Kamis, 01 Desember 2022

Epistemologi Tosan Aji ( KERIS)

 

Epistemologi Tosan Aji ( KERIS) 

Epistemologi (dari bahasa Yunani epistÄ“mÄ“; artinya "pengetahuan", dan , logos, artinya "ilmu") adalah cabang dari filsafat yang berkaitan dengan hakikat atau teori pengetahuan. Dalam bidang filsafat, epistemologi meliputi pembahasan tentang asal mula, sumber, ruang lingkup, nilai validitas, dan kebenaran dari pengetahuan. Epistemologi mempelajari tentang hakikat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan.

Epistemologi dari masyarakat memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologi menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju di suatu negara karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi (Pranarka, 1987). Setiap bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, selalu dilatarbelakangi kemajuan sains dan teknologi yang berbasis kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Teknologi secara menyeluruh dapat didefinisikan sebagai kesatuan dari tiga hal yang antara lain terdiri dari: input berupa sumber daya alam, kemahiran teknik, pengetahuan dan peralatan; proses yang meliputi: pembikinan, penggunaan, perancangan keinsinyuran, dan produksi massal, produk yang berupa elektronika, komputer, otomasi, alat transportasi, bangunan, pertanian, peternakan, alat rumah tangga, dan lain-lain (Gie, 1996). Produk teknologi tidak dapat dipungkiri sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa teknologi adalah alam kedua karena hidup manusia tidak dapat lepas dari teknologi sebagaimana pada alam pertama manusia tidak dapat hidup tanpa air dan udara. Dengan adanya teknologi, kemampuan fisik dan akal manusia menjadi semakin luas dan berlipat, sehingga dapat dikatakan bahwa teknologi adalah perpanjangan tangan dan akal manusia.


Workshop Tepa Keris , KenRa (Muh.Ra'uf) & Ki Bhara 

Ciri khas epistemologi teknologi keris

(1) Keris diproduksi oleh padepokan, bahkan dapat dikatakan diproduksi oleh individu karena mpu sebagai manajer sekaligus pekerja dan inovator. Keris lebih mirip dengan karya seni dari pada produk industri. Keris adalah karya luhur yang dihasilkan oleh mpu sebagaimana karya besar seni yang dihasilkan oleh maestro. 

(2) Mpu dalam membuat keris bertumpu pada kemampuan individual yang meliputi: kesaktian, pengalaman, ketlatenan, keahlian, motivasi, dan inovasi, serta hubungan mpu dengan Tuhan. Oleh karena itu, rahasia (ilmu) pembuatan keris tersimpan secara pribadi. Biasanya kemampuan (pengetahuan dan keahlian/praktek) tersebut diwariskan kepada keturunannya. Budaya “kerahasiaan” dalam pembuatan keris pada masa lalu itu disebut sebagai budaya sinengker. Keris bagi orang Jawa pada masa lalu merupakan benda yang sinengker. Dipesan untuk dibuat dengan niat pribadi sehingga perlu dirahasiakan. Meski kerahasiaan itu menghambat pelestariannya, ternyata budayasinengker itu dulu juga menimbulkan kekhasan mutu dan penampilan keris (Harianto, 2008: 2). Guna menjaga kerahasiaan pembuatan keris kadangkala bengkel kerja tertutup bagi pihak lawan. Walaupun saat pembuatan keris oleh mpu yang sakti terbuka bagi khalayak ramai namun setelah penonton meninggalkan tempat pembuatan keris maka mereka menjadi lupa tentang proses pembuatan keris yang telah dilihatnya (Moebirman, 1980: 98). 

(3) Mpu dalam membuat keris melibatkan unsur rasa sehingga ia menyatu dengan keris yang dihasilkannya. Hal ini bisa diketahui dengan laku spiritual yang dijalani, doa-doa yang dipanjatkan, mantra yang diucapkan, dan harapan/keinginan akan karakter sebuah keris sehingga membawa kemaslahatan bagi hidup manusia. 

(4) Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan keris Pusaka tidak dapat ditetapkan dengan pasti karena upaya mpu sangat tergantung pada kekuasaan Tuhan. 

(5) Walaupun ada standard umum pembuatan keris namun tidak ada standard kualitas produksi, karena keris merupakan karya seni dan teknik luhur mpu, bukan produksi massal yang dihasilkan oleh industri. 

(6) Keris-keris ciptaan mpu itu setiap jaman mempunyai ciri-ciri khas tersendiri sehingga para pendata benda pusaka itu tidak kebingungan . Ciri khas terletak pada segi garap dan kualitas besinya. Kualitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi pada jaman itu, juga penggunaan bahan pamor yang mempunyai tahapan-tahapan pula.

Motif dan konteks yang memicu lahir dan berkembangnya teknik pembuatan keris ditentukan oleh suatu keyakinan epistemologis komunitas masyarakat yang hidup pada jamannya. Masing-masing jaman memberi nuansa epistemologis dalam mencari metode yang tepat untuk menghasilkan produk yang unggul dalam mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang tersebar di Nusantara. 

Teknik pembuatan keris berevolusi seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang memangkunya sehingga menghasilkan keris yang bervariasi. Epistemologi teknologi pembuatan keris berbeda dengan epistemologi teknologi modern. Teknologi modern berbasiskan ilmu pengetahuan modern dalam mengembangkan kualitas produknya. Sedangkan teknologi pembuatan keris berbasiskan pengetahuan (kewaskitaan), rasa olah seni, dan keahlian mpu yang sifatnya rahasia/individual dalam menghasilkan karya masterpiece. 



Sumber; 

Imam Wahyudi , Epistemologi Teknologi Keris,  Jurnal Filsafat  Vol. 23, Nomor 3, Desember 2013.

Andayani, Theresia, 2012, “Ki Sungkowo Butuh 40 hari Untuk Membuat Keris Bertuah” dalam Tribun Jateng-Rabu, 4 Januari 2012. 

Bunge, M.A., 1977, Treatise On Basic Philosophy. The Furniture Of The World. Ontology I (Vol. 3), Reidel, Dordrecht. 

Darmosoegito, Ki, 1992, Bab Dhuwung, Djojobojo, Surabaya, Hal. 16. 

Ellul, J., 1964, The Technological Society, Alfred Knapf, New York. 

Feenberg, Andrew, 1999, Questioning Technology, Rouledge, London. 

Gie, The Liang, 1996, Pengantar Filsafat Teknologi, Andi, Yogyakarta. 

Harsrinuksmo, Bambang, 1985, Pamor Keris, Pusat Keris Jakarta, Jakarta. ___________________ dan Lumintu, S, 1988, Ensiklopedi Budaya Nasional: Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya, Cipta Abdi Pusaka, Jakarta. 

Koesni, 1979, Pakem, Pengetahuan Tentang Keris, Aneka Ilmu, Semarang. Lim, Francis, 2008, Filsafat Teknologi, Doh Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alam, Kanisius, Yogyakarta. 

Moebirman, 1980, Keris, Senjata Pusaka, Sapta Karya, Jakarta. Pranarka, A.M.W., 1987, Epistemologi Dasar: Sebuah Pengantar, CSIS, Jakarta. 

Skolimowski, H., 1974, “The Structure of Thinking in Technology”, dalam Contributions to a Philosophy of Technology, Friederich Rapp (editor), Reidel Publisihing Co, Dordrech, Holland.

Foto; Cahya Surya H. 


Kamis, 10 November 2022

" FUNGSI TOMBAK DILIHAT DARI BENTUK FISIK MERUPAKAN HASIL PERADAPAN DUNIA "

 

Prajurit Keraton Yogyakarta dengan Tombak ukuran Blandaran

" TOMBAK PUNYA FUNGSI YANG BERBEDA DILIHAT DARI BENTUK FISIK  MERUPAKAN HASIL PERADAPAN DUNIA "

Mata tombak berasal dari perkembangan alat pertahanan diri dan senjata dari benda runcing yang digunakan untuk menusuk, bisa jarak dekat atau jauh dengan cara dilempar, sesuai dengan fungsionalnya. Spear (tombak) berkembang dari suatu benda yang regional bersifat primitif sampai menjadi nilai peradaban dunia. Dalam Kehidupan di beberapa wilayah komunitas atau lebih tinggi tingkat sosialnya disebut kerajaan tertentu, mereka memiliki pengetahuan untuk saling mengembangkan bentuk tombak dan fungsinya. Bentuk tombak fungsional yang memiliki ragam berbeda – beda sesuai kebutuhan. Tombak dilihat dari bentuknya ada beberapa macam antara lain :

1.      Tombak yang punya sisi simetris dan mata runcing kebanyakan digunakan untuk dilempar, karena ada perhitungan gaya elipasi dan keseimbangan di udara. Wilayah Jawa hampir semua dapur baru, dapur biring , dan dapur cekel adalah jenis – jenis tombak lempar.

2.      Tombak yang tidak simetris di fungsikan sebagai tombak pegangan pribadi, sesuai fungsi dan kegunaan pemakai, juga disebut sebagai “hand spear” (tombak tangan).

3.      Tombak kebesaran : jenis – jenis tombak kebesaran merupakan tombak ageman atau tombak yang digunakan sebagai symbol, baik secara personil maupun kepercayaan untuk Negara atau Keraton, sebagai contoh jenis – jenis Tombak Pataka, Tombak Trisula, Tombak Pancasula, Tombak Canggah, dll. Kebanyakan tombak ini kurang fungsional, karena sebagai symbol bentuk tombak ternyata di dunia ini semua punya persamaan yang identik, hanya nilai budaya masing – masing yang berpengaruh pada karakternya saja yang membedakan ciri kedaerahannya.






Tombak merupakan hasil peradapan dunia karena yang terjadi di benua lain juga terjadi di benua Asia dan masing – masing budaya saling berhubungan dan bersinggungan dan bersinergi. Sebagai contoh tombak dari budaya Rusia yang bentuknya persis seperti kita lihat tombak tengah Keleng persis bentuk dengan tombak Rusia cuma beda material, Juga tombak – tombak Jawa banyak sekali Terinpirasi dengan tumbak dari India, Yunani Romawi, dll. Tapi hebatnya di Nusantara jenis tombak tidak ada di budaya negara asing dan merupakan murni hasil asli budaya nusantara seperti tombak Luk dan masih banyak bentuk yang unik dan banyak variatif, hal tersebut merupakan kebanggaan Nusantara dengan budaya Adi luhung. Semoga pengertian budaya dalam tosan aji akan selalu bersinergi untuk maju.









Jumat, 14 Oktober 2022

Sejarah Warangka Sandang Walikat

 A. Budaya Keris Era Kerajaan Demak.

"........Ketika Majapahit mulai rapuh (1480 M), Demak Bintoro mulai memiliki pengaruh di wilayah pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan lain lainnya. Demak merubah tatanan kerajaan Hindu-Budha menjadi bernafas Islam. Wali sembilan (Wali Songo) dalam upaya meng'islam'kan Jawa menggunakan cara dengan bersikap toleransi terhadap budaya masyarakat lingkungannya. Muncul nama Sunan Kalijaga sebagai wali yang pandai menggubah kesenian daerah dan menciptakan hiburan rakyat dan permainan anak-anak dalam rangka siar Islam... ".
(Kalijaga seniman Jawa; Makalah, GedungStovia-Jakarta, H. Deddylskandar 1988).

Catatan lain menyatakan bahwa Majapahit tidak runtuh oleh serangan dari kerajaan Demak Bintoro, melainkan mengalami pengeroposan dari dalam pemerintahannya. Ada beberapa sebab yang membuat Majapahit goyah, antara lain :
Seringnya terjadi bencana alam, Canggu sebagai pelabuhan terbesar Majapahit, rusak fatal diterpa bencana alam (James Nash; 1932).
Perang Paregreg merupakan perebutan kekuasaan yang berakibat kondisi ekonomi kacau, jurang kaya miskin melebar dan sering terjadi kerusuhan anarkis karena meruncingnya perbedaan paham kepercayaan. (DR. HJ. de Graaf; Java in the 14th Century, 1960).

Berita dari China, menyatakan bahwa roda pemerintahan Majapahit (Raja Girindrawardhana 1486 - 1527 M) sudah dibawah pengaruh Kesultanan Demak Bintoro. Paham-paham kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat membuat pertikaian tak kunjung padam. Kitab Salokantara karya Raden Patah (Djiemboen) diluncurkan sebagai panduan fikih Islam (ajaran akhlak Islam). Berita dari China itu mengatakan : Pangeran Djiemboen dari Demak menyebarkan ajaran kebaikan (Islam) dalam pepatah, berbunyi Siuw Chen Chung Chok. Arti Siuw = memperbaiki, Shen = sendi dan Chung Chok adalah agama atau ajaran yang menitik beratkan pada perbaikan akhlak pada diri manusia.

Majapahit disibukkan oleh pertikaian kepemimpinan, bencana alam, kelaparan dan wabah penyakit (pageblug). Sementara itu, Demak semakin perkasa mengadakan pembangunan dan memperkuat pertahanan yang dirancang untuk menangkal ancaman Portugis yang mulai mendekati gerbang Jawa. Banyak ahli mesiu dari Yunan Islam (Kunming-Tiongkok) didatangkan atas rekomendasi Aryo Damar seorang ahli mesiu, ayah tiri Raden Patah Djiemboen dan ayah kandung Raden Kusen, keturunan Yunan-Islam.

Jika situasinya benar demikian, budaya keris pada jaman kerajaan Demak sudah pasti tidak diperhatikan oleh pusat kekuasaan. Raden Patah (Djiemboen) memilih teknologi mesiu dari pada senjata tradisionil.

Namun demikian, budaya keris yang telah mengakar sejak jaman kerajaan-kerajaan sebelumnya sebagai senjata psikhis (keyakinan diri) masih terus berlanjut di dalam masyarakat. Budaya peng'agung'an keris tidak dapat digeser begitu saja. Dengan demikian para wali (Sunan Kalijaga) melakukan akulturasi sebagai langkah penyesuaian. Keris tetap dipakai sebagai atribut busana, bahkan para wali menyandang keris yang diselipkan di jubahnya (disengkelit; bahasa Jawa).



Bentuk warangka keris khas Majapahit dianggap kurang praktis, lalu dirancang dengan design yang baru, sedemikian rupa agar keris mudah "disengkelit" dan dibawa kemana-mana. Warangka rancangan para wali hingga sekarang dikenal dengan istilah "sandang walikat"(=sesuai pakaian wali).

Kerajaan Demak menghapus hegemoni sebelumnya, sehingga keris tidak diangkat sebagai isu penting. Bahkan keris pada masa ini keluar dari budaya sentralistik kekuasaan, keris hanya disandang oleh para wali.

Para wali memegang kendali adat dan budaya. Wali Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang disebut-sebut sebagai pelestari budaya. Keris terkenal yang bernama Kyai Sengkelat pembuatannya diprakarsai oleh Sunan Kalijaga pada masa transisi sebelum kerajaan Majapahit runtuh.

Pada catatan lain, ditemukan bahwa keris pada jaman Demak menjadi tanda waris (warisan). Para kolega wali atau kepercayaannya diberi keris sebagai cindera mata tanda mandat, pembawa pesan, sebagai utusan di pengukuhan status. Keris yang ada (ciptaan jaman sebelumnya) pada jaman Demak bergeser fungsinya sebagai pusaka warisan yang dianggap bernilai tinggi .

"......Sebagaimana dituturkan oleh Raffles, Sunan Ampel adalah salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa, beberapa hari sebelum meninggal dunia memberikan sebilah keris kepada Sunan Giri. Sunan Ampel berpesan agar keris itu jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak baik.... .... ''

Tulisan tersebut diatas merupakan indikasi bahwa keris diterima dilingkungannya, bukan suatu hal yang dianggap musyrik. Dapat dimengerti dari berita S. Raffles itu, bahwa pada waktu itu keris dianggap sebagai pusaka yang memiliki aspek religius yang harus disimpan oleh orang-orang yang sholeh.





Dimana para empu Keris masa itu ?

Pembuatan keris jaman Demak diperkirakan, mungkin tetap berlangsung namun dalam skala kecil sekali dan tidak diprakarsai oleh raja. Ciri-ciri bentuknya diperkirakan tidak berubah jauh dari bentuk karya jaman sebelumnya yaitu gaya keris buatan jaman Majapahit. Para empu yang hidup pada jaman Majapahit, tidak diketahui rimbanya. Hanya ditemukan catatan bahwa Sunan Kalijaga telah mendidik seorang empu keris (pandai besi) bernama Jaka Sura menjadi ulama yang terkenal cerdas, dan diberi gelar empu Supo Warihanom.

Karena pada masa akhir kerajaan Majapahit, dan mulai berdirinya kekuasaan Demak, kekacauan dan ketegangan menghantui rakyat sipil, menyebabkan senjata bernama "wedhung" yang lebih fungsional mulai banyak diproduksi.

Wedhung adalah senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata `wedhung' menurut kamus bahasa Jawa "Bausastra" (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana. Di sebelah selatan sentral kerajaan Demak, hingga sekarang bisa dijumpai desa Wedung, merupakan tempat dimana para empu keris menggarap wedhung.

Wedhung dibuat dengan gusen indah dan ricikan. Kebutuhan seni, merubah wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (situasi kacau pada saat itu) mulai bergeser menjadi benda seni, di "agung" kan seperti pada nilai budaya keris.
Wedhung mulai digarap empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor.
Motif pamor yang sering ditemukan adalah motif pamor beras utah dan wiji timun. Sebelumnya motif wiji timun dikenal dengan nama `ombak segoro' karena coraknya seperti penggambaran riak gelombang air laut yang susul-menyusul di pantai.

Wedhung berpamor wiji timun hanya boleh dimiliki oleh petinggi-petinggi di pantai utara Jawa pada waktu itu.

Indikasi bahwa wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa adalah asesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan `penyu'. (wedhung yang ditemukan di pesisiran). Pada jaman berikutnya bahan dari penyu diganti dengan tanduk kerbau.

Masyarakat sepanjang pantai utara Cirebon - Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Girindrawardhana (Majapahit). Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedhung (bukan keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.

Wedhung berkembang menjadi status simbol dalam keraton, ditandai dengan diciptakannya wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm disebut "pasikon". Wedhung kecil "pasikon" ini menggeser fungsi `senjata tebas' menjadi senjata psikhis (sebagai piyandel).

Pasikon pada waktu itu hanya boleh dipakai oleh raja dan para petingginya saja. Maka tidak heran jaman Demak dari era selanjutnya, raja-raja Jawa melengkapi busananya dengan `pasikon' yang mudah dibawa-bawa.

Wedhung mulai disandang oleh Sultan Trenggono (raja Demak Bintoro) diperkirakan pada tahun 1506 M, saat peresmian Masjid Demak yang megah (DR. HJ. de Graaf, "Mosque'). Sehingga para empu keris bergairah lagi, karena budaya keris berbentuk wedhung disandang raja dan masuk istana.

Ketika Adiwidjaya 1581 M, mendapat pengakuan sebagai raja Pajang setelah Demak Bintoro runtuh, para empu keris muncul dan mulai menciptakan keris lagi. Suatu era baru dimana keris lebih disempurnakan dari ciri keris pada jaman sebelumnya. Bahan-bahan besi keris Majapahit yang ditimbun dan tidak dipergunakan mulai dimanfaatkan sehingga seni keris jaman Pajang dinilai lebih indah dibanding keris jaman Majapahit.

Keris yang pada jaman Demak tidak menjadi peng"agung"an budaya kerajaan, tidak banyak dibicarakan pada buku-buku, kecuali hanya ditemukan pada beberapa buku kawruh padhuwungan (R. Tannaya 1938 - Ditulis ulang oleh S. Lumintu), disebutkan : "Tangguh Demak ; pasikutan wingit, angker; Besi basah; Pamor mengapung (ngambang)".

Bambang Harsrinuskmo menuliskan bahwa ciri-ciri bentuk keris jaman Kesultanan Demak, antara lain : "Tangguh Demak : Ganja rata. Gulu meled, sirah cecak : kecil dan menguncup. Bahan pamornya bagus. Besi agak kuning kurang bercahaya (guwaya). Sosok bilah agak membungkuk. Tikel alis pendek. Sogokan panjang. Kembang kacang kecil. Jalen kecil. Lambe gajah agak besar dan panjang".'A'

Catatan tambahan

Wedhung merupakan senjata tebas yang telah ada sejak masuknya pedagang-pedagang dari Asia Timur dan Tenggara. Pada akhir-akhir ini penemuan senjata berbentuk serupa wedhung di tepi sungai Brantas - Jawa Timur, diperkirakan peninggalan jaman kerajaan Singhasari (abad 12 M), serta beberapa penemuan di daerah Cirebon - Jawa Barat, kemungkinan buatan jaman kerajaan Pasundan Hindu-Budha (abad 10 M). Maka sebenarnya dapat dilakukan penelitian perkiraan bentuk awal wedhung dan tahap perkembangannya.

Pada jaman Demak Bintoro, seperti telah diutarakan wedhung mengalami perkembangannya dari fungsi senjata tebas - penambahan aspek seni - kemudian menjadi senjata spiritual dan symbol status.

Pada jaman Mataram, wedhung dihiasi pamor yang variatip. Perkembangan seni pada wedhung terlihat adanya penambahan kaligrafi Islam di bilahnya dengan teknik menempelkan tatahan rumit terbuat dari emas.

Budaya wedhung mengalami puncaknya pada jaman keraton Paku Buwana (Kartasura - 17 M). Wedhung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana dalam wilayah kekuasaannya.

Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwana X (18 M) wedhung sempat dipakai sebagai bahan ujian untuk para empu yang akan diresmikan oleh raja menjadi empu andalan keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu empu mas Ngabei Japan juga membuat wedung yang indah. 
(The World of The Javanese Keris; Garreft and Ronwen Solyom).

Wedhung menjadi bagian dari budaya keris yang penting karena oleh raja Paku Buwana X, wedhung (pasikon) dianggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain di dalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser; disebutkan :

"Wedhung, senjata yang disandang di pinggang kiri depan oleh putra raja dan petinggi istana. Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas, dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X Disisi belakang ada penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu dari tanduk kerbau. Wedhung pernah dihadiahkan kepada rafu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X, saaf penobatannya pada tahun 1898...". Wedhung biasa (untuk rakyat) juga dipakai oleh para abdi dalem dalam upacara resmi, sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan menjadi simbol pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.

Teknik membuat wedhung jauh berbeda dengan keris, karena wedhung memiliki simpul-simpul keseimbangan yang harus dipelajari dengan seksama sehingga tantingannya ringan. Teknik pelipatan besi pada wedhung tidak banyak variasi, kecuali tumpukan lipatan besi dan bahan meteor berpola `mlumah'.

Kesimpulan
Wedhung adalah bentuk senjata yang memiliki nilai budaya, seperti keris. Awalnya sebagai senjata tebas kemudian bergeser sebagai senjata spiritual yang memiliki fungsi lain yaitu merupakan pelengkap berbusana.

Ciri-ciri khas bentuk keris pada jaman Demak merupakan misteri, namun wedhung dan pasikon (wedhung kecil raja) yang bukan berbentuk keris ternyata tetap mengisi budaya perkerisan, sebagai mata rantai budaya yang tidak terputus.

SUMBER ; 
Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser
S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung
The World of The Javanese Keris; Garreft and Ronwen Solyom
Kalijaga seniman Jawa; Makalah, GedungStovia-Jakarta, H. Deddylskandar 1988
DR. HJ. de Graaf, "Mosque'
KRT. Cahya Surya Harsakya M.Sn. ( potongan Manuscrip Kraton Surakarta). 

Kamis, 29 September 2022

Surface Patterns (Pamor)


PAMOR TOSAN AJI. 

Kajian Senjata Tradisional. 

 Surface Patterns (Pamor) 

Pamor is the essence of Kris. Not only does the pattern welding work demonstrate the blade smith (empu) but also characterize the power of Kris. Pamor, mixture of alloys, is generated by welding together wrought iron and nickel. Afterward, it is acidized to create a contract between the darkened iron and the brightened nickel. It is argued that the best Pamor is made from meteorite iron. However, due to scarcity of meteorite iron, only special Pamor of Kris (probably belonging to the Royal Family) may be made from real meteorite iron. Engineering in manufacture of Kris is always possible in line with the development of forging technology, namely the use of nickle. According to the forging techniques, Pamor can be classified into two types, namely Pamor Mlumah (flat-horizontal) in which the laminating is parallel to the flat surface of the blade, and Pamor Miring (slanting) when the laminating is aligned to an angle to the flat surface of the blade. 

Meanwhile, according to the design (by the smiths), there are also two types of Pamor, namely Pamor Tiban which is accidently created (not as designed), and the other Pamor Rekan of which the patterns are really designed and controlled by the blade smith. Pamor itself can be located on the Sorsoran (main part of the kris body). It can also be designed as Flowers (Flower Design), Pamor Tiban, Basic Pattern, Circles, and Feathers. Each of the six classifications has been linked to further elaboration on the types of Pamor illustrated with pictures of each Pamor, including the mystical functions. In short, the power of Kris is supported by its Lok (curve), hilt, and Pamor (Surface Patterns) of which the most significant is the Pamor (Handriyotopo & Simatupang, 2018). To give a general …, Table 3 below displays some distinctive names of Pamor and their symbolic meanings Table 3. 

Distinctive Pamor and their symbolic meanings No Design Name Symbolic Meanings (Philosophy) 

 1 On the Sorsoran, Gumbala Geni To prevent from bad conducts 

 2 Flowers Sekar Pala To make the owner famous 

 3 Pamor Tiban Beras Wutah To bring about luck and peaceful life 

 4 Basic Patterns Dadung Muntir To increase authority, and bravery 

 5 Circles Udan Mas To achieve wealthy life 

 6 Feathers Ronkenduru To achieve power of leadership 

Most importantly, when an individual wants to own a Kris, he or she can simply buy one or more than one upon consultation with the master (parapsychologist) to make sure that the Kris is appropriate otherwise it will be useless. 

In the mystical world, it is taboo to talk about purchases (beli) and sales (jual) of heirloom. Instead, the word memahari, or mahari applies to purchases, while maharkan applies to sales. Basically, these two words derive from one stem “mahar” (dowry), similar to a wedding transaction. In purchase of Kris, according to an association of Kris collectors, called Puriwiji (sometimes traditionally spelt as Puriwidji), there is one principle to hold on—namely TUHSIRAPPUH, a four-syllable acronym, which means (1) TUH (wutuh) is complete or without decays (corrosion); SI (wesi) is the material (steel, iron, and meteor); RAP (garap) is design of Kris, Lok, Pamor etc., finally PUH (Sepuh) is the period of production—ancient (Sepuh) belonging to Singasari and Majapahit eras, moderate (Mataraman) belonging to eras of Islamic Kingdoms, and modern (Kamardikan) produced, after Indonesian Independence in 1945.

Purwanto, S., & Nuhamidah, I. (2021). Introduction to Kris, a traditional weapon of Indonesia: Preserved-lingering issues of facts. EduLite: Journal of English Education, Literature, and Culture, 6 (2), 397- 410. http://dx.doi.org/10.30659/e.6.2.397-410

ragam motif Pamor 


Pameran Pusaka Candi Sukuh & Shidikara Pusaka


Pameran Pusaka Candi Sukuh & Shidikara Pusaka


Semangat Melestarikan Seni, Tradisi dan Budaya Adiluhung Leluhur Nusantara. Agenda selanjutnya masih tetap dijalur yg sama, kali ini dengan nuansa yang berbeda, event perdana pameran pusaka berlokasi di situs cagar budaya Candi Sukuh di Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. rasakan sensasi dinginnya cuaca sambil menanting pusaka sekaligus berwisata, mari ramaikan bersama keluarga dan sanak saudara.

Sehubungan dengan rencana penyelenggaraan pameran keris dalam rangka meramaikan hari jadi Kabupaten Karanganyar yang ke-105, dengan ini disampaikan bahwa
#Yayasan Surya Candra Kartika adalah sebuah yayasan yang bergerak di pelestarian budaya,
yang berkedudukan di Kabupaten Karanganyar. Dalam rangka memperingati hari jadi
 Kabupaten Karanganyar yang ke-105, yang akan jatuh pada tanggal 18 November 2022, serta dalam rangka melakukan aksi nyata pelestarian keris sebagai warisan budaya tak benda, yang telah diakui oleh UNESCO sejak tahun 2005, kami bermaksud menyelenggarakan Pameran Keris Peradaban Nusantara.

Pameran tersebut rencananya akan diselenggarakan pada hari Sabtu dan Minggu, tanggal 1 dan 2 Oktober 2022, bertempat di pendopo Candi Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Selain pameran keris dari berbagai era atau zaman, kegiatan tersebut juga akan berisi berbagai
agenda, yaitu :

- Bursa tosan aji oleh pelaku UMKM industri kreatif perkerisan dan industri terkait;
- Diskusi atau sarasehan
- Kirab pusaka dan doa bersama
- Sidikara, Pasupati dan Kalibrasi Pusaka (Keris dan Tosan Aji lain);

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan hormat Yayasan Surya Candra Kartika memohon perkenan dan mengharapkan kehadiran Bapak / Ibu / Saudara pada acara diskusi atau sarasehan yang akan diselenggarakan pada :
Hari     : Sabtu
Tanggal     : 1 Oktober 2022
Waktu     : Pukul 13.00-15.00 WIB
Tempat     : Pelataran Candi Sukuh, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah
Tema     : Kajian Relief Pande atau Besalen pada Candi Sukuh dan artefak lain di lereng Gunung Lawu, sebagai salah satu sumber primer perkembangan Tosan Aji Nusantara
Narasumber     : Ady Sulistyono D. S.Sos. (Pemerhati Tosan Aji).

Besar harapan kami agar Bapak / Ibu / Saudara berkenan menghadiri diskusi atau sarasehan dimaksud. Atas perkenan dan kerja samanya dihaturkan rasa terima kasih.
#Keris #Pusaka #TosanAji #WesiAji #CandiSukuh #Karanganyar #JawaTengah #indonesia #YayasanSuryaCandraKartika




Kamis, 30 Juni 2022

PAMOR

 Pamor Pada Keris dan Tosan Aji Nusantara 

Pamor adalah gambar-gambar yang terdapat pada bilah keris. Pamor pada keris ada yang timbul dengan sengaja karena proses campuran bahan sehingga membentuk guratan-guratan gambar pada bilah, maupun ada yang disengaja oleh seorang empu pembuat keris, misalnya dengan memahat bilah untuk memperoleh gambar atau lukisan yang diinginkan. Setiap keris mempunyai pamor yang berbeda-beda dan pamor ini dipercaya mempunyai daya magis bagi pemiliknya. 

Nama-nama pamor keris menurut Ngabei Jayasukadga abdi dalem pembuat keris tahun 1830 yaitu:

Iris-irisan pandhan, Udan mas, Adeg kurung, Adeg sapu, Ujung, Ujung gunung, Ombak banyu, Roning siwalan, Rondhuru kenanga ginubah, Kembang anggrek, Kembang krambil, Kembang lampes, Kembang pudhak, Kembang bakung, Tikel balung, Tambal, Tiga warna, Sanak, Saton, Walang sinundukan, Lintang kumukus, Lar kupu, Lar manuk, Lar gangsir, Lungsungan ula, Maskumambang, Benang satukel, Bendha sagada, Beras wutah, Blarak ngirid, dan Babakan dalingsem 

(Wirapustaka, 2682: 1454). 


Nama-nama pamor menurut Almanak A. Rusche ada bermacam-macam, yaitu:

 Udanmas, adeg telu, adeg sapu, ujung gunung, ombak mas, ombak banyu, rondhuru, kenanga ginubah, kembang lampes, kembang pala, kembang blimbing, tumbal, tiga warna, sulur waringin, wengkon, lawe satukel, pandhan binethot, palang sinundukan, pudhak sategal, bendha sagada, beras wutah, batu lapak, dan blarak ngirit 

(Rusche, 1907: 20)



Gambar; Pamor Pada Bilah Tosan Aji Karya RT. Cahya Surya Harsakya M.Sn. 


Senin, 13 Juni 2022

PISAU WEDUNG ( Tosan Aji )

 TOSAN AJI DAPUR WEDUNG ( PISAU WEDUNG )

Knife (Wedong) with Sheath


WEDUNG dan Sejarah Islam di Pesisir Utara Jawa.

Wedhung adalah senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata `wedhung' menurut kamus bahasa Jawa "Bausastra" (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana. Di sebelah selatan sentral kerajaan Demak, hingga sekarang bisa dijumpai desa Wedung, merupakan tempat dimana para empu keris menggarap wedhung.

Wedhung dibuat dengan gusen indah dan ricikan. Kebutuhan seni, merubah wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (situasi kacau pada saat itu) mulai bergeser menjadi benda seni, di "agung" kan seperti pada nilai budaya keris.

Wedhung mulai digarap empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor. Motif pamor yang sering ditemukan adalah motif pamor beras utah dan wiji timun. Sebelumnya motif wiji timun dikenal dengan nama `ombak segoro' karena coraknya seperti penggambaran riak gelombang air laut yang susul-menyusul di pantai.

Wedhung berpamor wiji timun hanya boleh dimiliki oleh petinggi-petinggi di pantai utara Jawa pada waktu itu. Indikasi bahwa wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa adalah asesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan `penyu'. (wedhung yang ditemukan di pesisiran). Pada jaman berikutnya bahan dari penyu diganti dengan tanduk kerbau.

Masyarakat sepanjang pantai utara Cireboh - Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Girindrawardhana (Majapahit). Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedhung (bukan keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.  

Wedung in History
#keraton Demak sedang menata sistem pemerintahannya, maka rakyat mepersenjatai diri. Zaman itu, senjata yang populer adalah #wedung – senjata tebas yang mirip dengan golok cacah berujung runcing. Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, "
"bahwa seseorang yang akan menghadap pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDUNG…."Dia mengenakan kuluk yang mulai dieperkenalkan oleh Sultan Pajang.


Pusaka Wedung Pisau Kuno
Pusaka Wedung Pisau kuno adalah jenis senjata yang terbuat dari bahan material seperti halnya keris, kadang ditemukan dengan logam pamor dan ada yang keleng atau polosan.
Kegunaan wedung sendiri dahulu dipakai dikalangan keraton dalem, para penjaga kaputren dan bahkan para putri raja sendiri.
Bentuk wedung seperti halnya pisau namun agak besar, seperti pedang namun lebih lebar dan lebih pendek sehingga mudah dibawa oleh penjaga maupun para putri dalem keraton.

Wedung Sebagai Ageman Petinggi Kerajaan
WIDENG WEDUNG
Bentuk wedung seperti pisau pendek. Ujungnya runcing, sisi depannya tajam, sedangkan punggungnya tumpul. Panjang bilah wedung sekitar 26 cm, lebarnya sekitar 7 cm. Pada sisi depan bagian bawah ada bagian yang bentuknya indah, sedangkan pangkal yang menghadap ke hulu dibentuk mirip bentuk greneng keris. Seperti keris dan tombak, hampir semua wedung berpamor. Bahkan beberapa dihias pula dengan sinarasah emas.
(Bambang Harsrinuksmo, Ensiklopedi Keris).



"Wedung memang senjata yang sangat populer di Pantai Utara Jawa.  Masyarakat sepanjang pantai utara dari Cirebon hingga Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri ketika berperang melawan tentara Prabu Girindrawardhana dari Majapahit. Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedung pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
wedung juga dijadikan pelengkap baju kebesaran para bangsawan kerajaan Demak".
( Catatan Kraton Mataram, terjemahan Sanapustoko, KRA Curigohadinagoro, 1998)  


Wedung Sebagai Perintah Daulat Raja
Fungsi lain wedung adalah sebagai simbol perintah raja. pada umumnya wedung yang digunakan untuk perintah raja tidak memiliki pamor ( kelengan ; malela hitam kendaga ). biasnya dibawa oleh para panglima prajurit ataupun kepala pasukan untuk mengeksekusi hasil dari Sabda Pandita Ratu.
Misal nya menangkap para penjahat perang ataupun penghianat kerajaan. dengan menunjukkan wedung tersebut ( berfungsi seperti surat perintah kerajaan ).




Bagian - bagian Wedung / Wedong , menurut RT. Cahyo Suryodipuro Sontodjojowinoto, 2010

The Kris Supreme in Javanese Culture

Keris or suspicious, kadga, suduk, wangkingan, dhuwung are made by a
blacksmith called an empu. Overall, the keris and its warangka will show a
harmonious unity between sculpture, carving and sculpture. This research will
discuss the aesthetic value of a keris which includes parts of the keris, dhapur,
pamor and tough. Research on the fairness of the keris in Javanese culture is
descriptive in nature. In this research, the data are in the form of Javanese
diction which is related to keris.

The data sources are Javanese manuscripts
containing kris, namely Latin Centhini Fibers, Bauwarna Padmasusastra Fiber,
Kawruh Jejeran, Mranggi Crafts, Dhuwung Wesi Aji, and Kajawen. The collection
technique uses content analysis and library techniques. Data analysis techniques
through data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results
showed that apart from having a high artistic element, keris is also believed to
have magical power. Keris in its development has gone through a very long
period of time since before the Pajajaran kingdom, the Pajajaran era, the
Majapahit era, the Demak Pajang era, the Mataram era to the days of Surakarta
and Yogyakarta.