Rabu, 06 November 2019

Pasukan Wanita Kerajaan Sulawesi

 Pasukan Wanita Kerajaan Sulawesi 
oleh ; KRT. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. 
#cahyasuryaharsakya #cahyasurya #surya

Teks 

Kerajaan di Nusantara memiliki sejarah Panjang , Pada abad ke 8 Sudah terdapat jejak - jejak verbal dalam tradisi tutur kerajaan di Nusantara ini, selain itu adanya artefak, relief dan berbagai patung dan peninggalan lainnya. Kekayaan Sejarah dan Budaya Negeri Nusantara patut untuk dicatatkan agar tidak adanya kepunahan. bahwa sesungguhnya kemegahan Negeri Nusantara kala itu merupakan Negara yang sangat baik dan menerima pendatang dan pedagang. Banyak pengaruh dari Negeri luar yang memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kemegahan Kerajaan - Kerajaan Nusantara. Kepunahan dan Kehancuran Dinasti ini disebabkan tergerus perkembangan zaman dan kebudayaan yang lebih modern.

   

"Kingdom in the archipelago has a long history, in the 8th century Already there are traces of verbal in the tradition of the kingdom's speech in this archipelago, in addition to the existence of artifacts, reliefs and various sculptures and other relics. The rich history and culture of the archipelago should be noted so that there is no extinction. that in fact the grandeur of the archipelago at that time was a very good country and accepted immigrants and traders. Many influences from foreign countries that have both positive and negative impacts on the splendor of the Kingdoms of the Archipelago. The extinction and destruction of the dynasty was caused by the erosion of the times and more modern culture."





I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin. Ada persamaan antara Laksamana Malahayati dengan I Fatimah dan pasukannya. Keduanya merupakan perempuan yang juga pemimpin pasukan perempuan.

Jika Sultan Hasanuddin dijuluki oleh Belanda “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya. Maka sang putri, I Fatimah digelari oleh seorang penyair Belanda “Garuda Betina dari Timur”. Julukan yang diberikan itu menurut salah seorang budayawan Gowa Djufri Tenribali, bukan karena Fatimah berasal dari putri bangsawan, tetapi karena sifat ksatrianya yang menonjol. Ia menginginkan penjajahan dimusnahkan, bahkan tidak segan-segan I Fatimah membantu ayahnya, Sultan Hasanuddin pada setiap peperangan.

Dalam resensi buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”, Fatimah lahir dari buah pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone, I Daeng Takele. Putri mereka yang lahir pada tanggal 10 September 1659, diberi nama I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.
I Fatimah sangat dekat dengan ayahnya, bahkan setiap Sultan Hasanuddin memberikan latihan pada prajuritnya, Fatimah selalu ikut. Sehingga tidak heran kalau Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya yang juga menguasai ilmu bela diri.
Keinginan Fatimah untuk berjuang mengusir Belanda diawali saat sang ayah, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bungaya. 
Perjanjian damai tersebut dianggap menguntungkan Belanda dan membuka kesempatan kolonial untuk melakukan monopoli.
Perjanjian tersebut sontak mendapat penolakan dari sejumlah bangsawan Gowa dan Bugis. Di antaranya anak Sultan Hasanuddin, I Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Karunrung yang menyatakan sikap penolakannya yang keras dan terbuka.



                                        Foto Bersama Pasukan Wanita bersenjata Balira                         
                                           Pada event Budaya Batubassi Maros 2019.


1. Fatimah Pimpin Pasukan Bainea

  Penolakan terhadap perjanjian Bungaya lalu menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melanjutkan perlawanan.
Fatimah yang sejak awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa.
Keinginan Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten. Rombongan itu tiba tanggal 19 Agustus 1671 di Banten, disusul La Setiaraja dari Kerajaan Luwu dan Karaeng Galesong pada tanggal 16 September 1671 dengan membawa 20.000 orang prajurit.

Kedatangan putra pejuang dari Sulawesi di Banten, ternyata mendapat sambutan baik dari Sultan Banten, karena sebelumnya, salah seorang putra Makassar telah lama dijadikan mantu yakni, Syekh Yusuf yang sudah ikut berjuang bersamanya. Tekad yang kokoh dari Fatimah akhirnya berbuah hasil. Sang ibu lalu memberi izin dan membekalinya dengan sebilah keris.
“Keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah diikuti oleh para ratusan pasukan elit menuju Banten. Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa,” seperti yang ditulis dalam buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”. Buku tersebut ditulis oleh Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Dijelaskan, saat tiba di Jawa, I Fatimah bergabung bersama semua kekuatan pasukan, dan menyusun strategi penyerangan. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu bertugas ke Jawa Timur membantu perjuangan Trunojoyo. Penyerahan pasukan Kraton Plered pada 12 Juli 1677 membuat Benteng Kapper berhasil mereka duduki.
Sedang di Banten Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrajasa, melawan putranya Sultan Haji yang berpihak pada Belanda. Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda. Berkali-kali Belanda berusaha untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Yusuf dan Fatimah, namun belum berhasil. Syekh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), dan kemudian dipindahkan ke Tajung Harapan, Afrika.

Melihat kondisi yang kurang menguntungkan menghadapi Belanda, akibat kekalahan pasukan Banten yang bersekutu dengan pasukan Kerajaan Gowa, Fatimah bersama pasukan Baiena lalu kembali ke Gowa dan meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dalam suatu pertempuran, Fatimah bersama pasukannya menyerang Belanda dengan berani. Dalam pertempuran tersebut Fatimah gugur di tanah kelahirannya.


2. Jamila Daeng Tamema

Pada abad 16 dan 17 silam merupakani puncak kejayaan Kerajaan Gowa. Pada masa itu, Gowa telah banyak melakukan ekspansi di berbagai kerajaan di wilayah tumur nusantara ini, disamping menggalang hubungan persaudaraan dengan  raja-raja di Nusantara ini. Seperti halnya beberapa kerajaan di Nusa Tenggara ,  seperti Kerajaan Bima, Sumbawa dan Manggarai.
Dalam Lontara disebutkan, ada beberapa Raja Gowa yang pernah menjalin hubungan baik dengan Kerajaan di Nusa Tenggara, seperti Raja Gowa XII bernama I Manggorai Daeng Mammeta Karaengta  Bontolangkasa. Dalam Lontara Patturioloangna Tu Gowaya disebutkan, Raja I Manggorai Daeng Mammeta  selain menggalang hubungan persahabatan dengan beberapa Kerajaan di Nusa Tenggara, juga mengawini putri bangsawan Bima di Manggarai. Dari  perkawinan itulah sehingga tali persaudaraan antara kedua kerajaan semakin merekat.
Raja I Manggorai kemudian kawin dengan putri bangsawan Bima. Turunannya kemudian mengabadikan nama nenek moyangnya pada salah satu kerajaan yang ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, yakni Manggarai. Konon kabarnya, Manggarai diambil dari nama Raja I Manggorai dan kemudian  berubah menjadi Manggarai seperti sekarang ini.
Perubahan nama Kerajaan Manggorai menjadi Manggarai terjadi ketika pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Srikandi Jamila Daeng Tamema memasuki wilayah daratan Manggarai. Saat itu kaum nelayan sedang asyiknya menangkap ikan di sepanjang pantai Manggarai.  Serbuan prajurit Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh  Jamila daenmg Tamema membuat kaum nelayan ketakutan dan berlarian.  Kaum nelayan  berteriak dan mengajak temannya untuk lari dengan kata-kata “ Mangga.... dan Rai...” yang berarti angkat jangkar dan lari. Dari teriakan tersebut, warga prajurit Kerajaan Gowa kemudian menamakan daerah itu dengan nama Manggarai.
Penguasaan beberapa wilayah kerajaan di wilayah timur Nusantara ini tidaklah terlepas dari keberanian prajurit Kerajaan Gowa, termasuk  Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila Daeng Tamema. Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal kesaktiannya dan sangat ditakuti oleh musuh).

3. We Maniratu Arung Data

We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah salah satu dari beberapa perempuan yang pernah memimpin kerajaan di tanah Bugis. We Maniratu Arung Data terpilih oleh Dewan Ade’ Pitu Kerajaan pada tahun 1823 menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data yang merupakan saudara dari Arung Palakka ini dikenal sebagai raja yang anti penjajahan VOC.
Pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki oleh VOC. Sebagai akibat pembangkangan itu tanggal 14 Maret 1824, pasukan VOC di bawah pimpinan jenderal Van Goen menyerang kerajaan Bone melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Untuk memperkuat pasukannya melawan VOC, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata #lawida (semacam alat tenun yang runcing). We Maniratu Arung Data bahkan turun langsung ke medan perang bersama pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan hebat Bugis untuk menghadapi musuh.


Sumber;
Thomas Stanford Raffles, dalam bukunya History Of Java (1817) menyatakan rasa kagum pada peran perempuan Bugis dalam masyarakat: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).
 




Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila Daeng Tamema (Putri Raja Gowa XII). Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal kesaktiannya dan sangat ditakuti oleh musuh). abad 16. pasukan yang dipimpin I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI , terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita). 1671. #balira #walida #walira #codowalidana #lawida



Pementasan Pasukan Bainea dengan Pusaka Balira 
Kerajaan Gowa , Makassar. 
Sumber Foto; Syahrir Daeng Thola