilayah Kota Makassar, dewan adat, komunitas Pusaka, juga berbagai kelompok seni budaya di Kota Makassar dan sekitarnya.  



Pengunjung Melihat Keindahan Pesona Pusaka Sulawesi. Selain indah dan memiliki beragam jenis Pusaka sulawesi juga memiliki cerita tersendiri mulai dari peninggalan leluhur, peninggalan keluarga dari berbagai kerajaan, barter maupun hasil pemaharan, didapat dalam suasana mistik, didapat di lokasi eks perang zaman penjajahan, tempaan baru dari para Pandre - Pandre handal  dan berbagai cerita sejarah yang menyelimuti pusaka - pusaka tersebut.   



Pesona Pusaka Sulawesi. terdapat beberapa pusaka yang dikenakan kain di tempat pameran tersebut. Kain - kain itu memiliki makna antara lain.



Masing-masing warna kain, warna hitam, merah, putih dan hijau (yang bahannya asli katun, bukan tetiron) dan kain kuning yang mengkilat (nilon) memberikan pengaruh sendiri-sendiri terhadap pusaka. Uraiannya sbb :



1. Kain merah terang dapat menaikkan "power" pusaka, dalam arti dapat menaikkan aura galak dan berwibawa dari kerisnya.
2. Kain putih bersifat netral.



3. Kain hijau tua dapat menambah keteduhan aura pusaka

4. Kain kuning mengkilat, dapat menambah karisma keagungan / aura keningratan.

5. Kain Hitam dapat meningkatkan kekuatan gaib pusaka (menambah kepadatan energinya, menurunkan aura panas pusaka dan menambah kekerasan watak khodam nya. 





Barisan Pusaka Badik, Gecong, Calabai, Sonri, Toasi,  dan Lameng.