Senin, 27 Mei 2024

 Gaman Cirebon

JAMBANGAN DAN TRUSMIAN

 Berbagai bentuk keris pada era kerajaan Cirebon, menurut Pangeran Suryanatha Harya salah satu sesepuh Cirebon, ada tertulis dalam kitab pakem "Gaman Cerbon". Sedangkan hulu atau garan keris menurut bahasa lokalnya, ada tertulis dalam kitab "Peklamben Gaman".

Pada masa Cerbon dipimpin Kanjeng Sinuhun Sunan Jati Purba (Gunung Jati, berkuasa 1471-1478), filosofi ajaran toriqoh dimasukkan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari di Cerbon. Tidak hanya dalam perilaku, akan tetapi juga  dalam hal berbusana, seni bangunan, senjata, seni rupa dan sebagainya.

Sunan Gunungjati tidak menghilangkan kebudayaan yang ada, akan tetapi "mengolaborasikan" dengan budaya lokal. Hanya saja, dalam hal "Pakem Gaman" ada yang diubah. Tentunya dari tradisi sebelumnya, yang banyak terpengaruh oleh tradisi Pasundan.

Lebih tepatnya lagi, bentuknya “diperindah”. Bentuk garan bermotif buta (raksasa), diperindah bentuk dan posisinya. Posisi kepala, misalnya, diseragamkan "nengleng" (agak meliuk) ke kanan.

Pada masa pemerintahan Sultan Matangaji (1773-1786), misalnya, politik Belanda menguasai segalanya. Sampai Sultan Matangaji sendiri menjadi korban politik, akhirnya malah tersingkir. Menyingkir ke pinggiran Cirebon dan mengajar agama. Sementarta budaya Barat pun mulai menguasai, atau setidaknya banyak mempengaruhi Cirebon.



Di atas ini, adalah salah satu contoh warangka dan hulu yang khas Cerbonan, yang diciptakan setelah Cirebon di bawah era Sunan Gunungjati, era kerajaan Islam. Srangka Jambangan, dan Hulu Trusmian namun versi primitif dan alami. Filosofi trusmi adalah tunas "terus bersemi", awal tumbuh dalam kehidupan di tlatah Cirebon.


KESULTANAN CIREBON 

Kesultanan Cirebon rentang hidupnya cukup panjang (1430–1677) jauh sebelum kerajaan Mataram (1586-1755) berdiri di Jawa Tengah. Setelah (1677), di era kolonial Cirebon dibagi menjadi Kanoman dan Kasepuhan. Bahkan kemudian menyusul Keraton Kacirebonan. Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Lampung dan Jawa bagian barat.

Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama tiga (3) abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai Sri Mangana (Penguasa) Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677.

Berdasarkan naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Sultan Abdul Karim diambil menantu Amangkurat I dan tak pernah kembali setelah dinikahkan di Mataram. Tipu daya Mataram masa Amangkurat I serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara pribawa (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.

Munculnya Kesultanan Banten tidak lepas dari Cirebon. Pada 1552 Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai Depati (Gubernur) Banten untuk kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama Kesultanan Banten.