Rabu, 04 September 2024

Sejarah Kebangkitan Keris Kamardikan

 Sejarah Kebangkitan Keris Kamardikan 

Keris Kamardikan merupakan jenis keris yang muncul pada masa setelah Indonesia merdeka, sering dikaitkan dengan upaya menjaga tradisi dan kebudayaan Jawa dalam konteks modern. Istilah "kamardikan" sendiri berasal dari kata "merdeka," yang berarti kebebasan atau kemerdekaan, sehingga keris ini sering dianggap sebagai simbol kedaulatan budaya Indonesia yang telah merdeka dari penjajahan.

Pada akhir tahun 1970-an, di tengah kebangkitan kembali minat terhadap budaya dan tradisi Jawa, muncul tokoh-tokoh penting dalam dunia perkerisan, termasuk Empu Yosopangroso, seorang empu yang dikenal dalam dunia perkerisan modern. Bersama dengan kedua anaknya, dan didukung oleh seorang kolektor asal Jerman bernama Dietrich Drescher, mereka terlibat dalam proses pembuatan keris yang kemudian dikenal sebagai Keris Kamardikan. Keris Kamardikan pertama ini diciptakan sebagai bagian dari usaha untuk melestarikan dan mengembangkan seni pembuatan keris di era modern.

Empu Jeno, salah satu anak Empu Yosopangroso, kemudian menjadi salah satu empu terkemuka di Indonesia yang turut melanjutkan tradisi pembuatan keris. Keris-keris yang dibuat oleh Empu Jeno dan keluarganya terkenal akan keindahan dan kekuatannya, serta dipandang sebagai bentuk adaptasi tradisi yang relevan dengan zaman setelah Indonesia merdeka.

Dalam konteks ini, Dietrich Drescher berperan sebagai pendukung dan pengagum kebudayaan Jawa, yang melalui kolaborasi dengan Empu Yosopangroso dan anak-anaknya, membantu menciptakan keris yang tidak hanya mempertahankan warisan budaya, tetapi juga mengembangkannya di era modern. Kolaborasi ini juga menunjukkan bagaimana budaya lokal dapat bertemu dan berinteraksi dengan budaya asing dalam cara yang positif dan kreatif.


Panjak mpu yoso dan mpu genyo



Era tahun 70an akhir, Empu Yosopangroso dan kedua anaknya, Dietrich Drescher (orang Jerman) dan empu Jeno , sedang membuat Keris Kamardikan pertama. 1970

Mpu subandi menunjukan tempat saat nempa di besalen mpu yoso.

Mpu Subandi Suponingrat dan Dietrich Drescher memainkan peran penting dalam kebangkitan kembali produksi keris pada akhir abad ke-20, terutama setelah sempat terjadi penurunan minat terhadap keris sebagai simbol budaya dan seni tradisional.

Mpu Subandi Suponingrat adalah seorang empu yang dikenal dengan dedikasinya dalam menjaga tradisi pembuatan keris. Sebagai penerus dari garis panjang pembuat keris, Mpu Subandi memiliki keterampilan yang mumpuni dalam menciptakan keris dengan estetika dan filosofi yang mendalam, yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan budaya Jawa.

Dietrich Drescher, seorang kolektor dan pecinta budaya asal Jerman, tertarik dengan keindahan dan makna filosofis di balik keris. Dengan kecintaannya terhadap seni dan budaya Jawa, Drescher menjadi salah satu tokoh asing yang berperan dalam melestarikan dan mempromosikan keris di kalangan internasional. Ia tidak hanya mengumpulkan keris tetapi juga berusaha memahami dan mendalami tradisi pembuatan keris dari para empu di Jawa.

Kebangkitan produksi keris ini terjadi dalam konteks globalisasi dan modernisasi, di mana banyak tradisi lokal menghadapi tantangan untuk tetap relevan. Mpu Subandi dan Dietrich Drescher bekerja sama untuk memastikan bahwa pembuatan keris tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dengan cara yang selaras dengan zaman modern. Mereka fokus pada kualitas, keaslian, dan penghormatan terhadap tradisi, sambil juga membuka peluang bagi inovasi dan interpretasi baru dalam pembuatan keris.

Upaya mereka melibatkan berbagai langkah, termasuk:

  1. Peningkatan Kualitas dan Keaslian: Mpu Subandi terus menghasilkan keris-keris berkualitas tinggi yang sesuai dengan standar tradisional, memastikan bahwa setiap keris yang dibuat memiliki nilai artistik dan spiritual yang mendalam.

  2. Edukasi dan Promosi: Dietrich Drescher, dengan jaringan internasionalnya, membantu mempromosikan keris sebagai karya seni yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang penting. Ia juga berkontribusi dalam edukasi tentang keris, baik di kalangan kolektor maupun masyarakat umum, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

  3. Kolaborasi dan Inovasi: Melalui kolaborasi ini, mereka juga membuka ruang untuk inovasi dalam pembuatan keris. Meskipun tetap menghormati tradisi, Mpu Subandi dan Drescher memungkinkan interpretasi baru dalam desain dan pembuatan keris yang relevan dengan kebutuhan dan selera modern.

  4. Revitalisasi Pasar Keris: Dengan memperkenalkan keris kepada audiens yang lebih luas dan mendukung empu-empu lainnya untuk terus berkarya, mereka berhasil membangkitkan kembali minat terhadap keris, baik sebagai objek seni maupun sebagai simbol budaya yang hidup.

Kolaborasi antara Mpu Subandi Suponingrat dan Dietrich Drescher menjadi salah satu contoh sukses dari upaya melestarikan dan memodernisasi warisan budaya dalam konteks global yang terus berubah.

Kota Surakarta, atau Solo, merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa yang terkenal dengan tradisi pembuatan kerisnya. Sejak lama, Solo dikenal sebagai tempat tinggal dan berkarya bagi banyak empu (pembuat keris) yang menghasilkan keris-keris berkualitas tinggi. Berikut adalah beberapa empu terkenal dari Surakarta yang telah berkontribusi dalam melestarikan dan mengembangkan seni pembuatan keris:

1. Mpu Jeno Harumbrojo

  • Latar Belakang: Mpu Jeno merupakan salah satu empu terkenal dari keluarga pembuat keris yang sudah turun-temurun di Surakarta. Dia dikenal karena kemampuannya dalam membuat keris dengan teknik tradisional, dan juga berinovasi dalam desain keris.
  • Karya: Karya-karya Mpu Jeno dikenal memiliki kualitas tinggi, dengan pamor (pola pada bilah keris) yang indah dan penuh makna filosofis. Keris buatannya sangat diminati oleh kolektor dan peminat keris, baik dari dalam maupun luar negeri.

2. Mpu KRT. Subandi Suponingrat

  • Latar Belakang: Mpu Subandi adalah empu lain dari Surakarta yang telah disebutkan sebelumnya. Dia merupakan salah satu empu yang secara aktif menjaga tradisi pembuatan keris sambil berkolaborasi dengan pihak luar untuk memperkenalkan keris ke dunia internasional.
  • Karya: Keris-keris buatan Mpu Subandi dikenal karena kualitas artistiknya yang tinggi dan keaslian tradisionalnya. Dia juga dikenal sebagai sosok yang mendukung pelestarian budaya melalui pendidikan dan promosi keris.

3. Mpu Yosopangroso

  • Latar Belakang: Mpu Yosopangroso adalah salah satu empu dari generasi sebelumnya yang berperan penting dalam menjaga dan melestarikan tradisi pembuatan keris di Surakarta.
  • Karya: Karya-karyanya dikenal karena memiliki makna spiritual dan artistik yang mendalam, serta dihasilkan dengan teknik yang diwariskan turun-temurun.

4. Mpu Daliman ( M.Ng. Daliman Puspobudoyo)




  • Latar Belakang: Mpu Daliman adalah seorang empu keris dari Surakarta yang dikenal karena keterampilannya dalam membuat keris dengan teknik tradisional. Dia sering dianggap sebagai salah satu empu yang berperan penting dalam menjaga kualitas dan keaslian pembuatan keris di masa modern.
  • Karya: Mpu Daliman menghasilkan berbagai jenis keris yang dihargai karena keindahan pamor dan presisi pengerjaannya. Karya-karyanya dikenal sangat tradisional, dengan penekanan pada nilai-nilai spiritual dan estetika yang tinggi.

5. Mpu Yanto (M.Ng. Suyanto Wiryo Curigo)



  • Latar Belakang: Mpu Yanto merupakan salah satu empu yang juga terkenal di Surakarta. Dia dikenal dengan keahliannya dalam menciptakan keris dengan pamor yang rumit dan simbolik.
  • Karya: Karya-karya Mpu Yanto biasanya mencerminkan kedalaman filosofi Jawa, dengan setiap keris memiliki makna tersendiri. Kualitas pengerjaan dan kehalusan pamor pada keris-kerisnya menjadikannya diminati oleh kolektor dan penggemar keris.Besalennya Hingga Sekarang diteruskan Oleh Kedua Putranya Eko dan Andi ( Besalen Empu Suyanto Wiryo Curigo). 
     

6. Mpu Yantono




  • Latar Belakang: Mpu Yantono adalah empu lain dari Surakarta yang juga dikenal luas dalam komunitas perkerisan. Dia sering dianggap sebagai penerus tradisi perkerisan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai dan teknik-teknik pembuatan keris klasik.
  • Karya: Mpu Yantono menghasilkan keris-keris dengan desain yang klasik, sering kali dengan inovasi pada pamor dan bentuk bilah keris. Karyanya dihargai karena keseimbangan antara kekuatan, keindahan, dan makna spiritual.

7. Mpu Kamdi




  • Latar Belakang: Mpu Kamdi adalah empu yang terkenal karena inovasinya dalam pembuatan keris, termasuk menciptakan keris dengan desain yang unik dan simbolis. Dia dikenal luas dalam dunia perkerisan karena karyanya yang disebut "Keris Gelombang Cinta".
  • Karya - Keris Gelombang Cinta: Keris Gelombang Cinta yang diciptakan oleh Mpu Kamdi adalah salah satu karyanya yang paling terkenal. Keris ini memiliki bilah dengan gelombang (luk) yang unik dan simbolis, melambangkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keseimbangan dalam hidup. Keris ini dihargai tidak hanya sebagai senjata tradisional tetapi juga sebagai karya seni dengan makna filosofis yang dalam.

8. Mpu Fauzan Ndalem Harjonagoro (Go Tik Swan)




  • Latar Belakang: Go Tik Swan, yang kemudian dikenal sebagai Mpu Fauzan Ndalem Harjonagoro, adalah seorang budayawan, seniman, dan empu keris yang sangat dihormati, dia berhasil menyatukan berbagai elemen budaya Jawa dalam karyanya, dan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Surakarta dengan gelar Ndalem Harjonagoro.
  • Karya: Karya-karya Mpu Fauzan terkenal karena menggabungkan keindahan seni dan nilai-nilai spiritual Jawa dalam setiap kerisnya. Dia sering membuat keris yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna filosofis. Karyanya sangat dihargai oleh kolektor dan peminat budaya, baik di dalam negeri maupun internasional. Sebagai seorang empu, Mpu Fauzan memadukan teknik tradisional dengan estetika yang tinggi, sering kali menghasilkan keris yang mencerminkan identitas budaya Jawa yang kuat.
 Besalen yang berada di komplek tempat tinggal sang panembahan di kawasan Kratonan, Solo, Jawa Tengah, itu terakhir digunakan untuk membuat keris tahun 1992. Mpu Pauzan sendiri dalam 10 tahun terakhir sempat berhenti membuat keris karena sakit.

Sejarah Besalen ASKI (sekarang menjadi ISI Surakarta)

Dietrich Drescher, pelaut Jerman yang menggemari keris Jawa. Saat datang ke Museum Radyapustaka, ia mengungkapkan kepada Hardjonagoro bahwa ia telah menemukan sisa-sisa besalen atau tempat membuat keris di Jitar Yogyakarta yang legendaris itu. Bersama Dietrich Drescher, Hardjonagoro lalu mendatangi Yasa dan Jeno, keturunan mpu keris di Jitar Yogyakarta. Mereka meminta dua keturunan mpu tersebut untuk membangkitkan lagi besalen yang ada dan membuat keris seperti yang ditunjukkan dalam manuskrip Mpu Djojosoekatgo. Setelah berhasil membangkitkan kembali besalen keris di Yogyakarta, Hardjonagoro bersama anggota BTA ( Bawa Rasa Tosan Aji) lainnya bertekad untuk membangkitkan besalen yang ada di Solo.
Berjalannya waktu, besalen yang berhasil dibangkitkan maupun dibuat adalah Besalen Suparman, Besalen Fauzan, Besalen ASKI (sekarang menjadi ISI Surakarta) di Sasana Mulyo Komples Kraton Surakarta. Dari besalen-besalen itu, dihasilkan keris-keris generasi Mpu Muda baru. Tahun 1980 an.
Koleksi keris Go Tik SwanPada 1988, Go Tik Swan juga membangun besalen di kediamannya yang diberi nama Besalen Surolayan, karena sebelumnya rumah itu diberi nama Ndalem Surolayan. Besalen itu dipasrahkan kepada Hardjosoewarno, pembantu kepercayaan Hardjonagoro sekaligus calon pewaris.


9  . Mpu Kiet Sing 


Mpu Kiet Sing adalah salah satu empu keris yang menonjol di dunia perkerisan, terutama karena ia merupakan murid dari almarhum Mpu Kamdi. Sebagai murid dari seorang empu yang dihormati, Mpu Kiet Sing mewarisi teknik, pengetahuan, dan filosofi yang mendalam dalam pembuatan keris.
Latar Belakang Mpu Kiet Sing
Mpu Kiet Sing memulai perjalanan sebagai empu di bawah bimbingan Mpu Kamdi, yang terkenal dengan inovasi dan kualitas tinggi dalam pembuatan keris, seperti karya terkenal "Keris Gelombang Cinta." Di bawah arahan Mpu Kamdi, Kiet Sing belajar dan menguasai berbagai aspek seni pembuatan keris, termasuk teknik tempa, pembuatan pamor, dan penanaman nilai-nilai spiritual dalam setiap karya yang dihasilkan.

10. KRT. Bagyo Sonto Djojowinoto ( Cucu dari Sontokusomo I )

Mpu Bagyo, yang dikenal juga sebagai Pak Yok Po, adalah salah satu empu terkemuka dari Surakarta dan salah satu pendiri Besalen Sasana Mulyo di Kraton Surakarta. Besalen ini menjadi salah satu pusat penting dalam dunia perkerisan, tempat di mana banyak keris berkualitas tinggi dihasilkan.


Mpu Bagyo di Besalen Sasana Mulyo

Sebagai salah satu pelopor berdirinya Besalen Sasana Mulyo pada tahun 1980-an, Mpu Bagyo bersama rekan-rekannya memainkan peran penting dalam kebangkitan Tosan Aji, yaitu seni pembuatan senjata tradisional, termasuk keris. Besalen ini menjadi tempat berkumpulnya para empu dan pecinta keris untuk melestarikan dan mengembangkan seni pembuatan keris yang sarat akan nilai budaya dan spiritual.

Salah satu karya paling terkenal dari Mpu Bagyo adalah keris Dapur Naga Sapta Kelengan. Keris ini dikenal karena desainnya yang unik dan penuh simbolisme. Dapur (desain) Naga Sapta merujuk pada bentuk keris yang menampilkan motif naga, sebuah simbol kekuatan, perlindungan, dan kebijaksanaan dalam budaya Jawa. Keris ini disebut "kelengan," yang berarti tidak memiliki pamor atau pola pada bilahnya, menjadikannya terlihat polos namun penuh dengan makna yang dalam. Meskipun tanpa pamor, keris kelengan sering kali dianggap memiliki kekuatan spiritual yang kuat. Dapur Naga Sapta Kelengan adalah contoh sempurna bagaimana keris dapat menjadi simbol kekuatan spiritual dan estetika yang sederhana namun berwibawa. Melalui karya-karyanya, termasuk Dapur Naga Sapta Kelengan, Mpu Bagyo menunjukkan bagaimana seni pembuatan keris dapat terus relevan dan dihargai di zaman modern. Dedikasinya terhadap Tosan Aji dan kontribusinya dalam mendirikan Besalen Sasana Mulyo telah memberikan dampak besar bagi dunia perkerisan, tidak hanya di Surakarta tetapi juga di seluruh Indonesia. Warisan Mpu Bagyo terus hidup melalui karya-karyanya dan generasi empu yang terinspirasi oleh dedikasinya terhadap seni dan budaya. Besalen Sasana Mulyo tetap menjadi salah satu pusat penting bagi pelestarian dan pengembangan seni pembuatan keris di Indonesia.

11. Mpu Joko


  • Latar Belakang: Mpu Joko Suryono merupakan salah satu empu muda yang muncul di Surakarta, merupakan adik dari Mpu Bagyo dan dikenal karena dedikasinya dalam melestarikan seni pembuatan keris dan pisau. Dia belajar dari empu-empu terdahulunya dan menggabungkan teknik tradisional dengan pendekatan yang lebih modern.
  • Karya: Keris-keris buatan Mpu Joko Suroto dikenal dengan kehalusan pengerjaan dan kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya. Dia juga dikenal sering mengadakan pelatihan dan lokakarya untuk mendidik generasi muda tentang pembuatan keris.



Penulis. :
KRT. Cahya Setyonagoro. 
NB. Monggo jika ada koreksi atau penambahan Mengenai Mpu di Kota Surakarta yang belum masuk dalam Penulisan saya. 
Tujuan dituliskannya hal ini agar sejarah tidak hilang di kemudian Hari. 


Selasa, 06 Agustus 2024

KERIS SETAN KOBER

 


KERIS SETAN KOBER (Perang Niskala Tanah Jawa)
-------------------------------------------------------------

Pada akhir masa Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, tanah Jawa mempunyai dua empu penempa keris yang kesaktiannya melampaui empu-empu lainnya. Mereka saudara seperguruan: Empu Rahtawu dan Empu Supa Mandragi. Jika Empu Supa Mandragi telah memeluk Islam semenjak menikah dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga, Empu Rahtawu tetap bertahan dengan Siwa Buddha. Kesaktian mereka mengundang banyak kesatria besar tanah Jawa untuk memesan keris pusaka pada keduanya. Empu Supa Mandragilah yang mencipta Keris Kyai Nagasasra Sabuk Inten. Empu Rahtawulah yang mencipta Keris Kyai Condong Campur bersama 99 muridnya. Keduanya juga sama-sama berumur panjang, sudah menjadi empu termasyhur semenjak zaman Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, hingga zaman penguasa Demak kedua, Sultan Yunus.

“Sagopa! Siapkan semua sesaji! Aku akan bersamadi! Siapa pun tidak boleh membatalkan samadiku!” titah Empu Rahtawu pada hari itu.

Hari itu Selasa Pahing. Sagopa ingat betul Empu Rahtawu memulai samadinya terhitung tujuh hari sejak tersiar kabar jatuhnya Ndaru Kalabendu, batu meteor yang meledak saat menerobos udara bumi. Batu itu kemudian berubah menjadi logam yang paling dicari para empu pembuat keris-keris sakti.

Saat samadi Empu Rahtawu baru berjalan sehari, datang seorang pangeran dari Kesultanan Demak untuk menemui sang empu. Dia adalah Raden Kikin, putra kedua Sultan Fattah. Raden Kikin ingin dijodohkan oleh Empu Rahtawu dengan keris ampuh sebagai piandel dan pemangku hak warisnya atas takhta Kesultanan Demak. Sebagai adik pertama Sultan Yunus, dia berhak mewarisi takhta Demak bila sewaktu-waktu Sultan Yunus tewas dalam pertempuran melawan Portugis di Semenanjung Malaka yang sedang dipersiapkan besar-besaran.

Ingatan Sagopa terputus lagi saat terbit fajar. Apa yang dia khawatirkan terjadi. Di ufuk timur, matahari mulai menyorotkan sinarnya. Empu Rahtawu belum juga muncul dari dalam danau. Sagopa bingung. Dia termangu mengetahui semua saudara seperguruannya sudah terjun menyelam. Hanya dia yang masih berdiri di anjungan. Tak pelak, akhirnya dia pun menyusul terjun ke danau.

Hari semakin terang. Matahari naik setinggi lembing, namun kabut masih menyelimuti danau dan hutan sekitarnya. Suasana sangat sepi. Sepi yang ganjil. Tak terdengar kicau burung atau suara-suara binatang lain. Ke mana perginya semua penghuni hutan? Hanya terdengar derit dahan dan ranting serta daun-daun yang bergesek saat angin bertiup. Tampaknya semua penghuni hutan telah pergi beberapa hari yang lalu. Sesuatu telah terjadi. Naluri mereka yang tajam menengarai adanya bahaya yang tidak bisa dihindari kecuali dengan pergi jauh-jauh dari danau itu.

Teka-teki itu mulai terjawab saat kabut hilang perlahan. Tampak pemandangan yang mengagetkan. Ribuan bangkai ikan mengapung-apung di pinggir danau. Bau busuk yang menyengat tercium ketika angin bertiup. Di pinggir danau terlihat beberapa pohon tumbang. Tebing di pinggir danau runtuh dan tertutup lumpur. Terlihat bekas-bekas sesuatu yang meluncur sangat cepat, lalu menumbuk danau hingga menimbulkan ledakan yang kuat.

Perahu yang berada di tengah danau bergoyang tertiup angin, tapi tetap tidak bisa melaju ke mana-mana karena ada jangkar yang menahannya. Sudah cukup lama Sagopa dan lima saudara seperguruannya menyelam ke dasar danau untuk mencari guru mereka, namun sampai kini belum muncul juga. Sesaat kemudian, muncul seseorang di sebelah kanan perahu, berjarak kira-kira lima puluh tombak. Apakah dia Sagopa atau salah satu dari lima saudara seperguruannya? Bukan. Dia adalah Empu Rahtawu sendiri. Dia muncul ke permukaan air seperti didorong kekuatan yang sangat besar. Dia membawa segumpal logam hitam sebesar kura-kura dengan satu tangan. Logam hitam itu diletakkan di telapak tangannya. Menilik bentuknya, logam itu pasti berat, namun terlihat ringan di telapak tangan empu berwajah wingit itu.

Beberapa hela napas kemudian, pemandangan yang ajaib terjadi! Empu Rahtawu berdiri tegak di atas permukaan air. Tidak tenggelam. Air di bawah telapak kakinya seperti mengeras. Sejurus kemudian, dia menoleh ke arah perahu yang semalam dia naiki bersama enam muridnya. Raut wajahnya tidak mengesankan sesuatu. Bahkan cenderung dingin. Tak lama kemudian, terjadi keajaiban lagi. Kakinya melangkah di atas permukaan air menuju tepi danau!

Tak lama berselang, Sagopa bersama lima saudara seperguruannya muncul satu demi satu ke permukaan air. Tubuh mereka mengambang dan membengkak seperti ribuan ikan yang mati membusuk. Kulit mereka menghitam, pertanda terkena racun yang mematikan!
--------------------------------------------


Pengarang: S. Trisasongko Hutomo
SC | 14 x 21 cm | 445 hlm.
ISBN: 978-602-6799-08-1


Menurut Mpu Bandi ( KRT. Subandi Suponingrat ) 
Keluar dari konteks filologi mistis 
Setan Kober merupakan kurang ketepatan dari pengucapan kalimat .
dari literasi yang di dapat sebenarnya pembuat ( Mpu Supo Mandrangi). 

memberikan nama Sih Tan Kober ( Kasih sayang yang belum terwujud) 
Sih : asih./ kasih sayang / tan asih./ pemberian rasa cinta 
tan : belum 
kober : waktu./ kesempatan./ peluang 
bisa juga diartikan Sih Tan Kober ; belum sempat ada waktu untuk memberikan kasih sayang. 
belum sempat mengutarakan rasa cinta. 

Sebenernya Mpu Supo Mandrangi memberikan arti nama Keris Asih Tan Kober karena memberikan pesan bahwa belum sempat memberikan kasih sayang entah pada keluarga ataupun negara. mengingat pada saat itu era zaman Kerajaan yang sering didera peperangan perebutan wilayah. era dimana Penguasaan Portugis yang bergejolak dengan Kerajaan Demak. sekitar tahun 1500 an. dengan catatan Babad Tanah Jawa ; 
Pada 1521, Pati Unus, suami dari anak pertama Raden Patah melakukan penyerangan ke Portugis di Malaka. Namun, ia gugur dalam perang tersebut.



Senin, 27 Mei 2024

 Gaman Cirebon

JAMBANGAN DAN TRUSMIAN

 Berbagai bentuk keris pada era kerajaan Cirebon, menurut Pangeran Suryanatha Harya salah satu sesepuh Cirebon, ada tertulis dalam kitab pakem "Gaman Cerbon". Sedangkan hulu atau garan keris menurut bahasa lokalnya, ada tertulis dalam kitab "Peklamben Gaman".

Pada masa Cerbon dipimpin Kanjeng Sinuhun Sunan Jati Purba (Gunung Jati, berkuasa 1471-1478), filosofi ajaran toriqoh dimasukkan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari di Cerbon. Tidak hanya dalam perilaku, akan tetapi juga  dalam hal berbusana, seni bangunan, senjata, seni rupa dan sebagainya.

Sunan Gunungjati tidak menghilangkan kebudayaan yang ada, akan tetapi "mengolaborasikan" dengan budaya lokal. Hanya saja, dalam hal "Pakem Gaman" ada yang diubah. Tentunya dari tradisi sebelumnya, yang banyak terpengaruh oleh tradisi Pasundan.

Lebih tepatnya lagi, bentuknya “diperindah”. Bentuk garan bermotif buta (raksasa), diperindah bentuk dan posisinya. Posisi kepala, misalnya, diseragamkan "nengleng" (agak meliuk) ke kanan.

Pada masa pemerintahan Sultan Matangaji (1773-1786), misalnya, politik Belanda menguasai segalanya. Sampai Sultan Matangaji sendiri menjadi korban politik, akhirnya malah tersingkir. Menyingkir ke pinggiran Cirebon dan mengajar agama. Sementarta budaya Barat pun mulai menguasai, atau setidaknya banyak mempengaruhi Cirebon.



Di atas ini, adalah salah satu contoh warangka dan hulu yang khas Cerbonan, yang diciptakan setelah Cirebon di bawah era Sunan Gunungjati, era kerajaan Islam. Srangka Jambangan, dan Hulu Trusmian namun versi primitif dan alami. Filosofi trusmi adalah tunas "terus bersemi", awal tumbuh dalam kehidupan di tlatah Cirebon.


KESULTANAN CIREBON 

Kesultanan Cirebon rentang hidupnya cukup panjang (1430–1677) jauh sebelum kerajaan Mataram (1586-1755) berdiri di Jawa Tengah. Setelah (1677), di era kolonial Cirebon dibagi menjadi Kanoman dan Kasepuhan. Bahkan kemudian menyusul Keraton Kacirebonan. Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Lampung dan Jawa bagian barat.

Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama tiga (3) abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai Sri Mangana (Penguasa) Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677.

Berdasarkan naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Sultan Abdul Karim diambil menantu Amangkurat I dan tak pernah kembali setelah dinikahkan di Mataram. Tipu daya Mataram masa Amangkurat I serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara pribawa (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.

Munculnya Kesultanan Banten tidak lepas dari Cirebon. Pada 1552 Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai Depati (Gubernur) Banten untuk kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama Kesultanan Banten.

Rabu, 21 Februari 2024

KHADGA #2

 Khadga dan Keris Puthut Sa-Ajian / Puthut Sajen
(Menelusuri Prototipe Awal Keris)
KHADGA

Sering juga disebut Asi (bhs. Rigveda) / Khadga (bhs. Sanskerta klasik) atau Kandha (bhs. Hindi) adalah nama senjata yang pertamakali ada sebelum senjata2 lainya dibuat menurut Kepercayaan Ciwa/Hindhu. "Diciptakan" oleh Dewa Brahma (sebutan untuk manifestasi Daya KuasaNYA dlm penciptaan), berujud pedang pendek bermata tajam dan halus, sering disebut juga sebagai belati persembahan. Asi/Khadga/Kandha dan senjata2 para dewa disamping mempunyai fungsi teknomik (Teknofak) juga berfungsi sosioteknik (Sosiofak)dan ideoteknik (Ideofak), sebagai atribut seorang Dewa juga dari bentuknya mempunyai makna-makna yang simbolis filosofis dan mempunyai 'daya kekuatan' yang dahsyat. Dalam kepercayaan Çiwa-Budha Khadga dikenal sebagai 'pedang pemutus rantai karma dan pedang kebijaksanaan'. Bentuknya bisa terlihat pada gambar, bilah ada yang agak panjang dan pendek, tidak ber-lekuk (Luk),  pada bagian pegangan tangan ada "pelindung tangan" atau sering disebut "Quillon". Bilah membentuk sudut siku terhadap Quillon sehingga tidak ada sudut kemiringan bilah/Condhongleleh.

Khadga yang kita lihat pada Relief di Candi atau Arca Dewa-Dewa termasuk dalam Seni Klasik yang berasal dari India,  masuknya Kepercayaan Ciwa/Hindu ke Nusantara mengakibatkan Khadga juga terbawa dan juga dibuat oleh para Mpu Pande di Nusantara, hal ini dibuktikan dengan adanya artefak-artefak yang ditemukan. Di Agama Ciwa-Budha dimana Khadga bermakna  sebagai "Pedang Kebijaksanaan" dari sisi fungsi yang bersifat Ideoteknik/Ideofak diadobsi menjadi apa yang disebut "Pedangpora" dlm kemiliteran/kepolisian kita, bentuk dan secara fungsinya lebih diutamakan sebagai fungsi Sosioteknik sebagai pelengkap seragam dan upacara kemiliteran dan fungsi Ideotekniknya sebagai "Pedang Kebijaksanaan", sehingga Pedangpora sdh bukan berfungsi sebagai "senjata utk berperang" (teknomik/teknofak).


KERIS  SAJEN / KERIS Sa-AJIAN

Keris Sajen / Keris Sa-Ajian termasuk kedalam Seni Primitif, yang artinya dibuat sangat sederhana dan belum mengikuti aturan kerajaan. Bilah dibuat secara "iras" yang artinya bilah dan bagian pegangannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Tidak memakai apa yang disebut "pelindung tangan / Quillon", Bilahnya tidak satu garis lurus dengan bagian hulu/pegangan, sehingga bilah mempunyai "sudut kemiringan/Condhongleleh" terhadap pegangannya. Berdasarkan pengukuran dengan skala derajad  menunjukkan pada sudut-sudut berangka genap yaitu 86*, 84*, 80*. Bilah cenderung "pipih/tipis" dengan panjang bilah rata-rata sejengkal. Bentuk awal bilahnya "leres" (tidak Luk/tidak berlekuk-lekuk) dan belum ada "garis yang menunjukkan Bilah dan Gonja". Penyusunan material pada bilah awalnya belum memakai apa yg disebut "Slorok" yang terbuat dari besi baja.

Ciri khas disamping  dibuat secara "iras" , pada bagian "hulu/pegangan" dibentuk sosok manusia yang masih diwujudkan dalam bentuk gaya "tribal arts" penampilannya seperti sosok manusia pada Arca2 Megalitik yg ada di Nusantara.

Kata Sajen atau Sa-Ajian berasal dari kata Sa dan Ajian:

– Sa bermakna Tunggal

– Aji bermakna Ajaran

– Sa bermakna Seuneu, bara atau Api (Aura-energi).

Bermakna Sa Ajian atau ajaran yang Tunggal atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilakukan oleh manusia sebagai CiptaanNYA. Dalam kehidupan keseharian diwujudkan dalam tindakan untuk selalu berusaha menyatukan keinginan (kahayang-kahyang) dengan keinginan alam atau beserta alam (menyatu dengan alam), sering juga disebut "kemanunggalan" antara keinginan  Manusia-Alam dan Sang Maha Pencipta yaitu lebih untuk kepentingan Ideoteknik/Ideofak.

Dalam perjalanannya Keris Sajen yang semula berupa Seni Primitif oleh generasi selanjutnya diwujudkan juga menjadi Seni Klasik seiring dengan sudah adanya Kerajaan2 di Nusantara dan mempunyai "aturan-aturan" yang sudah ditetapkan oleh Kerajaan dengan Kepercayaan yang dianutnya yaitu Kepercayaan Ciwa/Hindhu dengan memasukkan Konsep Lingga-Yoni sehingga menjadi bentuk seperti Keris saat ini. 

Keris sebagai Sebuah Karyaseni Tradisi mempunyai karakteristik  bahwa "generasi selanjutnya sering membawakan gaya-gaya sebelumnya" sehingga menjadikan Keris Sa-Ajian tetap dibuat oleh generasi-generasi berikutnya dengan mengikuti kaidah-kaidah penyusunan materialnya maupun juga bentuknya. Sudah memakai Slorok, Saton Pamor dan ber-Luk.


Kalau bentuk bilah keris saat ini kita runut kembali dengan menyatukan bagian-bagian bilah yang saat ini terpisah maka pada akhirnya kita akan menemukan bentuk awal yaitu seperti halnya bentuk Keris Sa-Ajian / Keris Sajen/ Keris Puthut Sajen yang dibuat secara iras, sehingga ini menjadikan bukti bahwa Prototipe Awal Keris adalah Keris Sajen/Keris Sa-Ajian/Keris Puthut Sajen, jadi bukanlah Khadga seperti yang dipahami saat ini.

Keris yang seperti kita lihat saat ini adalah suatu bentuk Alkulturasi Budaya dan Sinkretisme dalam hal pemaknaannya yang tidak bertentangan dengan pemaknaan awal sebagai sebuah "Kemanunggalan"

Semoga dapat mencerahkan dan menambah pengetahuan.

Senin, 12 Februari 2024

Serat Mintaraga



Serat Mintaraga 

Kapetik saking Serat Mintaraga - yasan  Sampeyan Dalem Sinuwun PB III 

nedak saking serat kina Arjunawiwaha yasan ingkang minulya Mpu Kano.


Mangkana Sang Parta matur aris | dhuh pukulun sêmbahing manuswa | pada bathara yêktine | katur jêng sang sinuhun | apan rêke pukulun ugi | sêmbahipun pun Parta | ênggène dumunung | ing mangke ing têmbeneka | sêmbahipun pun Parta datan lyan ugi | kang mumpuni ing sêmbah ||

apan sêmbah manuswa puniki | kadi ta angganing tahên ika | ingkang umijil agnine | kang pama tahênipun | inggih pada bathara ugi | kang minăngka agninya | têmah manuswèku | pan tan kawasa anêmbah | myang amuji nênggih kawula puniki | lamun datan anaa ||

sihing pada bathara sayêkti | pan jatining manuswa punika | kadi menyak upamine | apan menyak puniku | mêdal saking wong mutêr nênggih | dening ingkang minăngka | wong mutêr satuhu | sayêkti pada bathara | kang minăngka menyakipun kang upami | manuswaning bathara ||

Sang Arjuna angastuti malih | byapi-byapaka têgêse ika | byapi wisesa têgêse | byapaka têgêsêsipun | kang misesa puniku nênggih | inggih pada bathara | karan mangkanèku | dening ta pada bathara | sarining cipta amisesa sayêkti | inggih pada bathara ||

datan aganal kalamun pinrih | pada bathara tan moring agal | miwah ing ala ayune | karane mangkanèku | dening pada bathara ugi | langgêng ingkang akarya | jagade puniku | apan patine uripnya | lan langgênge orane manuswa iki | apan anèng ing karsa ||

karsaning pada bathara nênggih | apan manuswa puniki uga | sakane miwah ulihe | mangke ing têmbenipun | saking pada bathara ugi | pinangkane duk ora | manuswa puniku | ngastuti malih Sang Parta | dhuh pukulun pama manuswa puniki | yèn arsa ngawasêna ||

ing pada bathara ingkang yêkti | upama kadi angganing wulan | mimba madyaning wiyate | wontên gatha têtêlu | wadhah tiga punika ugi | kang satunggal si toya | awêning kalangkung | wadhah kang satunggalira | isi toya alêtuh toyanirèki | wadhah kaping tiganya ||

kang tanpa isi toya satunggil | sami kadulu dhatêng kang wulan | yêkti wayangan wulane | yèn tumiba puniku | ing wêwadhah ingkang aisi | toya wêning punika | nyata yèn dinulu | têtela rupaning wulan | kang tumiba ing wêwadhah kang aisi | toya lêtuh punika ||

wêwayanganing wulan kaèksi | ingkang tumiba anèng wêwadhah | ingkang alêtuh toyane | sami katingalipun | wêwayangan wulan anênggih | nanging datan têtela | sabab toya lêtuh | wondene ingkang tumiba | ing wêwadhah ingkang tanpa isi warih | tan wontên katingalan ||

saking botên wontênipun nênggih | wêwayanganing wulan punika | dening wêwadhah suwunge | tanpa isi toyèku | măngka ing dumadi puniki | ingkang minăngka kanya | tahaning suksmèku | ingkang tumiba wêwadhah | toya wêning têgêse ingkang sujanmi | rahajêng manahira ||

kang têtêp puji bêktinirèki | ing bathara dening kang tumiba | wêwadhah lêtuh toyane | manuswa kang puniku | ingkang rago manahirèki | kang arêp ora-ora | mring pênêd puniku | wondene ingkang tumiba | ing wêwadhah ingkang tanpa isi warih | manuswa kang mangkana ||

ingkang mungkur batharanirèki | kang ngarêpakên marêgi pangan | kang aja kurang turune | ywa towong sahwatipun | nandhang nganggo ywa kurang malih | wong kang mangkono uga | sasat sato tuhu | sato mani namanira | têgêse sato mani puniku ugi | sato wênang pinangan ||

karantêne manuswa puniki | botên kadi sami angulaha | maring ing yoga bratane | ya ta malih amuwus | Sang Arjuna malih ngastuti | pun Parta dhatêng pada | bathara satuhu | katêmu dening manuswa | yèn pada bathara kang nêmokkên ugi | punika sayêktinya ||

kang wênang lawan kaidhêpnèki | pada bathara dening manuswa | yèn bathara sayêktine | kang mênangakên tuhu | lan kaidhêp têgêse nênggih | pukulun pan tan ana | pangawasanipun | ingkang kawula punika | tan lyan saking jêng pada bathara ugi | pinangkane punika ||


1.Manusia jernih batinnya sinebut Manusia Dewa kadya dewa (bathara) ngejawantah. Bak bayangan bulan jatuh di wadah berisi air yang jernih.

2. Manusia kotor batinnya sifat kadewatan kabhataran (sifat luhurnya) hanya sedikit - bak bayangan bulan yg jatuh d wadah berisi air yg kotor 

3. Manusia kadya kewan - manusia binatang tanpa sifat kabhataraan atau kedewataan - bak bayangan bulan jatuh d wadah tanpa air.

KRT. Cahya Surya Sonto Djojowinoto


NAGASASRA SABUK INTEN

NAGASASRA SABUK INTEN

Babad Tanah Jawa yang mengisahkan sebuah nama Keris  NAGASASRA SABUK INTEN. 

Bagian 151

Karya : SH. Mintardja

JAKA SOKA merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda Sima Rodra.

Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.

Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya.

Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit hatinya karen…

 NAGASASRA SABUK INTEN

Bagian 152

Karya : SH. Mintardja

"Hem…" Orang itu menarik nafas. "Kau terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara mereka."

"He…" sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, "Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?"

SEKALI lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, 

"Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?"

Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, 

"Kau bernama Mahesa Jenar…?"

Mahesa Jenar mengangguk.

"Kalau demikian…" sambung orang itu, "Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu."

Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama."

Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, "Jangan pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian jauhnya."

Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya.

Kemudian hampir berdesis ia berkata, "Ki Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya."

Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, "Kalau demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang."

Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, "Anehlah yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan." 

"Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.!?" geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.

"Jangan mengigau,!" bentak orang itu. "Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila."

Mendengar orang itu membentak-bentak, darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi.

Namun bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, "Apakah keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah, sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau sembunyikan?"

Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, "Tak kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama perguruannya."

Dada Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat menahan diri.

Dengan meloncat ia berteriak, "Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh."

Agaknya orang itu telah bersiaga pula. Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit. Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.

Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.

Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.

Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah- olah bagi kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan.

Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan.

Sebab mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di sebelah lain.

Namun bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak sama seluruhnya.

LAWAN Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya, sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.

Beberapa saat kemudian, di langit ujung Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri. Dalam pada itu kedua orang yang bertempur itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.

Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.

Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.

Mahesa Jenar, setelah melihat akibat pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan di mana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.

Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.

Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan Mahesa Jenar cukup tajam.

Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.

Karena orang yang dikejarnya itu agaknya telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula, sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang itu. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap di antara batu-batu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya.

Untuk beberapa saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena itulah ia dapat mengenal arahnya.

DENGAN hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan.

Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.

Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik.

Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap.

Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain.

Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.

Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.

Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.

“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.

Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.!?”

Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya, 

“Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”

Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing.


NAGASASRA SABUK INTEN

Bagian 153

Karya : SH. Mintardja

Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa.

Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.

Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya.

Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.

Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya.

Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.

Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.

“KI SANAK…” Terdengar orang itu berkata.

“Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”

Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, di sampingnya.

Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”

Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan. 

“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”

“Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”

Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, ” Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”

Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”

“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.!”

Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, 

“Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.”

Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam sebuah goa.

Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap.

Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.

Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.

Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari ilmunya.

Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging.

KARENA pertanyaan-pertanyaan itu, maka kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya. Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan demikian ilmu akan berkembang terus.

Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.

Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas. Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.

Tetapi perasaannyalah yang tidak berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat. Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia terlonjak berdiri.

Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh, mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.

Ketika ia telah semakin dekat, makin jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian, tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan.

Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang, sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula bergelar Pangeran Handayaningrat.

Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah yang dapat dicapainya sepeninggalnya.

Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu. Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.

Beberapa lama kemudian barulah ia tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung. Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam suatu alam yang gaib.

Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.

Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.

Dalam keadaan yang demikian itulah, hati Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar. Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.

Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk menyempurnakan seluruh ilmunya.

Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya, mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.

Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama, kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri.

Dalam pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas- tunas dari perguruan putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru.

Ia pernah bertempur dengan murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar, Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan berpasangan.

Mau tidak mau. semua jenis ilmu gerak itu saling mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah, sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.

Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat. Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung di sampingnya itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya di hadapan gurunya sendiri.

Matahari yang mula-mula memancar dengan teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah ke arah barat. Dan pada saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan lelahnya menyusup ke arah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung yang tersirat di balik mega-mega mewarnai wajah langit.

Pada saat itulah ruangan yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna yang lemah lembayung di langit sama sekali tidak dapat menembus masuk ke dalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam. Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui batas.

Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan meraba-raba dinding ia menyelusur ke arah mata air di dalam ruangan itu di belakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali ke muka patung yang mempunyai ciri gurunya. Di hadapan patung itulah Mahesa Jenar merebahkan dirinya untuk beristirahat.