Rabu, 07 Mei 2025

Ekspedisi Tosan Aji Nusantara

Ekspedisi Tosan Aji Nusantara

Prasasti Sangguran


Membahas Jalur Perdagangan Besi Nusantara dan Ekspedisi Tosan Aji Nusantara. membahas Prasasti Sangguran. Yang ternyata adalah salah satu Prasasti tertua yang sangat jelas menyebutkan PANDAI/ PANDE BESI sebagai sosok yang dihormati selayaknya Bhatara. 

Prasasti Sangguran merupakan prasasti pada batu berangka tahun 850 Syaka (928 Masehi) yang ditemukan di daerah Batu, Malang, dan menyebut nama penguasa daerah pada masa itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Jadi, sangat jelas bahwa Prasasti Sangguran membuktikan sejarah yang lebih tua sebelum Kerajaan Singhasari, yang khusus memuliakan Sang Pande Besi (Pande Tosan Aji, Tembaga dan Emas) pada era saat itu. 

Jumat, 11 April 2025

Motif Relief Hewan dalam Kehidupan Jawa

 Relief hewan dan sebutan hewan bahasa  Jawa Kuno

Dalam beberapa sumber teks Jawa Kuno (Prasasti & Naskah: Kakawi, Tantri Kamandaka, Nagarakrtagama, dan lain-lain) Abad 9-14 Masehi. 

1. Badak bercula satu kecil : Warak, Ganda, Gandaka 

2. Gajah Jawa (elephas maximus sondaicus/borneensis) : Liman, Gajah, Gaja 

3. Sapi Liar Jawa : Banteng, Bantyang, Gawaya 

4. Trenggiling Sunda : Tinggiling 

5. Harimau Jawa : Mong, Wyaghra, Harimong, Macan, Śārdūla, Mrganātha 

6. Macan Tutul Jawa : Macan Tutul 

7. Macan Tutul Jawa Hitam : Macan Wulung 

8. Kucing Macan Sunda : Kuwuk, Macan Rĕngrĕng 

9. Merak Hijau Jawa : Mrak, Mĕrak, Mayura 

10. Elang Elang Jawa : Helang, Alap-alap 11. Rangkong Badak (Jawa) : Langling. NewJ & ModJ: Manuk Gogik 

12. Ayam Cemani : Hayam Hirĕng 

13. Kancil Jawa : Kancil 

14. Rusa Timor : Mañjangan, Rusa, Mrĕga, Kĕnas 

15. Munjac : Kidang 

16. Landak Sunda : Laņḍak, Salya 

17. Ajag (Anjing Liar Jawa) : Asu Hasang/Asang, Tarakṣa (Skt Taraksu : Hyena, Serigala) 

18. Gagarangan : Mangga Jawa 

19. Luwak : Musang Palem Asia 

20. Lutung : Lutung Ebony Jawa Barat & Lutung Jawa Timur 

Referensi: 
PJ Zoetmulder. 1982. Kamus Bahasa Jawa-Inggris Kuno. 
Gravenhage: Martinus Nijhoff. Suwito Santoso. 1980. Rāmāyana Indonesia (Vol.3). New Delhi: Sarada Rani. Theodore G.Th. Pigeaud. 1960. Jawa Abad ke-14: Kajian Sejarah Kebudayaan, Negara Krtagama karya Rakawi Prapanca dari Majapahit, 1465 M. Jilid III. Leyden: Den Haag Martinus Nijhoff.


Deskripsi mengenai relief hewan dan sebutan hewan dalam bahasa Jawa Kuno pada periode abad ke-9 hingga ke-14 Masehi mengungkapkan kekayaan interaksi masyarakat Jawa Kuno dengan alam serta bagaimana pemahaman dan representasi dunia fauna terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Berdasarkan sumber-sumber teks Jawa Kuno seperti prasasti dan naskah-naskah Kakawi, Tantri Kamandaka, Nagarakrtagama, serta artefak-artefak ornamen, relief hewan menjadi motif yang umum diaplikasikan pada beragam media. Kita dapat menemukan representasi simha (singa), gajah (gajah), kuda (kuda), bantèng (banteng), warak (badak), sarpa (ular), berbagai jenis manuk (burung), iwak (ikan), dan hewan-hewan air lainnya menghiasi dinding rumah, pendok keris, gandik keris, hulu senjata tradisional, motif ukiran kayu dan batu, bahkan kemungkinan juga pada pola batik dan media seni lainnya. Menariknya, penggambaran hewan-hewan ini tidak selalu bersifat naturalistik, melainkan seringkali mengalami deformasi, yaitu perubahan bentuk dari aslinya, baik melalui stilasi (penyederhanaan dan penggayaan) maupun distorsi (pembengkokan atau perubahan proporsi) untuk tujuan estetika atau simbolis. 
Selain itu, motif hewan juga kerap disamarkan atau diintegrasikan ke dalam desain motif dasar melalui jalinan lung-lungan (sulur tumbuhan), menciptakan harmoni visual antara dunia fauna dan flora, yang mencerminkan pandangan kosmologis masyarakat Jawa Kuno yang melihat keterkaitan erat antara berbagai elemen alam. Keberadaan relief hewan dan penyebutan nama-nama hewan dalam bahasa Jawa Kuno pada periode ini tidak hanya memberikan informasi tentang fauna yang dikenal, tetapi juga mengindikasikan nilai-nilai simbolis, kepercayaan, dan ekspresi artistik yang melekat pada representasi dunia binatang dalam kehidupan sehari-hari dan spiritual masyarakat Jawa Kuno.
KRT. Cahya Surya Setyonagoro, M.Sn. 

Selasa, 25 Maret 2025

SUNGGING WARANGKA KERIS EPISODE LAKON SAMUDRA MANTANA

SUNGGING WARANGKA KERIS
EPISODE LAKON SAMUDRA MANTANA  

Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya.
Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh.
Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
Apsara, kaum bidadari kahyangan
Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
Uccaihsrawa, kuda para Dewa
Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
Airawata, kendaraan Dewa Indra
Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu.
Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa.
Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.







Kamis, 20 Maret 2025

Program Studi Senjata Tradisional Keris ISI Surakarta

Program Studi Senjata Tradisional Keris

Program Studi Senjata Tradisional Keris di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta adalah program pendidikan tinggi yang berfokus pada pelestarian, pengkajian, serta pengembangan seni pembuatan keris sebagai warisan budaya Indonesia. Program ini berada di bawah Fakultas Seni Rupa dan Desain dan bertujuan untuk mencetak lulusan yang memiliki kompetensi dalam bidang kriya senjata tradisional, terutama dalam aspek pembuatan (teknik tempa), estetika, filosofi, hingga konservasi keris.

Sebagai satu-satunya program studi di Indonesia yang secara khusus mendalami keris dalam konteks akademik, Prodi ini berperan penting dalam menjaga kelangsungan tradisi pembuatan keris, baik dari perspektif teknis, historis, maupun budaya. Program ini juga mengacu pada regulasi pemerintah terkait pendidikan tinggi vokasi, seperti Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014, yang mengarahkan pendidikan vokasi agar relevan dengan kebutuhan industri dan pelestarian budaya.

Program studi ini memiliki kurikulum yang mencakup:
Teknik pembuatan keris (besalen, penempaan, pamor, bilah, warangka)
Sejarah dan filosofi keris (makna simbolik, spiritualitas, dan pengaruh budaya)
Kajian estetika dan konservasi (restorasi, dokumentasi, dan preservasi keris)
Metode reproduksi seni (replikasi dan inovasi dalam pembuatan keris)

Sebagai bagian dari ISI Surakarta, program studi ini juga bekerja sama dengan berbagai komunitas, seperti pengrajin keris, museum, kolektor, serta lembaga budaya untuk memperkuat penelitian dan praktik pembuatan keris.


Visi dan Misi

  • Visi: Menjadi pusat unggulan dalam pendidikan, penelitian, dan penciptaan keris sebagai senjata tradisional dengan pendekatan seni, budaya, dan teknologi.
  • Misi:
    1. Menyelenggarakan pendidikan berbasis keterampilan praktik dan teori dalam pembuatan keris.
    2. Mengembangkan penelitian tentang seni, sejarah, dan filosofi keris.
    3. Berkontribusi dalam pelestarian dan revitalisasi tradisi pembuatan keris.
    4. Berkolaborasi dengan empu, besalen, komunitas, dan institusi budaya terkait.






Kurikulum dan Kompetensi

Program ini menawarkan mata kuliah yang mencakup aspek teknis, historis, dan artistik dalam pembuatan serta kajian keris, seperti:

  • Teknik tempa dan pamor keris
  • Filosofi dan simbolisme keris
  • Konservasi dan restorasi keris
  • Kajian seni dan budaya tosan aji
  • Manajemen seni kriya dan wirausaha seni



Keunggulan Program

  • Satu-satunya program akademik di Indonesia yang secara khusus mempelajari keris sebagai senjata tradisional.
  • Didukung oleh para praktisi dan akademisi yang berpengalaman dalam dunia perkerisan.
  • Bekerja sama dengan komunitas empu, besalen, serta lembaga budaya dan museum.
  • Menghasilkan lulusan yang dapat berkarier sebagai pembuat keris, konservator, peneliti, kolektor, dan akademisi dalam bidang senjata tradisional.













Kamis, 27 Februari 2025

Kajian Pakaian adat yang dikenakan oleh Pangeran Poerwonegoro

 

Princes Poerwonegoro, lijfwacht van de susuhunan van Solo. Ca 1870

Pakaian adat yang dikenakan oleh Pangeran Poerwonegoro, yang dalam keterangan disebut sebagai "lijfwacht van de Susuhunan van Solo" (pengawal pribadi Susuhunan Surakarta) pada tahun 1870, merupakan pakaian khas keprajuritan Keraton Kasunanan Surakarta. Berikut deskripsi lengkapnya:

1. Penutup Kepala: Topi Blechdeksel

  • Ia mengenakan topi berbentuk kerucut tinggi yang disebut Blechdeksel, khas pengawal kerajaan Kasunanan Surakarta pada abad ke-19.
  • Terbuat dari bahan logam atau kulit yang diperkeras, topi ini melambangkan kedudukan dan tugas keprajuritan, khususnya sebagai pengawal istana.

2. Baju: Beskap atau Jas Prajurit

  • Atasan yang dikenakan mirip dengan beskap, yaitu baju berpotongan pendek dan pas di badan, berlengan panjang, serta berwarna gelap (kemungkinan hitam atau biru tua).
  • Beskap ini memiliki kerah tinggi dan dihiasi dengan ornamen tali pengikat, menandakan seragam resmi keprajuritan.
  • Pada bagian bahu terlihat adanya selempang putih, kemungkinan bagian dari atribut keprajuritan atau tanda jabatan.

3. Kain: Dodot atau Jarik Batik

  • Kain yang dikenakan di bagian bawah adalah dodot atau jarik batik, kain panjang khas Jawa yang dililitkan di pinggang.
  • Motifnya kemungkinan menggunakan batik parang atau motif keraton, yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga bangsawan dan prajurit tinggi.

4. Celana Prajurit

  • Bagian bawah juga tampak menggunakan celana pendek khusus prajurit, yang diikat di bagian bawah lutut dengan aksen kain atau tali.
  • Model celana ini umum digunakan oleh prajurit keraton atau abdi dalem keprajuritan untuk memberikan fleksibilitas dalam bergerak.

5. Senjata: Keris dengan Warangka Gaya Surakarta

  • Ia membawa keris yang terselip di bagian belakang pinggangnya dengan gagang menghadap ke kanan.
  • Warangka atau sarung kerisnya mengikuti gaya Surakarta, kemungkinan berbahan kayu berukir, yang menandakan status dan kehormatan sebagai bagian dari pengawal istana.

6. Kaki: Tanpa Alas Kaki

  • Kaki dibiarkan tanpa alas, yang merupakan kebiasaan bagi prajurit keraton dalam berbagai upacara atau kegiatan resmi, melambangkan kesederhanaan dan kedisiplinan.

Pakaian Prajurit Pengawal Keraton

Pakaian yang dikenakan oleh Pangeran Poerwonegoro dalam foto ini adalah seragam resmi pengawal pribadi Susuhunan Kasunanan Surakarta pada tahun 1870. Pakaian ini memadukan unsur kekhasan keprajuritan Jawa dan pengaruh seragam Eropa dalam bentuk beskap dan topi tinggi. Sebagai seorang lijfwacht (pengawal pribadi raja), ia mengenakan atribut terhormat dan memiliki simbol keprajuritan yang kuat, seperti topi Blechdeksel, beskap keprajuritan, dodot batik, celana ikat, dan keris pusaka. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah prajurit elite dalam struktur militer Keraton Surakarta.

Seragam ini jelas menunjukkan kedudukan tinggi dalam struktur keprajuritan Keraton Kasunanan Surakarta. Penggunaan topi Blechdeksel menjadi tanda bahwa pakaian ini diperuntukkan bagi pasukan elite atau pengawal pribadi raja, bukan prajurit biasa. Selain itu, kombinasi beskap berlengan panjang dan jarik batik bermotif khas keraton semakin menegaskan bahwa pemakainya berasal dari golongan bangsawan atau prajurit pilihan yang memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan kehormatan istana.

Perpaduan Tradisional dan Modern

Pakaian ini merupakan bentuk adaptasi budaya, di mana unsur busana tradisional Jawa (beskap, jarik, dan keris) berpadu dengan pengaruh seragam militer Eropa (topi tinggi dan model beskap yang lebih tegas). Hal ini mencerminkan dinamika sosial-politik Kasunanan Surakarta pada abad ke-19, ketika pengaruh kolonial mulai masuk namun tetap mempertahankan identitas budaya lokal.

Keserasian dengan Keris Berwarangka Gayaman Surakarta

Keris yang dikenakan adalah keris dengan warangka gayaman khas Surakarta, yang memiliki bentuk sederhana, ergonomis, dan praktis untuk dikenakan sehari-hari. Warangka gayaman dengan sunggingan khas Keraton Surakarta menambah kesan kemewahan dan status sosial, terutama jika sunggingannya menggunakan emas atau ornamen khas keraton. Bentuk gayaman yang melengkung mengikuti lekuk tubuh memungkinkan pemakainya bergerak lebih leluasa, sesuai dengan tugasnya sebagai pengawal kerajaan.

Keris sebagai Simbol Pangkat dan Jabatan

Dalam tradisi keraton Surakarta, keris bukan hanya senjata, tetapi juga simbol kehormatan, jabatan, dan legitimasi seseorang dalam hierarki istana. Pengawal pribadi Susuhunan tentu tidak mengenakan keris sembarangan, tetapi keris dengan warangka dan sunggingan khusus yang mencerminkan pangkatnyaSunggingan emas atau ukiran halus pada warangka gayaman menjadi tanda kehormatan, membedakan pemiliknya dari prajurit biasa.

Kesimpulan

Keserasian antara pakaian keprajuritan dan keris berwarangka gayaman dengan sunggingan khas Surakarta sangat harmonis, baik dari segi fungsi maupun estetika. Seragam ini bukan hanya menunjukkan identitas sebagai prajurit, tetapi juga status sosial, tugas, dan keistimewaan seseorang di dalam lingkungan keraton. Pakaian ini juga menjadi bukti bagaimana budaya Jawa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, tanpa kehilangan nilai tradisional dan filosofi keprajuritan yang diwariskan oleh Keraton Kasunanan Surakarta.

Daftar Pustaka Berikut adalah rujuk untuk informasi lebih lanjut mengenai pakaian adat Jawa, khususnya yang dikenakan oleh pengawal Keraton Kasunanan Surakarta pada abad ke-19:

  1. Condronegoro, Mari. (1995). Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Buku ini membahas secara mendalam tentang berbagai jenis busana adat di lingkungan Keraton Yogyakarta, termasuk pakaian keprajuritan dan simbolisme di baliknya.

  2. Ricklefs, M.C. (2002). Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. Karya ini mengulas sejarah Kesultanan Yogyakarta, termasuk aspek budaya dan pakaian tradisional pada masa pemerintahan Sultan Mangkubumi.

  3. Suwito & Marwito. (2009). Pakaian Keprajuritan Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Keraton Yogyakarta. Buku ini mengkaji berbagai pakaian keprajuritan di Kasultanan Yogyakarta, yang memiliki kesamaan dengan pakaian adat di Keraton Surakarta, mengingat akar budaya yang sama.

  4. Wasino. (2014). Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Penerbit Kompas. Buku ini membahas modernisasi di Mangkunegaran, termasuk adaptasi pakaian militer Eropa dalam seragam Legiun Mangkunegaran, yang relevan dengan pakaian pengawal keraton pada masa tersebut.

  5. Santosa, Iwan. (2011). Legiun Mangkunegaran (1808-1942): Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte. Jakarta: Penerbit Kompas. Karya ini mengulas sejarah Legiun Mangkunegaran, termasuk detail mengenai seragam dan atribut keprajuritan yang dipengaruhi oleh budaya Eropa dan Jawa.

  6. Soekiman, Djoko. (2014). Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. Buku ini membahas percampuran budaya antara pribumi dan Eropa, termasuk dalam hal busana dan seragam militer pada masa kolonial.

  7. Samsudi. (2000). Aspek-Aspek Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Puri Mangkunegaran. Semarang: Universitas Diponegoro. Meskipun fokus pada arsitektur, buku ini juga menyinggung aspek budaya dan pakaian tradisional di lingkungan Puri Mangkunegaran.

  8. Pratiwi, Anita Dhian. (2014). "Legiun Mangkunegaran Tahun 1916-1942 dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sejarah". Candi, Vol. 7(1), hlm. 5-6. Artikel ini membahas sejarah Legiun Mangkunegaran, termasuk seragam dan atribut yang dikenakan oleh para prajuritnya.

KRT. Cahya Surya Setyonagoro. 

Jumat, 06 Desember 2024

Fungsi Condong Leleh Keris

 Fungsi Condong Leleh  Keris

Condong Leleh pada keris tidak sekedar menunjukan sudut kemiringan bilah, tetapi juga memiliki fungsi tertentu, yaitu fungsi teknis, estetika dan makna simbolis

  • Fungsi teknis sebagai ketajaman bilah keris, penanda dan kedudukan keris
  • Fungsi Estetika bagian keindahan keris
  • Fungsi  makna simbolis yg terinspirasi dan dimuncul dari watak, karakter, cara pandang dan  sikap  manusia.

Sikap tersebut dapat kita liat dalam visualisasi karakter wayang...dgn posisi kepala yg menunjukan karakter dan makna simbolis yg berbeda beda.

Seperti posisi

  • Tegak Suryo matahari, bermakna berwibawa, Wisesa dan kekuasaan
  • Agak menunduk, Candra Bulan bermakna, waspada atau waskitha dan bijaksana
  • Menunduk lagi Kartika bintang, makna jarak pandang melihat bintang, perhatian, menarik hati,  popularitas, untuk menjadi bintang.
  • Sangat menunduk Buwono bumi,  bermakna pandangan ke arah  bumi, bermakna karejeken, rejeki jatuh ke bumi, memberi sikap yg merendah seperti padi berisi. 

Fungsi dan Makna condong leleh keris merupakan satu kesatuan fungsi teknis, estetika dan simbolis, yg memiliki rasa dan karakter tertentu, yg memberikan pengaruh dan membangkitkan spirit bagi pemiliknya.

Biasanya seorang Mpu akan membuat condong leleh keris,  akan di padu dgn pamor yg sesuai dgn tujuan dan makna simbolis.

Seperti : 

  1. Keris utk kewibawaan biasanya  Condong Leleh Suryo dgn pamor Blarak Sineret 
  2. Pamor Udan emas  Condong Leleh Buwono 
  3. Pamor Sekar  atau Ron Genduru Condong Leleh Kartiko 
  4. Pamor Adeg Condong Leleh Candra


Pendahuluan

Keris merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang sarat dengan nilai filosofis, estetika, dan spiritual. Dalam proses pembuatannya, setiap elemen pada keris dirancang dengan tujuan tertentu, baik dari segi fungsi maupun simbolisme. Salah satu bagian penting dari keris adalah condong leleh, yaitu bagian lekukan kecil yang terdapat pada bagian bawah bilah keris, tepat di dekat ganja. Elemen ini sering kali menjadi perhatian para penggemar dan peneliti keris karena perannya yang tidak hanya estetis tetapi juga fungsional.

Dalam budaya Nusantara, keris tidak hanya dianggap sebagai senjata tradisional, tetapi juga sebagai simbol status sosial, spiritualitas, dan kekuatan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap setiap elemen keris, termasuk condong leleh, menjadi bagian integral dalam mengapresiasi keindahan dan makna di balik keris itu sendiri.


Deskripsi dan Fungsi Condong Leleh

Condong leleh merupakan lekukan kecil yang terdapat di area bilah keris di dekat ganja. Fungsi utamanya dapat dibagi menjadi dua aspek utama:

  1. Fungsi Struktural
    Condong leleh membantu menjaga keseimbangan dan kekuatan struktur keris. Dengan adanya lekukan ini, tekanan yang diterima bilah keris saat digunakan dapat terdistribusi lebih merata, sehingga mengurangi risiko patah atau retak pada bilah.

  2. Fungsi Estetika dan Filosofis
    Dalam estetika keris, condong leleh menambah harmoni visual pada desain keseluruhan. Lekukan ini sering dianggap sebagai simbol keharmonisan dan kesinambungan. Secara filosofis, condong leleh melambangkan keluwesan atau kerendahan hati, mencerminkan nilai-nilai yang dihormati dalam budaya Jawa.

Sebagai bagian dari keris, condong leleh menunjukkan bagaimana seni dan fungsi berpadu dalam menciptakan karya yang tidak hanya indah tetapi juga bermakna. Elemen ini mengingatkan bahwa setiap detail dalam keris memiliki makna mendalam yang mencerminkan kearifan lokal Nusantara.

Bagian-Bagian Condong Leleh pada Keris dan Maknanya

Condong leleh adalah salah satu elemen kecil tetapi signifikan pada bilah keris. Bagian ini memiliki komponen-komponen yang dapat diuraikan secara rinci, masing-masing memiliki fungsi dan makna tertentu dalam estetika serta filosofi keris. Berikut adalah deskripsi bagian-bagiannya:

1. Lekukan Utama (Alur Condong Leleh)

  • Deskripsi:
    Lekukan utama ini berbentuk seperti garis melengkung yang dimulai dari ujung bawah bilah keris, tepat di atas ganja, mengarah sedikit ke atas sebelum menyatu dengan bagian bilah.
  • Makna:
    Melambangkan keluwesan dan harmoni. Filosofinya terkait dengan sifat fleksibel dan adaptif yang diperlukan dalam menjalani kehidupan, sejalan dengan nilai-nilai budaya Jawa yang menekankan kebijaksanaan dalam bertindak.

2. Pangkal Condong Leleh

  • Deskripsi:
    Merupakan titik awal lekukan, terletak sangat dekat dengan pejetan atau bagian bawah bilah. Pangkal ini sering terlihat sebagai titik yang mengarahkan pola aliran lekukan.
  • Makna:
    Melambangkan awal perjalanan hidup atau suatu proses. Filosofinya menunjukkan bahwa semua hal besar dimulai dari sesuatu yang kecil, menekankan pentingnya memulai dengan niat baik.

3. Lengkung (Kelokan Halus)

  • Deskripsi:
    Lengkungan yang membentuk kurva kecil pada condong leleh sering kali dibuat dengan sangat halus, menciptakan tampilan harmonis.
  • Makna:
    Menunjukkan perjalanan hidup yang tidak selalu lurus, penuh liku-liku dan tantangan. Filosofinya mengajarkan kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai rintangan.

4. Sambungan ke Bilah

  • Deskripsi:
    Bagian di mana condong leleh menyatu secara alami dengan bilah keris. Sambungan ini biasanya dibuat tanpa garis tegas, memberikan kesan transisi yang halus.
  • Makna:
    Melambangkan penyatuan elemen kehidupan—antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Filosofinya menekankan harmoni antara duniawi dan spiritual.

5. Hubungan dengan Ganja

  • Deskripsi:
    Condong leleh selalu berdekatan dengan ganja, bagian bawah keris yang sering dianggap sebagai "pondasi" dari keris itu sendiri. Hubungan ini mencerminkan keseimbangan dan dukungan struktural yang diberikan oleh ganja.
  • Makna:
    Menunjukkan pentingnya dasar yang kuat dalam kehidupan, baik secara spiritual maupun fisik. Ganja dan condong leleh bersama-sama melambangkan hubungan antara manusia dengan landasan moral dan spiritualnya.

Penutup

Setiap bagian condong leleh tidak hanya dirancang untuk fungsi mekanis, tetapi juga memiliki nilai estetika dan filosofi yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa keris adalah simbol kearifan lokal yang menggabungkan seni, spiritualitas, dan tradisi secara harmonis.

KRT. Cahya Surya Setyonagoro 



Kamis, 05 Desember 2024

Misteri Arca-Arca Kuno

 “Misteri Arca-Arca Kuno Ciampea: Jejak Masa Silam di Bogor”

Di lereng-lereng Pasir Sinala yang kini dikenal sebagai Ciampea, Bogor, peninggalan masa lampau tersimpan dalam bentuk arca-arca penuh teka-teki. Karya-karya pahatan ini, yang sebagian besar ditemukan antara abad ke-8 hingga ke-13 Masehi, mengundang pertanyaan besar: 

Telah telusuri beberapa arca yang sempat terdokumentasikan oleh fotografer legendaris Isidore van Kinsbergen pada tahun 1876.

1. Arca Ciampea Bogor

Arca ini menggambarkan sosok misterius, mungkin seorang raksasa. Berasal dari Tjampea, Bogor, arca ini menjadi salah satu bukti arkeologis yang memicu berbagai spekulasi. Arca ini sempat diabadikan oleh Isidore van Kinsbergen dan dideskripsikan dalam karya Bernet Kempers pada tahun 1959.

2. Arca Gajah dari Ciampea

Arca ini adalah sosok gajah yang diperkirakan berasal dari abad ke-8 hingga ke-13 M. Menurut catatan, patung ini digunakan sebagai nisan seorang pemuda yang gugur dalam pemberontakan. Lokasi penemuan di Kebon Koppi, Ciampea, Bogor, menghubungkan arca ini dengan tradisi lokal yang kaya akan simbolisme.

3. Arca Tanpa Kepala

Dijuluki sebagai “Headless Ascetic”, arca ini ditemukan di puncak Pasir Sinala. Meski kepala aslinya hilang, bagian itu diganti demi keperluan pemotretan, sebuah kesalahan fatal menurut para peneliti. Ukiran ini menonjol dengan desain yang sederhana, tanpa gelang tangan atau kilat bahu, dan kini menjadi sorotan dalam koleksi Universitas Leiden.

4. Arca Ciampea dengan Kepala Tambahan

Salah satu arca yang menarik perhatian adalah “Headless Ascetic with Detached Head”. Dalam foto yang diambil, kepala tambahan diletakkan untuk melengkapi arca ini. Diperkirakan berasal dari abad ke-13 hingga ke-16 M, masa ketika Kerajaan Sunda mulai mengalami kemunduran.

5. Arca dengan Mata Menonjol dan Taring

Arca ini menggambarkan seorang pertapa dengan mata melotot, taring, dan kalung ular. Terletak di antara kakinya, terdapat dua tengkorak yang menambah kesan mistis. Hingga akhir abad ke-19, patung ini masih digunakan dalam ritual lokal yang sarat mitos.

Kesimpulan

Arca-arca kuno dari Ciampea adalah saksi bisu sejarah yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah mereka bagian dari kejayaan Tarumanagara atau Sunda Pajajaran? Mungkin, jawabannya ada di antara bebatuan kapur Pasir Sinala, menunggu untuk ditemukan.

#SejarahCiampea #MisteriArcaKuno  #PeninggalanBogor #WarisanNusantara #JejakKerajaanSunda




“Penemuan Arca Kuno Bergaya Siwaisme di Ujung Kulon, 

Jejak Budaya di Nusantara”

Sebuah penemuan bersejarah kembali mencuat dari Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Arkeolog menemukan sejumlah arca kuno yang terdiri atas dua arca kepala, lima arca pion, dan sebuah batu lumpang. Penemuan ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi dan memiliki gaya khas Siwaisme, menandai pengaruh budaya India yang mulai masuk ke Nusantara pada masa awal.

“Temuan ini menjadi bukti adanya pengaruh budaya India di tanah Jawa sejak masa awal. Hal ini sangat penting untuk memahami perkembangan peradaban di kawasan Nusantara,” ungkap Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia.

Proses penggalian di lokasi tersebut masih berlangsung, di tengah harapan akan munculnya temuan-temuan lain yang bisa memperkaya sejarah interaksi budaya kuno di wilayah ini. Jejak budaya Siwaisme di arca-arca ini memberikan gambaran penting tentang peradaban Jawa purba dan pengaruh luar yang membentuknya.

(Sumber: Tempo, Kompas, Radar Banten)

#SejarahNusantara #PenemuanArkeologi #cagarbudayaindonesia #SiwaismeKuno #UjungKulonHeritage



Palindo atau Watu Palindo di Lembah Bada. Patung setinggi 4,5 meter ini disebut sebagai representasi dari penduduk mitologis pertama dari desa Sepe yang bernama Tosaloge.



Situs Megalitik Batu Gajah, ada sosok yg sedang naik gajah dg punggungnya menyandang pedang.