TOSAN AJI DAPUR WEDUNG ( PISAU WEDUNG )
Knife (Wedong) with Sheath
WEDUNG dan Sejarah Islam di Pesisir Utara Jawa.
Wedhung adalah senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata `wedhung' menurut kamus bahasa Jawa "Bausastra" (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana. Di sebelah selatan sentral kerajaan Demak, hingga sekarang bisa dijumpai desa Wedung, merupakan tempat dimana para empu keris menggarap wedhung.
Wedhung dibuat dengan gusen indah dan ricikan. Kebutuhan seni, merubah wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (situasi kacau pada saat itu) mulai bergeser menjadi benda seni, di "agung" kan seperti pada nilai budaya keris.
Wedhung mulai digarap empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor. Motif pamor yang sering ditemukan adalah motif pamor beras utah dan wiji timun. Sebelumnya motif wiji timun dikenal dengan nama `ombak segoro' karena coraknya seperti penggambaran riak gelombang air laut yang susul-menyusul di pantai.
Wedhung berpamor wiji timun hanya boleh dimiliki oleh petinggi-petinggi di pantai utara Jawa pada waktu itu. Indikasi bahwa wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa adalah asesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan `penyu'. (wedhung yang ditemukan di pesisiran). Pada jaman berikutnya bahan dari penyu diganti dengan tanduk kerbau.
Masyarakat sepanjang pantai utara Cireboh - Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Girindrawardhana (Majapahit). Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedhung (bukan keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
Wedung in History
#keraton Demak sedang menata sistem pemerintahannya, maka rakyat mepersenjatai diri. Zaman itu, senjata yang populer adalah #wedung – senjata tebas yang mirip dengan golok cacah berujung runcing. Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, "
"bahwa seseorang yang akan menghadap pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDUNG…."Dia mengenakan kuluk yang mulai dieperkenalkan oleh Sultan Pajang.
Pusaka Wedung Pisau Kuno
Pusaka Wedung Pisau kuno adalah jenis senjata yang terbuat dari bahan material seperti halnya keris, kadang ditemukan dengan logam pamor dan ada yang keleng atau polosan.
Kegunaan wedung sendiri dahulu dipakai dikalangan keraton dalem, para penjaga kaputren dan bahkan para putri raja sendiri.
Bentuk wedung seperti halnya pisau namun agak besar, seperti pedang namun lebih lebar dan lebih pendek sehingga mudah dibawa oleh penjaga maupun para putri dalem keraton.
Wedung Sebagai Ageman Petinggi Kerajaan
WIDENG WEDUNG
Bentuk wedung seperti pisau pendek. Ujungnya runcing, sisi depannya tajam, sedangkan punggungnya tumpul. Panjang bilah wedung sekitar 26 cm, lebarnya sekitar 7 cm. Pada sisi depan bagian bawah ada bagian yang bentuknya indah, sedangkan pangkal yang menghadap ke hulu dibentuk mirip bentuk greneng keris. Seperti keris dan tombak, hampir semua wedung berpamor. Bahkan beberapa dihias pula dengan sinarasah emas.
(Bambang Harsrinuksmo, Ensiklopedi Keris).
"Wedung memang senjata yang sangat populer di Pantai Utara Jawa. Masyarakat sepanjang pantai utara dari Cirebon hingga Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri ketika berperang melawan tentara Prabu Girindrawardhana dari Majapahit. Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedung pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
wedung juga dijadikan pelengkap baju kebesaran para bangsawan kerajaan Demak".
wedung juga dijadikan pelengkap baju kebesaran para bangsawan kerajaan Demak".
( Catatan Kraton Mataram, terjemahan Sanapustoko, KRA Curigohadinagoro, 1998)
Wedung Sebagai Perintah Daulat Raja
Fungsi lain wedung adalah sebagai simbol perintah raja. pada umumnya wedung yang digunakan untuk perintah raja tidak memiliki pamor ( kelengan ; malela hitam kendaga ). biasnya dibawa oleh para panglima prajurit ataupun kepala pasukan untuk mengeksekusi hasil dari Sabda Pandita Ratu.
Misal nya menangkap para penjahat perang ataupun penghianat kerajaan. dengan menunjukkan wedung tersebut ( berfungsi seperti surat perintah kerajaan ).
The Kris Supreme in Javanese Culture
Keris or suspicious, kadga, suduk, wangkingan, dhuwung are made by a
blacksmith called an empu. Overall, the keris and its warangka will show a
harmonious unity between sculpture, carving and sculpture. This research will
discuss the aesthetic value of a keris which includes parts of the keris, dhapur,
pamor and tough. Research on the fairness of the keris in Javanese culture is
descriptive in nature. In this research, the data are in the form of Javanese
diction which is related to keris.
The data sources are Javanese manuscripts
containing kris, namely Latin Centhini Fibers, Bauwarna Padmasusastra Fiber,
Kawruh Jejeran, Mranggi Crafts, Dhuwung Wesi Aji, and Kajawen. The collection
technique uses content analysis and library techniques. Data analysis techniques
through data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results
showed that apart from having a high artistic element, keris is also believed to
have magical power. Keris in its development has gone through a very long
period of time since before the Pajajaran kingdom, the Pajajaran era, the
Majapahit era, the Demak Pajang era, the Mataram era to the days of Surakarta
and Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar