Selasa, 06 Agustus 2024

KERIS SETAN KOBER

 


KERIS SETAN KOBER (Perang Niskala Tanah Jawa)
-------------------------------------------------------------

Pada akhir masa Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, tanah Jawa mempunyai dua empu penempa keris yang kesaktiannya melampaui empu-empu lainnya. Mereka saudara seperguruan: Empu Rahtawu dan Empu Supa Mandragi. Jika Empu Supa Mandragi telah memeluk Islam semenjak menikah dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga, Empu Rahtawu tetap bertahan dengan Siwa Buddha. Kesaktian mereka mengundang banyak kesatria besar tanah Jawa untuk memesan keris pusaka pada keduanya. Empu Supa Mandragilah yang mencipta Keris Kyai Nagasasra Sabuk Inten. Empu Rahtawulah yang mencipta Keris Kyai Condong Campur bersama 99 muridnya. Keduanya juga sama-sama berumur panjang, sudah menjadi empu termasyhur semenjak zaman Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, hingga zaman penguasa Demak kedua, Sultan Yunus.

“Sagopa! Siapkan semua sesaji! Aku akan bersamadi! Siapa pun tidak boleh membatalkan samadiku!” titah Empu Rahtawu pada hari itu.

Hari itu Selasa Pahing. Sagopa ingat betul Empu Rahtawu memulai samadinya terhitung tujuh hari sejak tersiar kabar jatuhnya Ndaru Kalabendu, batu meteor yang meledak saat menerobos udara bumi. Batu itu kemudian berubah menjadi logam yang paling dicari para empu pembuat keris-keris sakti.

Saat samadi Empu Rahtawu baru berjalan sehari, datang seorang pangeran dari Kesultanan Demak untuk menemui sang empu. Dia adalah Raden Kikin, putra kedua Sultan Fattah. Raden Kikin ingin dijodohkan oleh Empu Rahtawu dengan keris ampuh sebagai piandel dan pemangku hak warisnya atas takhta Kesultanan Demak. Sebagai adik pertama Sultan Yunus, dia berhak mewarisi takhta Demak bila sewaktu-waktu Sultan Yunus tewas dalam pertempuran melawan Portugis di Semenanjung Malaka yang sedang dipersiapkan besar-besaran.

Ingatan Sagopa terputus lagi saat terbit fajar. Apa yang dia khawatirkan terjadi. Di ufuk timur, matahari mulai menyorotkan sinarnya. Empu Rahtawu belum juga muncul dari dalam danau. Sagopa bingung. Dia termangu mengetahui semua saudara seperguruannya sudah terjun menyelam. Hanya dia yang masih berdiri di anjungan. Tak pelak, akhirnya dia pun menyusul terjun ke danau.

Hari semakin terang. Matahari naik setinggi lembing, namun kabut masih menyelimuti danau dan hutan sekitarnya. Suasana sangat sepi. Sepi yang ganjil. Tak terdengar kicau burung atau suara-suara binatang lain. Ke mana perginya semua penghuni hutan? Hanya terdengar derit dahan dan ranting serta daun-daun yang bergesek saat angin bertiup. Tampaknya semua penghuni hutan telah pergi beberapa hari yang lalu. Sesuatu telah terjadi. Naluri mereka yang tajam menengarai adanya bahaya yang tidak bisa dihindari kecuali dengan pergi jauh-jauh dari danau itu.

Teka-teki itu mulai terjawab saat kabut hilang perlahan. Tampak pemandangan yang mengagetkan. Ribuan bangkai ikan mengapung-apung di pinggir danau. Bau busuk yang menyengat tercium ketika angin bertiup. Di pinggir danau terlihat beberapa pohon tumbang. Tebing di pinggir danau runtuh dan tertutup lumpur. Terlihat bekas-bekas sesuatu yang meluncur sangat cepat, lalu menumbuk danau hingga menimbulkan ledakan yang kuat.

Perahu yang berada di tengah danau bergoyang tertiup angin, tapi tetap tidak bisa melaju ke mana-mana karena ada jangkar yang menahannya. Sudah cukup lama Sagopa dan lima saudara seperguruannya menyelam ke dasar danau untuk mencari guru mereka, namun sampai kini belum muncul juga. Sesaat kemudian, muncul seseorang di sebelah kanan perahu, berjarak kira-kira lima puluh tombak. Apakah dia Sagopa atau salah satu dari lima saudara seperguruannya? Bukan. Dia adalah Empu Rahtawu sendiri. Dia muncul ke permukaan air seperti didorong kekuatan yang sangat besar. Dia membawa segumpal logam hitam sebesar kura-kura dengan satu tangan. Logam hitam itu diletakkan di telapak tangannya. Menilik bentuknya, logam itu pasti berat, namun terlihat ringan di telapak tangan empu berwajah wingit itu.

Beberapa hela napas kemudian, pemandangan yang ajaib terjadi! Empu Rahtawu berdiri tegak di atas permukaan air. Tidak tenggelam. Air di bawah telapak kakinya seperti mengeras. Sejurus kemudian, dia menoleh ke arah perahu yang semalam dia naiki bersama enam muridnya. Raut wajahnya tidak mengesankan sesuatu. Bahkan cenderung dingin. Tak lama kemudian, terjadi keajaiban lagi. Kakinya melangkah di atas permukaan air menuju tepi danau!

Tak lama berselang, Sagopa bersama lima saudara seperguruannya muncul satu demi satu ke permukaan air. Tubuh mereka mengambang dan membengkak seperti ribuan ikan yang mati membusuk. Kulit mereka menghitam, pertanda terkena racun yang mematikan!
--------------------------------------------


Pengarang: S. Trisasongko Hutomo
SC | 14 x 21 cm | 445 hlm.
ISBN: 978-602-6799-08-1


Menurut Mpu Bandi ( KRT. Subandi Suponingrat ) 
Keluar dari konteks filologi mistis 
Setan Kober merupakan kurang ketepatan dari pengucapan kalimat .
dari literasi yang di dapat sebenarnya pembuat ( Mpu Supo Mandrangi). 

memberikan nama Sih Tan Kober ( Kasih sayang yang belum terwujud) 
Sih : asih./ kasih sayang / tan asih./ pemberian rasa cinta 
tan : belum 
kober : waktu./ kesempatan./ peluang 
bisa juga diartikan Sih Tan Kober ; belum sempat ada waktu untuk memberikan kasih sayang. 
belum sempat mengutarakan rasa cinta. 

Sebenernya Mpu Supo Mandrangi memberikan arti nama Keris Asih Tan Kober karena memberikan pesan bahwa belum sempat memberikan kasih sayang entah pada keluarga ataupun negara. mengingat pada saat itu era zaman Kerajaan yang sering didera peperangan perebutan wilayah. era dimana Penguasaan Portugis yang bergejolak dengan Kerajaan Demak. sekitar tahun 1500 an. dengan catatan Babad Tanah Jawa ; 
Pada 1521, Pati Unus, suami dari anak pertama Raden Patah melakukan penyerangan ke Portugis di Malaka. Namun, ia gugur dalam perang tersebut.