Pasukan Wanita Kerajaan Sulawesi
oleh ; KRT. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn.
#cahyasuryaharsakya #cahyasurya #surya
Teks
Kerajaan di Nusantara memiliki sejarah Panjang , Pada abad ke 8 Sudah terdapat jejak - jejak verbal dalam tradisi tutur kerajaan di Nusantara ini, selain itu adanya artefak, relief dan berbagai patung dan peninggalan lainnya. Kekayaan Sejarah dan Budaya Negeri Nusantara patut untuk dicatatkan agar tidak adanya kepunahan. bahwa sesungguhnya kemegahan Negeri Nusantara kala itu merupakan Negara yang sangat baik dan menerima pendatang dan pedagang. Banyak pengaruh dari Negeri luar yang memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kemegahan Kerajaan - Kerajaan Nusantara. Kepunahan dan Kehancuran Dinasti ini disebabkan tergerus perkembangan zaman dan kebudayaan yang lebih modern.
#cahyasuryaharsakya #cahyasurya #surya
Teks
Kerajaan di Nusantara memiliki sejarah Panjang , Pada abad ke 8 Sudah terdapat jejak - jejak verbal dalam tradisi tutur kerajaan di Nusantara ini, selain itu adanya artefak, relief dan berbagai patung dan peninggalan lainnya. Kekayaan Sejarah dan Budaya Negeri Nusantara patut untuk dicatatkan agar tidak adanya kepunahan. bahwa sesungguhnya kemegahan Negeri Nusantara kala itu merupakan Negara yang sangat baik dan menerima pendatang dan pedagang. Banyak pengaruh dari Negeri luar yang memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kemegahan Kerajaan - Kerajaan Nusantara. Kepunahan dan Kehancuran Dinasti ini disebabkan tergerus perkembangan zaman dan kebudayaan yang lebih modern.
"Kingdom in the
archipelago has a long history, in the 8th century Already there are traces of
verbal in the tradition of the kingdom's speech in this archipelago, in
addition to the existence of artifacts, reliefs and various sculptures and
other relics. The rich history and culture of the archipelago should be noted
so that there is no extinction. that in fact the grandeur of the archipelago at
that time was a very good country and accepted immigrants and traders. Many
influences from foreign countries that have both positive and negative impacts
on the splendor of the Kingdoms of the Archipelago. The extinction and
destruction of the dynasty was caused by the erosion of the times and more
modern culture."
I Fatimah Daeng
Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin. Ada
persamaan antara Laksamana Malahayati dengan I Fatimah dan pasukannya.
Keduanya merupakan perempuan yang juga pemimpin pasukan perempuan.
Jika Sultan
Hasanuddin dijuluki oleh Belanda “Ayam Jantan dari Timur” karena
keberaniannya. Maka sang putri, I Fatimah digelari oleh seorang penyair
Belanda “Garuda Betina dari Timur”. Julukan yang diberikan itu menurut
salah seorang budayawan Gowa Djufri Tenribali, bukan karena Fatimah
berasal dari putri bangsawan, tetapi karena sifat ksatrianya yang
menonjol. Ia menginginkan penjajahan dimusnahkan, bahkan tidak
segan-segan I Fatimah membantu ayahnya, Sultan Hasanuddin pada setiap
peperangan.
Dalam resensi buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”, Fatimah
lahir dari buah pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang
Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone, I Daeng Takele.
Putri mereka yang lahir pada tanggal 10 September 1659, diberi nama I
Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.
I Fatimah sangat dekat dengan ayahnya, bahkan setiap Sultan
Hasanuddin memberikan latihan pada prajuritnya, Fatimah selalu ikut.
Sehingga tidak heran kalau Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya yang
juga menguasai ilmu bela diri.Keinginan Fatimah untuk berjuang mengusir Belanda diawali saat sang ayah, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bungaya.
Perjanjian damai tersebut dianggap menguntungkan Belanda dan membuka kesempatan kolonial untuk melakukan monopoli.
Perjanjian tersebut sontak mendapat penolakan dari sejumlah bangsawan Gowa dan Bugis. Di antaranya anak Sultan Hasanuddin, I Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Karunrung yang menyatakan sikap penolakannya yang keras dan terbuka.
Foto Bersama Pasukan Wanita bersenjata Balira
Pada event Budaya Batubassi Maros 2019.
1. Fatimah Pimpin Pasukan Bainea
Penolakan terhadap perjanjian Bungaya lalu menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melanjutkan perlawanan.
Fatimah yang sejak awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa.
Keinginan Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten. Rombongan itu tiba tanggal 19 Agustus 1671 di Banten, disusul La Setiaraja dari Kerajaan Luwu dan Karaeng Galesong pada tanggal 16 September 1671 dengan membawa 20.000 orang prajurit.
Kedatangan putra pejuang dari Sulawesi di Banten, ternyata mendapat sambutan baik dari Sultan Banten, karena sebelumnya, salah seorang putra Makassar telah lama dijadikan mantu yakni, Syekh Yusuf yang sudah ikut berjuang bersamanya. Tekad yang kokoh dari Fatimah akhirnya berbuah hasil. Sang ibu lalu memberi izin dan membekalinya dengan sebilah keris.
“Keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah diikuti oleh para ratusan pasukan elit menuju Banten. Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa,” seperti yang ditulis dalam buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”. Buku tersebut ditulis oleh Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Dijelaskan, saat tiba di Jawa, I Fatimah bergabung bersama semua kekuatan pasukan, dan menyusun strategi penyerangan. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu bertugas ke Jawa Timur membantu perjuangan Trunojoyo. Penyerahan pasukan Kraton Plered pada 12 Juli 1677 membuat Benteng Kapper berhasil mereka duduki.
Sedang di Banten Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrajasa, melawan putranya Sultan Haji yang berpihak pada Belanda. Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda. Berkali-kali Belanda berusaha untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Yusuf dan Fatimah, namun belum berhasil. Syekh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), dan kemudian dipindahkan ke Tajung Harapan, Afrika.
Melihat kondisi yang kurang menguntungkan menghadapi Belanda, akibat kekalahan pasukan Banten yang bersekutu dengan pasukan Kerajaan Gowa, Fatimah bersama pasukan Baiena lalu kembali ke Gowa dan meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dalam suatu pertempuran, Fatimah bersama pasukannya menyerang Belanda dengan berani. Dalam pertempuran tersebut Fatimah gugur di tanah kelahirannya.
2. Jamila Daeng Tamema
Pada abad 16 dan 17 silam merupakani puncak kejayaan Kerajaan Gowa. Pada
masa itu, Gowa telah banyak melakukan ekspansi di berbagai kerajaan di wilayah
tumur nusantara ini, disamping menggalang hubungan persaudaraan dengan raja-raja di Nusantara ini. Seperti halnya
beberapa kerajaan di Nusa Tenggara , seperti Kerajaan Bima, Sumbawa dan Manggarai.
Dalam Lontara disebutkan, ada beberapa Raja Gowa yang pernah menjalin
hubungan baik dengan Kerajaan di Nusa Tenggara, seperti Raja Gowa XII bernama I
Manggorai Daeng Mammeta Karaengta Bontolangkasa.
Dalam Lontara Patturioloangna Tu Gowaya disebutkan, Raja I Manggorai Daeng
Mammeta selain menggalang hubungan
persahabatan dengan beberapa Kerajaan di Nusa Tenggara, juga mengawini putri
bangsawan Bima di Manggarai. Dari perkawinan itulah sehingga tali persaudaraan
antara kedua kerajaan semakin merekat.
Raja I Manggorai kemudian kawin dengan putri bangsawan Bima. Turunannya
kemudian mengabadikan nama nenek moyangnya pada salah satu kerajaan yang
ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, yakni Manggarai. Konon kabarnya, Manggarai
diambil dari nama Raja I Manggorai dan
kemudian berubah menjadi Manggarai
seperti sekarang ini.
Perubahan nama Kerajaan Manggorai menjadi Manggarai terjadi ketika pasukan
Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Srikandi Jamila Daeng Tamema memasuki wilayah
daratan Manggarai. Saat itu kaum nelayan sedang asyiknya menangkap ikan di
sepanjang pantai Manggarai. Serbuan
prajurit Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh
Jamila daenmg Tamema membuat kaum nelayan ketakutan dan berlarian. Kaum nelayan
berteriak dan mengajak temannya untuk lari dengan kata-kata “
Mangga.... dan Rai...” yang berarti angkat jangkar dan lari. Dari
teriakan tersebut, warga prajurit Kerajaan Gowa kemudian menamakan daerah itu
dengan nama Manggarai.
Penguasaan beberapa wilayah kerajaan di wilayah timur Nusantara ini
tidaklah terlepas dari keberanian prajurit Kerajaan Gowa, termasuk Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila
Daeng Tamema. Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang
bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal kesaktiannya dan
sangat ditakuti oleh musuh).
Pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki oleh VOC. Sebagai akibat pembangkangan itu tanggal 14 Maret 1824, pasukan VOC di bawah pimpinan jenderal Van Goen menyerang kerajaan Bone melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Untuk memperkuat pasukannya melawan VOC, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata #lawida (semacam alat tenun yang runcing). We Maniratu Arung Data bahkan turun langsung ke medan perang bersama pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan hebat Bugis untuk menghadapi musuh.
Sumber;
Thomas Stanford Raffles, dalam bukunya History Of Java (1817) menyatakan rasa kagum pada peran perempuan Bugis dalam masyarakat: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).
3. We Maniratu Arung Data
We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah salah satu dari beberapa perempuan yang pernah memimpin kerajaan di tanah Bugis. We Maniratu Arung Data terpilih oleh Dewan Ade’ Pitu Kerajaan pada tahun 1823 menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data yang merupakan saudara dari Arung Palakka ini dikenal sebagai raja yang anti penjajahan VOC.Pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki oleh VOC. Sebagai akibat pembangkangan itu tanggal 14 Maret 1824, pasukan VOC di bawah pimpinan jenderal Van Goen menyerang kerajaan Bone melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Untuk memperkuat pasukannya melawan VOC, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata #lawida (semacam alat tenun yang runcing). We Maniratu Arung Data bahkan turun langsung ke medan perang bersama pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan hebat Bugis untuk menghadapi musuh.
Sumber;
Thomas Stanford Raffles, dalam bukunya History Of Java (1817) menyatakan rasa kagum pada peran perempuan Bugis dalam masyarakat: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).
Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila Daeng Tamema (Putri Raja Gowa
XII). Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang
bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal
kesaktiannya dan sangat ditakuti oleh musuh). abad 16.
pasukan yang dipimpin I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja
Gowa XVI , terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea
(pasukan wanita). 1671.
#balira
#walida
#walira
#codowalidana #lawida
Pementasan Pasukan Bainea dengan Pusaka Balira
Kerajaan Gowa , Makassar.
Sumber Foto; Syahrir Daeng Thola