Pakaian adat yang dikenakan oleh Pangeran Poerwonegoro, yang dalam keterangan disebut sebagai "lijfwacht van de Susuhunan van Solo" (pengawal pribadi Susuhunan Surakarta) pada tahun 1870, merupakan pakaian khas keprajuritan Keraton Kasunanan Surakarta. Berikut deskripsi lengkapnya:
1. Penutup Kepala: Topi Blechdeksel
- Ia mengenakan topi berbentuk kerucut tinggi yang disebut Blechdeksel, khas pengawal kerajaan Kasunanan Surakarta pada abad ke-19.
- Terbuat dari bahan logam atau kulit yang diperkeras, topi ini melambangkan kedudukan dan tugas keprajuritan, khususnya sebagai pengawal istana.
2. Baju: Beskap atau Jas Prajurit
- Atasan yang dikenakan mirip dengan beskap, yaitu baju berpotongan pendek dan pas di badan, berlengan panjang, serta berwarna gelap (kemungkinan hitam atau biru tua).
- Beskap ini memiliki kerah tinggi dan dihiasi dengan ornamen tali pengikat, menandakan seragam resmi keprajuritan.
- Pada bagian bahu terlihat adanya selempang putih, kemungkinan bagian dari atribut keprajuritan atau tanda jabatan.
3. Kain: Dodot atau Jarik Batik
- Kain yang dikenakan di bagian bawah adalah dodot atau jarik batik, kain panjang khas Jawa yang dililitkan di pinggang.
- Motifnya kemungkinan menggunakan batik parang atau motif keraton, yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga bangsawan dan prajurit tinggi.
4. Celana Prajurit
- Bagian bawah juga tampak menggunakan celana pendek khusus prajurit, yang diikat di bagian bawah lutut dengan aksen kain atau tali.
- Model celana ini umum digunakan oleh prajurit keraton atau abdi dalem keprajuritan untuk memberikan fleksibilitas dalam bergerak.
5. Senjata: Keris dengan Warangka Gaya Surakarta
- Ia membawa keris yang terselip di bagian belakang pinggangnya dengan gagang menghadap ke kanan.
- Warangka atau sarung kerisnya mengikuti gaya Surakarta, kemungkinan berbahan kayu berukir, yang menandakan status dan kehormatan sebagai bagian dari pengawal istana.
6. Kaki: Tanpa Alas Kaki
- Kaki dibiarkan tanpa alas, yang merupakan kebiasaan bagi prajurit keraton dalam berbagai upacara atau kegiatan resmi, melambangkan kesederhanaan dan kedisiplinan.
Pakaian Prajurit Pengawal Keraton
Pakaian yang dikenakan oleh Pangeran Poerwonegoro dalam foto ini adalah seragam resmi pengawal pribadi Susuhunan Kasunanan Surakarta pada tahun 1870. Pakaian ini memadukan unsur kekhasan keprajuritan Jawa dan pengaruh seragam Eropa dalam bentuk beskap dan topi tinggi. Sebagai seorang lijfwacht (pengawal pribadi raja), ia mengenakan atribut terhormat dan memiliki simbol keprajuritan yang kuat, seperti topi Blechdeksel, beskap keprajuritan, dodot batik, celana ikat, dan keris pusaka. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah prajurit elite dalam struktur militer Keraton Surakarta.
Seragam ini jelas menunjukkan kedudukan tinggi dalam struktur keprajuritan Keraton Kasunanan Surakarta. Penggunaan topi Blechdeksel menjadi tanda bahwa pakaian ini diperuntukkan bagi pasukan elite atau pengawal pribadi raja, bukan prajurit biasa. Selain itu, kombinasi beskap berlengan panjang dan jarik batik bermotif khas keraton semakin menegaskan bahwa pemakainya berasal dari golongan bangsawan atau prajurit pilihan yang memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan kehormatan istana.
Perpaduan Tradisional dan Modern
Pakaian ini merupakan bentuk adaptasi budaya, di mana unsur busana tradisional Jawa (beskap, jarik, dan keris) berpadu dengan pengaruh seragam militer Eropa (topi tinggi dan model beskap yang lebih tegas). Hal ini mencerminkan dinamika sosial-politik Kasunanan Surakarta pada abad ke-19, ketika pengaruh kolonial mulai masuk namun tetap mempertahankan identitas budaya lokal.
Keserasian dengan Keris Berwarangka Gayaman Surakarta
Keris yang dikenakan adalah keris dengan warangka gayaman khas Surakarta, yang memiliki bentuk sederhana, ergonomis, dan praktis untuk dikenakan sehari-hari. Warangka gayaman dengan sunggingan khas Keraton Surakarta menambah kesan kemewahan dan status sosial, terutama jika sunggingannya menggunakan emas atau ornamen khas keraton. Bentuk gayaman yang melengkung mengikuti lekuk tubuh memungkinkan pemakainya bergerak lebih leluasa, sesuai dengan tugasnya sebagai pengawal kerajaan.
Keris sebagai Simbol Pangkat dan Jabatan
Dalam tradisi keraton Surakarta, keris bukan hanya senjata, tetapi juga simbol kehormatan, jabatan, dan legitimasi seseorang dalam hierarki istana. Pengawal pribadi Susuhunan tentu tidak mengenakan keris sembarangan, tetapi keris dengan warangka dan sunggingan khusus yang mencerminkan pangkatnya. Sunggingan emas atau ukiran halus pada warangka gayaman menjadi tanda kehormatan, membedakan pemiliknya dari prajurit biasa.
Kesimpulan
Keserasian antara pakaian keprajuritan dan keris berwarangka gayaman dengan sunggingan khas Surakarta sangat harmonis, baik dari segi fungsi maupun estetika. Seragam ini bukan hanya menunjukkan identitas sebagai prajurit, tetapi juga status sosial, tugas, dan keistimewaan seseorang di dalam lingkungan keraton. Pakaian ini juga menjadi bukti bagaimana budaya Jawa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, tanpa kehilangan nilai tradisional dan filosofi keprajuritan yang diwariskan oleh Keraton Kasunanan Surakarta.
Daftar Pustaka Berikut adalah rujuk untuk informasi lebih lanjut mengenai pakaian adat Jawa, khususnya yang dikenakan oleh pengawal Keraton Kasunanan Surakarta pada abad ke-19:
Condronegoro, Mari. (1995). Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Buku ini membahas secara mendalam tentang berbagai jenis busana adat di lingkungan Keraton Yogyakarta, termasuk pakaian keprajuritan dan simbolisme di baliknya.
Ricklefs, M.C. (2002). Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. Karya ini mengulas sejarah Kesultanan Yogyakarta, termasuk aspek budaya dan pakaian tradisional pada masa pemerintahan Sultan Mangkubumi.
Suwito & Marwito. (2009). Pakaian Keprajuritan Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Keraton Yogyakarta. Buku ini mengkaji berbagai pakaian keprajuritan di Kasultanan Yogyakarta, yang memiliki kesamaan dengan pakaian adat di Keraton Surakarta, mengingat akar budaya yang sama.
Wasino. (2014). Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Penerbit Kompas. Buku ini membahas modernisasi di Mangkunegaran, termasuk adaptasi pakaian militer Eropa dalam seragam Legiun Mangkunegaran, yang relevan dengan pakaian pengawal keraton pada masa tersebut.
Santosa, Iwan. (2011). Legiun Mangkunegaran (1808-1942): Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte. Jakarta: Penerbit Kompas. Karya ini mengulas sejarah Legiun Mangkunegaran, termasuk detail mengenai seragam dan atribut keprajuritan yang dipengaruhi oleh budaya Eropa dan Jawa.
Soekiman, Djoko. (2014). Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. Buku ini membahas percampuran budaya antara pribumi dan Eropa, termasuk dalam hal busana dan seragam militer pada masa kolonial.
Samsudi. (2000). Aspek-Aspek Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Puri Mangkunegaran. Semarang: Universitas Diponegoro. Meskipun fokus pada arsitektur, buku ini juga menyinggung aspek budaya dan pakaian tradisional di lingkungan Puri Mangkunegaran.
Pratiwi, Anita Dhian. (2014). "Legiun Mangkunegaran Tahun 1916-1942 dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sejarah". Candi, Vol. 7(1), hlm. 5-6. Artikel ini membahas sejarah Legiun Mangkunegaran, termasuk seragam dan atribut yang dikenakan oleh para prajuritnya.