Gaman Cirebon
JAMBANGAN
DAN TRUSMIAN
Pada masa Cerbon dipimpin Kanjeng
Sinuhun Sunan Jati Purba (Gunung Jati, berkuasa 1471-1478), filosofi ajaran
toriqoh dimasukkan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari di Cerbon. Tidak
hanya dalam perilaku, akan tetapi juga
dalam hal berbusana, seni bangunan, senjata, seni rupa dan sebagainya.
Sunan Gunungjati tidak menghilangkan
kebudayaan yang ada, akan tetapi "mengolaborasikan" dengan budaya
lokal. Hanya saja, dalam hal "Pakem Gaman" ada yang diubah. Tentunya
dari tradisi sebelumnya, yang banyak terpengaruh oleh tradisi Pasundan.
Lebih tepatnya lagi, bentuknya
“diperindah”. Bentuk garan bermotif buta (raksasa), diperindah bentuk dan
posisinya. Posisi kepala, misalnya, diseragamkan "nengleng" (agak
meliuk) ke kanan.
Pada masa pemerintahan Sultan Matangaji (1773-1786), misalnya, politik Belanda menguasai segalanya. Sampai Sultan Matangaji sendiri menjadi korban politik, akhirnya malah tersingkir. Menyingkir ke pinggiran Cirebon dan mengajar agama. Sementarta budaya Barat pun mulai menguasai, atau setidaknya banyak mempengaruhi Cirebon.
Di atas ini, adalah salah satu contoh warangka dan hulu yang khas Cerbonan, yang diciptakan setelah Cirebon di bawah era Sunan Gunungjati, era kerajaan Islam. Srangka Jambangan, dan Hulu Trusmian namun versi primitif dan alami. Filosofi trusmi adalah tunas "terus bersemi", awal tumbuh dalam kehidupan di tlatah Cirebon.
KESULTANAN
CIREBON
Kesultanan Cirebon
rentang hidupnya cukup panjang (1430–1677) jauh sebelum kerajaan Mataram (1586-1755)
berdiri di Jawa Tengah. Setelah (1677), di era kolonial Cirebon dibagi menjadi
Kanoman dan Kasepuhan. Bahkan kemudian menyusul Keraton Kacirebonan. Kesultanan
Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai
salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Lampung dan Jawa
bagian barat.
Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama
tiga (3) abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai Sri Mangana (Penguasa)
Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi
Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677.
Berdasarkan naskah
Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka
jawa atau sekitar tahun 1662 M, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Sultan
Abdul Karim diambil menantu Amangkurat I dan tak pernah kembali setelah
dinikahkan di Mataram. Tipu daya Mataram masa Amangkurat I serta dekatnya
sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan
kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara pribawa (derajat paling
tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat
keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.
Munculnya Kesultanan
Banten tidak lepas dari Cirebon. Pada 1552 Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya
dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana
Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai Depati (Gubernur) Banten untuk
kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama Kesultanan Banten.