EKSISTENSI KERIS
SURAKARTA
Oleh: Soelistyo Joko
Suryono. M.Sn.
Seminar Menggagas
Museum Keris Surakarta
1 September 2012
Balai Tawang Arum, Balai Kota Surakarta.
A. KEBERADAAN KERIS SURAKARTA.
Semenjak zaman
dahulu kala keris merupakan buah akal budi manusia yang berkembang dari waktu
ke waktu, keris dibuat dengan teknik tempa pamor, sehingga meninggalkan jejak
teknis penempaan di bilahnya. Selain itu bahan baku, teknik pelipatan maupun garapnya juga tertinggal pada jejak-jejak
di bilahnya. Fungsi manifest keris
adalah sebagai senjata, sedang fungsi latennya adalah sebagai pusaka diwariskan
secara turun-temurun, merupakan simbol, regalia raja, tanda pangkat,atau memenuhi
sopan santun dalam berbusana tradisi. Selain itu dapat dijadikan sebagai media
karya seni mengandung nilai estetika sangat tinggi, digunakan sebagai ekspresi
estetik bagi empu pembuatnya. Keris
berkembang di daerah yang luas meliputi Asia
Tenggara, adapun daerah tersebut adalah Indonesia, Zulu, Philipina Selatan, dan
semenanjung Melayu. Khususnya di Indonesia keris berkembang di daerah Jawa,
Bali, Sumatra, Lombok, Kalimantan, NTB dan Sulawesi. Di Jawa keberadaan keris belum tampak pada relief
candi-candi Jawa Tengah seperti candi Dieng, Prambanan, dan Borobudur. Ada gambar
senjata di candi-candi tersebut yang mirip keris kemudian disalah artikan sebagai
keris. Senjata tersebut sejenis dagger
dinamakan kadga (pedang pendek) biasa
dipakai sebagai atribut dewa Hindu, bentuk itu terdapat juga di relief
candi-candi dan patung India. Gambar di relief candi tersebut bukan keris
karena belum memenuhi kriteria keris. Difinisi keris adalah senjata tusuk yang
mempunyai ukuran tertentu, terdapat condong leleh, ganja, pesi, dan
mempunyai dhapur .
Adapun gambar keris baru tampak di relief candi Sukuh Karanganyar Surakarta. Pada relief Sukuh sudah
tampak bentuk keris, telah mempunyai condong leleh, ganja, pesi, mempunyai dapur
sepang dan tilam upih.
Peristilahan
keris di Surakarta dikenal dalam bahasa Jawa halus atau krama hinggil disebut sebagai kadga dan curiga, sebetulnya kedua kata itu diambil kosa kata dari India
ialah khadga, knadga dan curikha yang berarti pedang pendek. Disebutkan dalam katalog
pameran Kraton Surakarta di Negeri Belanda pada tahun 1882:
Dadamel ingkang boten kinging pisah’hi
tiyang Jawi ageng-alit ing karaton Surakarta menika ing tembung madya winastanan duwung.
Tembungng ipun ngoko keris, tembung krama
inggil ingkang anumrapaken agemipun para ageng wangkingan. Wonten warongko gagaran para rangganipun saha patrap
pangangenipun wonten unggah-ungguh ing tata krama,
saha wonten ingkang dados awisannipun ing ratu. Malah kawujudanipun pamilang gadahi
dapur utawi wangun. Wonten dapur utawi wau sami
angadahi nama piyambak-piyambak.
( Keris yang tidak dapat dipisahkan dengan orang
Jawa baik yang besar maupun yang kecil di Keraton Surakarta, sebutan dalam bahasa
tengah dinamakan duwung. Untuk tataran bahasa paling rendah disebut sebagai
keris, kata yang halus untuk digunakan orang besar atau berpangkat disebut wangkingan, Selalu disertai sarungnya
disebut warongka dan hulunya berbagai bentuknya, dengan peraturan pemakainya sopan santun,
tatakrama serta ada pelarangan yang di peruntukkan (diatur) raja. Ada dhapur atau wujutnya dibedakan
melalui bentuk, tiap bentuk dhapur mempunyai nama sendiri sendiri).
Sampai
sekarang peristilahan dalam bahasa Jawa halus atau krama hinggil keris disebut sebagai kadga dan curiga, selain itu disebut wangkingan. Wangkingan berasal dari cara pemakian keris di waking, dalam bahasa krama madya atau bahasa menengah disebut
sebagai dedamel dan duwung, kata duwung belum diketahui asal-usulnya sampai sekarang ini. Duwung lebih populer di Surakarta dari
pada kata keris, kata duwung juga
digunakan pada bahasa seni dan sastra kebanyakan memakai kata duwung
bukan keris. Untuk penyebutan dengan
bahasa paling rendah, atau ngoko
disebut sebagai keris.
Penelitian eskavasi arkeologi
dari OXSIS (Origin of Complex Society in
South Sulawesi) Australian National University dan Balai Penelitian Arkeologi
Nasional di tahun 1999, membuktikan adanya usaha pembuatan bahan pamor dimasa
lalu di Sulawesi Selatan. Dalam eskavasi arkeologi tersebut terbukti telah adanya
penambangan nikel di situs tertentu daerah Luwu, pada situs itu terdapat
bekas-bekas usaha peleburan nikel. Penelitian yang dilakukan secara ilmiah melalui
pengukuran dengan metode radio karbon, situs paling tua telah ada pada abad ke
XI. Sulit dipercaya daerah Luwu telah berkembang menjadi besar semenjak abad ke
XII dan ke XIII.
Diperkirakan seterusnya Luwu juga punya hubungan dengan Majapahit, untuk menyediakan bahan pamor yang sangat termasyur itu.
Penelitian itu dapat memberikan gambaran, bahwa teknologi pembuatan pamor telah
berkembang semenjak abad XI, sehingga banyak orang berspikulasi asal mula keris
tidak terlalu jauh dari abad ke XI.
Menurut manuskrip yang ditulis
Empu Surakarta semasa Sunan Pakubuwana X bahan baku pembuatan keris, terbuat
dari tiga bahan utama yang tak mungkin dipisahkan. Bahan itu berasal dari besi,
baja, dan pamor merupakan bahan pilihan agar dapat menghasilkan bentuk keris
yang baik.
“Nyariosaken
badenipun dadamel Jawi punika ingkang dipun angge boten woten kejawi satitiga menika. Tosan menika hingkang
sinungan minangka langkungan, waja punika ingkang sinungan kiyatan sarta
landep, pamor punika hingkang sinung yuana saha guwaya langkung”
(Menceritakan bahan baku persenjataan (keris) Jawa
itu yang dipakai untuk pembuatan tidak ada selain ketiga bahan ini. Besi
merupakan bahan yang mempunyai anugerah sebagai media, baja mempunyai anugerah
kekuatan dan ketajaman. Pamor itu yang mempunyai anugerah dan membuat pencerahan
terhadap bentuk perwajahan sifat (keris) yang lebih indah dan cemerlang).
Keterangan diatas mengundang
pertanyaan penting dari mana asal bahan besi baja dan pamor dimasa lalu?. Besi di Jawa baru marak diperdagangkan
abat XVIX, setelah adanya produk masal
hasil revolusi industri di Eropa dibawa oleh Belanda sebagai bahan
konstruksi, transportasi, keperluan mesin. Nikel industri baru dikenal
Surakarta pada tahun 1880 yang dibawa oleh orang tuwan-tuan (orang barat) berasal
dari pabrik Kruup Jerman merupakan 100% nikel murni. Dapat dipastikan sebelum
ada perdagangan besi Eropa, empu membuat besi, baja, dan pamor dari bahan
lokal. Melalui hasil penelitian kami mengungkap fakta peleburan pasir besi dari berbagai daerah Surakarta, pantai selatan Jawa, Tasikmalaya, erupsi
vulkanik Gunung Merapi pasir besinya dapat dipakai untuk bahan keris. Selanjutnya
akan diteliti juga pasir besi aliran Bengawan Solo untuk bahan keris. Dari
berbagai penelitian yang telah dilakukan memberikan gambaran, tentang pembuatan
keris pada zaman dahulu tak perlu mendatangkan bahan dari luar daerah. Pembuatannya
berkembang sesuai dengan teknologi tepat guna, peleburan dengan teknik paling sederhana
ternyata dapat mengolah mineral alam yang mengandung besi disekeliling
Surakarta dapat dijadikan bahan baku pembuatan keris.
Keris selalu dibuat oleh empu
yang mempunyai persyaratan paggarap, kecakapan
teknik tempa, ilmu bahan, dan legitimasi
oleh raja Surakarta. Tidak setiap orang dapat mengaku dirinya sebagai empu, empu
dipersyaratkan melakukan Purwa, Madya,
dan Hasta ketiganya harus dijalankan untuk
membuat keris, profesi empu juga merupakan jalan hidup seseorang untuk berkarya.
Dalam etnografisnya I Groneman menyebutkan bahwa di Surakarta tak ada empu
diluar keraton, hanya ada empu keraton yang diangkat oleh raja. Empu dimasukkan
struktur kepangkatan tertentu, bekerja dengan sabat berjumlah empat orang. Seorang empu diberi pangkat abdi dalem Panewu Pande, sabatnya Panjak abdi dalem matri pande, mrapen
bekel pande. Sedang barat
dan demel berpangkat abdi dalem jajar. Raja
Surakarta biasanya hanya punyai empu
sebanyak 7 empu keris. Selain melayani pembuatan keris atas perintah raja, empu
dapat menerima pesanan dari masyarakat.
Karena statusnya di bawah raja, empu Surakarta tak membuat dhapur baru, melainkan hanya memakai dhapur lama. Kenyataanya keris
masuk dalam sebuah sistim budaya di Surakarta. Walau tahapan-tahapannya banyak yang
telah hilang, diharapkan bagian yang hilang akan tersingkap dengan penelitian,
pengkajian dan ekplorasi yang terus dilakukan oleh empu Surakarta. Kajian
tersebut dimaksudkan agar tahapan-tahapan keberadaan keris Surakarta dapat dijadikan
sebagai media pembelajaran bahwa keris merupakan warisan budaya Surakarta, yang
telah berlangsung secara turun-menurun.
B. KERIS SURAKARTA DARI MASA KE MASA
Daerah Surakarta
banyak memberikan sumbangsih pada perkembangan keris, bermula keris dibuat pada
kerajaan Pengging Tunjungseta di zaman Jenggala. Kemudian Kerajaan Pengging
Witaradya di zaman Majapahit, Pengging Handayaningrat di zaman Mataram. Keris Sukuh
dan Matesih berkembang di zaman
Majapahit, dilanjutkan keris Pajang di zaman Pajang, keris Koripan di zaman
Mataram, keris Kartasura di zaman
Kartasura, dan keris Surakarta pada zaman Surakarta. Dari dulu daerah Surakarta
merupakan sentra pembuatan keris yang tak pernah putus sepanjang zaman. Walau terkendala
ada jeda waktu keris Surakarta pernah hilang selama 35 tahun namun kini
keberadaanya terus berkembang dengan
baik dan berkesinambungan hingga saat sekarang ini.
a. Awal Keberadaan Keris Surakarta.
Kerajaan
Surakarta mengikuti alur kerajaan dimasa lalu yaitu Kerajaan Majapahit,
kemudian Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Mataram memindahkan ibu kota dari Kota
Gede ke Pleret, kemudian pindah lagi ke Kartasura. Setelah bedah Pacinan Kartasura ibu kotanya pindah ke
Surakarta. Karena perjanjian Gianti
tahun 1755 dipecah menjadi dua yaitu:
Surakarta dan Yogyakarta. Awal keris Surakarta dimulai semenjak kepindahan
keraton Kartasura ke Surakarta, raja Surakarta meneruskan tradisi raja Jawa di
masa lalu, selalu punya empu keris guna memenuhi berbagai keperluan dan tujuan
tertentu. Raja harus mempunyai empu keris dan tangguh keris. Keris Surakarta
merupakan penerus bentuk keris dari masa sebelumnya. Bentuk keris Surakarta
dirintis oleh raja di Kerajaan Surakarta Sunan Pakubuwana III.
Sunan
Pakubuwana III dinobatkan di Surakarta, masa pemerintahannya membentuk format
baru terhadap kebudayaan termasuk bentuk keris, motif batik, wanda wayang,
karawian, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan agar berbeda dengan
format Kartasura. Pakubuana III mengawali format keris tangguh Surakarta,
meletakkan dasar bentuk keris tangguh
Surakata, terlihat bentuknya berbeda dengan keris Kartasura.
Duwung saking Kartasura, radi ageng pawakanya,
radin-radin semu agal pamoripun, katon angasap awak bembeng, pucukan hamucuk
ebung, miwah awrat tantingira, radi kau den tingali.
Keris buatan Kartasura,
agak besar bentuk badannya, kebanyakan urat pamornya agak besar/kasar, besi
bertekstur kasar, badan gemuk/bulat berujung mirip ujung rebung, bila ditimang
terasa berat, keris ini secara visual mempunyai proporsi agak kaku.
Duwung zaman Surakarta,
tosan alus pamoripun birahi, pawakan anggodong pohung, tur mawi ada-ada, gula
milir amawi pekaan meh pucuk, pucukan ambuntut tuma, miwah ageng ingkang pesi.
Keris zaman Surakata bahan besi
halus pola pamor bahan pamor berlebihan memenuhi bilah, badan mirip jari daun
singkong, selalu menggunakan 'ada-ada', 'gula milir', 'pekakan' hingga kepucuk, ujungnya
berbentuk mirip ekor/pantat kutu rambut, menggunakan pesi berukuran besar.
Menurut
pupuh tembang itu, keris Surakarta
bentuknya sudah berbeda dengan keris Kartasura. Hal itu sebuah keharusan bahwa tiap
kerajaan harus mempunyai tangguh yang berbeda dengan kerajaan lainnya. Selain itu biasanya tiap raja juga membuat
ciri tersediri pada bentuk keris di masa pemerintahannya. Saat itu Brajaguna II
membuat keris yang bentuknya sangat berbeda dengan bentuk keris yang telah ada,
sehingga mampu menembus tiga besar empu keris Jawa. Dalam tulisanya empu
Surakarta pada saat pemerintahan Pakubuana X
meyebutkan:
“Ing sumangke dereng wonten ingkang tumitah
munjuli bab hastanipun para empu ing kina sampun kaloka linumbung inggih
dedamelipun kyai Supa ing Majapahit. Ingkang sampun jumeneng pangeran ing
Sendang Sedayu. Dedamelipun Kyai Supa kaping II ikang salajengipun dados empu
ing Mataram karan Kyai Nom. Wonten malih ing
jaman Surakarta dedamelanipun kyai Brajaguna II titiganipun mila sampun mukayan
kawilang linangkung dados tilar tulada dedamelanipun”.
(Pada saat ini belum ada
yang melebihi karya empu di zaman dahulu yang telah temasyur yaitu karya kyahi
Supa dari Majapahit, kemudian bergelar pangeran di Sendang Sedayu. Karya kyai
Supa II yang selanjutnya menjadi empu di Mataram bernama kyai Nom. Ada lagi di zaman Surakarta karya kyai Brajaguna II, ketiganya sudah
terbilang termasyur sehingga
memberikan suri tuladan bagi empu selanjutnya).
Sepanjang
sejarah hanya tiga empu pembuat karya luar biasa yaitu kyai Supa dari
Majapahit, ki Nom pernah menjadi empu kodok, juga ber juluk Humnyang Pajang
pada zaman Pajang, konon besalennya di daerah Lawean Surakarta. Ketiga adalah
empu Brajaguna II berkarya semasa Kerajaan Surakarta, merupakan pembuat keris
yang sangat termasyur. Empu Surakarta diangkat oleh raja Surakarta diberi pangkat dan digaji menurut ketentuan yang berlaku,
pada zaman dahulu empu diberi gaji tanah lungguh
atau bengkok, namun selanjutnya digaji dengan mata uang.
b. Melimpahnya Bahan Baku.
Bekas
kerajaan Surakarta mempunyai
daerah yang sangat luas meliputi Madiun Kedu Magelang sampai Banyumas sangat kaya akan mineral.
Lembah Bengawan Sala yang diapit tiga gunung berapi, melalui erupsi vulkanik
mengeluarkan pasir besi yang kadungan besinya sangat tinggi. Selain itu
Wonogiri dan pacitan hulu Bengawan Sala daerah kaya dengan berbagai jenis mineral
seperti Magnetit, Hematit, besi belerang atau pirit, besi mangaan, dan berbagai mireal besi
lainnya. Bengawan Sala pada musim tertentu dapat diambil pasir besinya. Aliran Bengawan
Sala terhubung melalui beberapa anak sungai membawa pasir besi melewati Surakarta.
Dipantai selatan Jawa Tengah terdapat
endapan pasir besi yang melimpah mengandung
besi, nikel dan titanium yang
sangat baik untuk membuat
pamor keris.
Pada
uji coba terhadap pembuatan pamor keris dari pasir besi Cilacap, Purworerwjo, Kulonprogo,
dan Bantul berhasil dibuat untuk pamor keris. Selain itu pasir besi gunung
berapi juga mengandung pasir besi
yang dapat ditambang pada kantong endapat vulkanik. Semua pasir besi
disebut sebagai malela melalui proses peleburan didapatkan bilet dapat untuk dijadikan
bahan baku
keris. Empu dimasa lalu diperkirakan mengunakan material lokal karena sulitnya
transportasi dan komunikasi saat itu. Empu kesulitan mendapatkan bahan baku
dari luar daerah, karena pengadaan bahan
membutuhkan waktu yang lama, sering terkendala volume, sehingga sangat menyulitkan
transportasinya. Keraton Surakarta mempunyai bahan pamor yang berkualitas sangat
istimewa ialah pamor meteror yang konon jatuh di daerah Prambanan tahun 1778 sampai sekarang masih tersimpan
baik di kompleks Mbandengan Keraton Surakarta.
c. Inovasi Pembuatan Keris.
Pamor
meteor ditemukan pada tahun 1778, konon jatuh di
daerah Prambanan
, berjumlah tiga buah. Meteor kecil dikabarkan
hilang, yang tengah dipecah, meteor paling besar dinamakan Kyahi Pamor. Wirasukadga Matri Pande Kraton Surakarta dalam
penjelasan di manuskripnya pamor meteor
Prambanan dipecah 50 tahun
setelah ditemukan pada sekitar tahun 1800. Dalam tulisannya memuat secara terperinci
bagaimana meteor tersebut dipecah, oleh seluruh pande kerajaan di kompleks
Bandengan. Wirasukaga mendiskripsikan bagaimana pamor metor
dibakar sampai pijar kemudian dipecah-dipecah
, hanya mendapat bahan pamor seberat
64
kati atau 3
6 Kg
.
Jenis Meteor yang dipecah berkuwalitas
sangat istimewa diantara segala
jenis pamor yang
pernah ada.
Hal itu merupakan sebuah inovasi
memerlukan kajian 50 utuk menguasai teknik penempaan pamor meteor untuk dijadikan
pamor keris. Selang 200 tahun kemudian inovasi juga dilakukan oleh empu Kamardikan
di Surakarta mereka adalah Subandi, Yanto, Yantono, dan Daliman mampu menempa
pamor meteor berasal dari daerah Gibeon, Canyon Diablo, Siberia, Australia, dan
Amerika Latin.
Empu
Brajaguna II membuat keris “Kontemporer” yang dibuat di masa itu dengan format bilah tebal menggunakan bahan
yang tidak umum, dari bahan besi pecahan meriam serta menggunakan ujung yang
dinamakan “bungalan”. Bungalan terbuat
dari bahan baja paling keras mampu menembus
hardnes (ropi logam). Keris kontemporer juga dibuat oleh dinasty Harumbinangan,
membuat keris yang tidak umum, dengan ricikan banyak terkadang bentuknya aneh-aneh.
Harubinang merupakan pejabat tingggi kerajaan Kartasura sampai Surakarta.
Dinasti Harunbinang selalu memegang jabatan teknik konstruksi (kalau sekarang
mentri PU). Dalam sebuah manuskrip Harumbinang saat pemerintahan Pakubuwana X
bersama Mantri Pande Wira Sukadga mengerjakan perakitan konstruksi Jembatan baja
di Bacem Sukaharjo. Hal ini membuktikan di saat itu empu tidak hanya menangani
pembuatan keris saja, melainkan menangani pekerjaan logam lainnya seperti
konstruksi bangunan, pagar Supit Urang. Untuk keris kontemporer 200 tahun kemudian
empu Kamardikan Kamdi, menlajutkan usaha membuat keris kontemporer mengambarkan
fenomena kejadian aktual yang muncul dimasyarakat untuk digambarkan pada bilah
keris.
I Gromeman menulis
terjadi kelangkaan bahan pamor di daerah wilayah vorstenlanden terutama daerah gubernemen,
bahan pamor sudah susah dicari sehingga empu kesulitan bahan pamor. Karena
kesulitan bahan baku, para empu mengunakan bahan nekel dari barang rongsokan
berkualitas rendah seperti peleg sepeda.
Tentunya hal ini akan berpengaruh makna pamor, sulit mepertahankan makna pamor yang
dianggap mempunyai nilai lebih bila bahannya dibuat dari bahan sangat sepele
rongsokan peleg sepeda. Pada manuskrip Pandameling
Duwung Dijelaskan nikel industri, muncul saat pemerintahan Pakubuwana IX
menginjak 20 tahun bertahta. Ada seorang tuwan
atau orang Eropa menghadap raja memberikan contoh tombak yang dibuat dari bahan
pamor nikel industri dari pabrik Kruup Jerman, berupa sebuah tombak mempunyai dhapur biring derajad. Tombak itu
belum sempurna, kemudian disempurnakan diberi emas dan kuningan. Mulai
saat itu jenis pamor nikel industri kemudian biasa, digunakan sebagai pamor
keris oleh empu Surakarta.
Kami dan Empu Subandi mencoba teori penjebakan titanium untuk pamor keris, juga
pamor erupsi vulkanik merapi. Selain itu akan dibuat Pasir besi Bengawan Solo, selanjutnya
akan menyisir pantai selatan Jawa, Bali sampai Lombok untuk eksplorasi dan
inovasi pembuatan bahan keris. Hal ini
penting untuk menjawab keluhan Empu Kerajaan Surakarta yang sangat
menyesalkan mengapa para empu sebelumnya tidak melestarikan bahan pelikan Jawi, malah menggunakan bahan
dari besi dan baja dari Eropa, sehingga ilmu tentang bahan pelikan Jawi telah
hilang pada saat itu.
C.
HILANGNYA EMPU KRATON SURAKARTA.
GP Rouffaer
dalam keterangannya tentang vorstenlanden,
artinya adalah tanah raja-raja. Tanah itu merupakan hak apanage atau sering
disebut sebagai tanah lungguh. Para raja Jawa terikat pada perjanjian
Giyanti mengenai ketentuan wilayah, raja memiliki hak zelfbestuur, telah ditentukan dalam perjanjian. Atas tanah itu,
raja mempunyai hak otonomi memerintah dalam batas wilayah yang telah
ditetapkan. Diawal abad ke XVIV raja-raja saat itu sangat membutuhkan
pemasukan dana agar dapat menjalankan pemerintahannya secara baik. Kemudian
raja-raja mengambil kebijakan terhadap semua tanah “lungguh” atau tanah apanage
yang dimilikinya, semula dikelola nayaka,
abdi dalem, dan para bangsawan,
kemudian ditarik dikembalikan kepada raja sebagai pemilik tanah kemudian
dikontrakkan pada swasta. Akibatnya rakyat yang dulunya menggarap sawah tanah lungguh bangsawan dan nayaka praja, kemudian hanya menjadi kuli perkebunan.
Sebagian tanah raja dikelola sendiri untuk
pabrik gula, teh, kopi, karet, hasilnya dapat sebagai pemasukan untuk kas
keraton. Sebagai gantinya para pegawai abdi
dalem, nayaka dan bangsawan
digaji dengan uang. Keadaan ekonomi masa pemerintahan Pakubuwana IX dan
Pakubuwana X relatif baik, karena punya
pemasukan cukup besar hasil dari penyewaan tanah perkebunan. Pendapatan yang
cukup didukung oleh tingginya harga komoditas, teh, gula, kopi diwaktu itu,
sehingga dapat memerintah dengan baik. Keadaan itu berubah total setelah
terjadinya Perang Dunia I, dampak perang dunia mengakibatkan negara besar tak mempunyai penghasilan yang
cukup memadai. Mereka mempunyai jumlah utang yang sangat besar, banyak negara
terancam kebangkrutan sehingga terjadi resesi ekonomi dunia ditahun 1929. Kemudian
efeknya berimbas beberapa tahun kemudian ke Jawa dinamakan zaman Malaise.
Tahun 1935, resesi terjadi berimbas terhadap nilai jual komoditi
perkebuanan di Jawa. Harga komoditi perkebunan mengalami kejatuhan sangat tajam,
perkebuanan merugi bahkan banyak yang mengalami kebrangkrutan. mengakibatkan semakin memburuknya perekonomian
di Jawa. Pada puncak resesi ekonomi Sunan Pakubuwana ke X wafat pada tanggal 20
Februari tahun 1939, kemudian digantikan oleh Sunan Pakubuwana ke XI.
Setidaknya keadaan resesi ekonomi berimbas pada pemerintahan Sunan Pakubuwana
XI, saat itu pemerintahan mengalami kesulitan finansial akibat dampak resesi
ekonomi. Karena krisis keuangan Pakubuwana XI mengambil kebijakan dengan
mengadakan penghematan besar-besaran pada pengeluaran keuangannya. Untuk dapat
bertahan Pakubuwana XI untuk penghematan merampingkan semua kegiatan yang
dianggap kurang penting, kegiatan yang membutuhkan dana besar dipangkasnya.
Pemangkasan dilakukan termasuk kebiasaan raja Jawa pendahulunya, seperti upacara
peninjauan daerah, menyerderhanakan iring-iringan raja dan bangsawan.
Pemangkasan itu termasuk penghilangan kebiasaan mengangkat empu di Keraton
Surakarta, mengakibatkan tak ada lagi empu keris di masa pemerintahan
Pakubuwana XI.
Pemerintahannya
saat itu banyak mengalami masalah kekurangan finansial sehingga tidak mempunyai
dana untuk menjalankan kebiasaan raja-raja untuk mengangkat empu keris pada
pemerintahannya. Selain itu para
keturunan empu sudah jauh berbeda tidak melanjutkan kegiatan ayahnya, penghilangan
pemengangkatan para empu keris bukan dilandasi masalah mistis, namun
berdasarkan teknis material.
Tak banyak diketahui apa dasar pertimbangan sesungguhnya Pakubuana IX
memutuskan tidak mengangkat empu yang sangat penting bagi keraton, sebagai
pendukung utama regalia raja Jawa di
masa lalu. Keadaan ini diperparah pada
masa penjajahan Jepang, situasi ekonomi dan politik di masa penjajahan Jepang
tak memberikan angin pertumbuhan bagi pembuatan keris di masyarakat Surakarta.
Kesulitan
ekonomi di zaman Jepang, disusul oleh perang kemerdekaan, dan adanya agresi
militer Belanda ke I dan II sangat berpengaruh terhadap kehancuran ekonomi
Surakarta. Di saat kemerdekaan kepemilikan tanah tak lagi ada pada raja
melainkan beralih ke rakyat dilaksanakan melalui undang-undang agraria. Keraton
Surakarta tidak mempunyai tanah-tanah apagnage
lagi, penguasaan lahan pertanahan tidak berpusat pada kepemilikan tanah apanage melainkan telah dimiliki rakyat
dengan dilaksanakan landreform.
Keadaan ini sangat menyulitkan Keraton Surakarta, bersamaan dengan itu, diambil
alih pula perusahaan-perusahaan yang dimiki oleh Keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran. Perusahaan-perusahaan itu kemudian di nasionalisasi oleh
pemerintahan Repubik Indonesia,
menyebabkan keadaan finasial keraton sangat surut. Keraton sudah tak
mempunyai pendapatan dari tanahnya, tak punya kendali lagi terhadap politik,
ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya.
Kaum bangsawan
dan saudagar semula merupakan patron terjaganya kelangsungan hidup dari
kesenian, telah kehilangan sumber utama keuangannya akibat krisis
berkepajangan. Masyarakat sulit untuk bekerja, bertani atau berdagang, di masa
pendudukan Jepang sampai masa akhir perang kemerdekaan. Keadaan itu membuat
kemerosotan kehidupan masyarakat mempunyai daya belinya sangat rendah pada
situasi ekonomi yang paling buruk. Empu keris membuat produk yang berharga
mahal itu sulit mendapatkan pesanan, sehingga tak dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Keadaan itu membuat para empu menjadi sulit berkarya, sehingga
mereka tak mampu mengadakan regenerasi, akibatnya empu kemudian hilang dari
masyarakat Surakarta.
D. KEMUNCULAN KEMBALI KERIS SURAKARTA.
Empu Surakarta
setelah mangkatnya Pakubuwana X kebanyakan sudah cukup berumur saat itu sehingga praktis setelah akhir tahun
empat puluhan satu persatu meninggal dunia. Hilangnya empu Surakarta sangat
berpengaruh juga pada kelestarian tempa pamor. Ilmu tempa keris hanya berkembang
dikalangan empu dan keluarganya, intinya pengetehuan tersebut merupakan kawruh sinengker atau ilmu sangat
dirahasiakan hanya berkembang dalam lingkup sendiri. Sepeninggal empu Surakarta
praktis ilmu tempa keris hilang, berbagai ilmu tentang perkerisan juga tidak
diturunkan kepada anak cucu penerusnya.
1. Lahirnya Organisasi Pecinta Keris
Di awal abad ke XX organisasi modern yang tumbuh di masyarakat merupakan
kekuatan baru untuk memperjuangkan bidang politik, ekonomi dan budaya. Dulunya
organisasi moderen tidak dikenal pada struktur feodal aristokrat sebelum abad
ke XX. Kultur Komite dibentuk merupakan organisasi yang bergerak dalam
pelestarian kebudayaan, beraktifitas secara rutin di tahun duapuluhan sampai
tiga puluhan. Organisasi itu selalu mengadakan pertemuan membicarakan masalah
kebudayaan di museum Radya Pustaka Surakarta. Pada pertemuannya mengupas
masalah kebudayaanJawa
Kultur Komite terdiri berbagai kalangan baik orang pribumi maupun orang Belanda.
Organisasi itu sangat berguna banyak memberikan dasar-dasar tumbuhnya
organisasi kebudayaan serupa di Surakarta dikemudian hari.
Tahun lima puluhan setelah keadaan politik dan ekonomi Indonesia sudah
mulai stabil, masyarakat Surakarta kembali menata diri dalam bidang kebudayaan
dan kesenian. Hilangnya empu keris membuat masyarakat pecinta keris mencoba
mengorganisir diri dengan membentuk organisasi formal sebagai wadah organisasi
budaya seperti kultur komite. Organisasi pecita keris berdiri pada tahun 1952
memperjuangkan tujuannya guna melestarikan pengetahuan dan pelestarian keris di
Surakarta, dengan nama Paguyuban Bawarasa Tosan Aji. Paguyuban itu didirikan oleh
beberapa orang mantan anggota kultur komite, anggotanya dari kelompok
masyarakat yang mempunyai kepedulian dengan kelangsungan perkembangan keris di
Surakarta. Bawarasa Tosan Aji merupakan organisasi yang berkecimpung dalam
bidang kajian tentang keris, dipimpin oleh Pangeran Sumodiningrat, RMA
Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwijaya. Anggotanya terdiri dari kalangan pecinta
keris dari Keraton Surakarta, para saudagar dan masyarakat umum.
Paguyuban Bawarasa Tosan Aji dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, pertemuan
dilakukan setiap bulan di rumah para anggota dari berbagai kalangan.
Kegiatan tersebut berlangsung sampai
pada pertengahan tahun enampuluhan. Sayangnya setelah situasi politik memanas
setelah meletusnya G 30 S PKI tahun 1965, Bawarasa Tosan Aji menghentikan
kegiatanya karena situasi tak lagi kondusif. Hal ini disebabkan oleh situasi
pasca G 30 S tahun 1965, Surakarta berada di bawah kekuasaan Panglima Penguasa
Perang. Pada situasi itu menerapkan jam malam dan membatasi orang berkumpul dan
berserikat. Orang yang akan melakukan pertemuan di siang hari, melebihi jumlah
lima orang harus ada izin khusus dari Penguasa Perang. Situasi politik saat itu
tidak memberikan peluang untuk mengadakan pertemuan rutin untuk membicarakan
keris kemudian organisasi itu beku. Kebekuan ini berlangsung cukup lama sampai
pada tahun 1970, cita-cita semula sebagai awal dari kemunculan kembali empu
keris di Surakarta kenyataanya terhenti di tengah jalan, karena situasi dan
kondisi politik pada saat itu.
2. Perintisan Besalen PKJT Sasana Mulya.
S.D Humardani ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah atau PKJT, Sasono Mulya
Surakarta, berkeinginan menghidupkan kembali pembuatan keris. Ia memandang
bahwa keris dan tosan aji dianggap sebagai pusaka, yang menjadi salah satu adeg-adeking budaya Jawa,
artinya tosan aji dianggap
sebagai salah satu pilar penyangga utama dari kebudayaan Jawa. Sampai sekarang
ini budaya tersebut masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat
Surakarta. Pusaka juga dianggap ngleluri
adeg-adeking omah atau dapat diartikan merupakan spirit dari berdirinya
kehidupan rumah tangga, sampai pada pendukung utama terhadap tegaknya sebuah
keraton. Hal ini ditengarai di bulan Sura bagi masyarakat Jawa terutama di
Surakarta, menjadikan bulan Sura untuk menghormati pusaka, serta bulan yang
digunakan untuk merawat pusaka. Bulan Sura juga dijadikan sebagai ruang gladi ngelmu kehidupan yang sudah dipunyainya,
atau gladi ngelmu yang baru. Ngelmu atau ilmu pengetahuan itu diartikan sebagai teknis lahir
batin, lewat sebuah pengalaman ataupun
konsep-konsep yang lahir dari sebuah manekung
atau dijalani lewat laku. Jadi sebuah
hal yang sifatnya konsep itu lahir dari sebuah proses, ngelmu atau ilmu dipandang dari proses sebuah laku proses perjalanan karya.
Pada akhir tahun enampuluhan S.D Humardani menimba ilmu dari pakar tosan
aji yang masih ada di Surakarta, setelah menguasai konsep estetika keris dan
berbagai persoalan yang menyebapkan madeknya organisasi pecinta keris, ia
berkehendak memunculkannya kembali organisasi tersebut. Pada tahun 1971 ia
mencoba menghidupkan kembali Bawa Rasa Tosan
Aji di PKJT Sasono Mulyo Surakarta. Organisasi pecinta keris itu kemudian
dibentuk dan kemudian beraktifitas di PKJT Sasono Mulya setiap bulan, dinamakan
juga Bawarasa Tosan Aji. Organisasi itu diketuai oleh KRT Hardjonagoro, dengan
koordinator K.R.A Sukatno Purwoprojo. Sedang anggautanya adalah para ahli keris
Seperti RT Gunandar Sumopuro, Matang Sadoyo, Yudo Prawiro, Yudo Sutrisno, Rng
Projo Curigo, Ki Suparman Supowijoyo,
Hadi Kasman, Suprapto Suryodarmo, dan lain-lainnya dengan anggauta
berjumlah anggota 152 orang.
Waktu itu juga dicoba untuk membuat keris, walau telah dilakukan berbagai usaha
yang dipinpin oleh Hadikasman belum berhasil untuk membuat keris. Kemudian organisasi
itu pecah menjadi dua yaitu Bawarasa tosan Aji dan Bawarasa Paniti Kadga
anggautanya terpecah menjadi dua.
3. Kembalinya Pande Keris
Dietrich Drescher seorang pelaut warganegara Jerman di tahun 1962 kapalnya
bersandar di Surabaya. Seperti biasanya memerlukan waktu yang lama untuk
bongkar muat, pelaut yang berlabuh biasanya bepergian untuk mengunjungi
restoran. Di saat itu rumah makan yang terkenal enak adalah Rumah Makan OEN di
Tunjungan Surabaya. Pada saat menikmati ice
cream yang terkenal lezat itu, ia ditawari sebilah keris oleh seorang
pedagang asongan di depan restoran. Pedagang itu meminta harga Rp 100,- dengan
iseng ia menawar Rp 70,- kemudian diberikan kemudian
membayarnya. Saat perjalanan pulang ke Eropa ia kagum pada keris yang
dibelinya karena terdapat guratan pola pamornya, sehingga ia sangat tertarik.
Pada kesempatan lain ia pergi ke museum Basel di Switzerland utara dengan naik
kereta api dari Jerman untuk melihat koleksi lengkap keris Jawa di sana.
Kemudian di setiap waktu ia merencanakan rute pelayaranya untuk selalu singgah
di Ansterdam, kemudian pergi ke Leiden dan Roterdam. Di perpustakaan kota
tersebut ia membaca referensi tentang kebudayaan Indonesia. Di awal tahun
tujuhpuluhan, ia selalu merencanakan pelayarnya untuk singgah ke Semarang atau
Surabaya, liburannya dihabiskan mengujungi kota Solo, Yogya dan Surabaya, untuk
menemui pakar keris Selain itu ia mencari tahu keturunan empu yang masih dapat
diajak untuk membangkitkan pembuatan keris yang telahlama hilang. Dia mencoba
menghubungi keturunan empu di Solo yang mau untuk diajak membuat keris lagi,
namun usahanya tak berhasil.
Gagal mencari di Surakarta, kemudian mencari keturunan empu di Yogyakarta
ia pergi mencari ke daerah Godean Yogyakarta. Niatnya berhasil kemudian bertemu
dengan seseorang yang bernama Yasa merupakan keturunan empu Supo Winagun merupakan
empu di masa pemerintahan HB VII. Saat itu
Yasa sudah tak membuat keris, melainkan hanya membuat alat pertanian.
Oleh Dietrich Drescher diajak membuat keris kembali, semula mereka ragu karena
setelah puluhan tahun tahu tak membuat keris, tapi akhirnya menyanggupinya.
Dengan bekal logam nikel dari Jerman yang cukup untuk membuat 30 keris, selama
tiga bulan ia berguru pada Yasa dirumahnya dipinggiran kali Progo. Dengan
berbagai usaha kemudian berhasil membuat sebuah keris. Karena sudah lama tak
menempa dan membuat keris, bentuknya agak kurang baik. Setelah selesai
pembuatan, satu keris baru itu dibawa ke Solo, kemudian di tunjukkan pada KRT
Hardjonagoro.
Saat itu Dietrich Drescher berhasil sebagai penanda untuk pertamakalinya usaha
untuk menghidupkan kembali pembuatan keris Jawa yang telah 35 tahun hilang.
Langkah ini memunculnya semangat akan munculnya empu baru dalam situasi dan
kondisi berbeda dari empu Keraton Surakarta. Keberhasilannya membuat keris itu
merupakan awal kebangkitan kembali tempa pamor yang telah hilang selama 35
tahun dari masyarakat Surakarta.
4. Munculnya Besalen Sasana Mulya
Keberhasilan Dietrich Drescher keinginan menghidupkan kembali pembuatan
keris yang telah hilang dari Surakarta mendapat peluang untuk menjadi
kenyataan. Kemunculan kembali empu Surakarta tak berlangsung bersamaan, beberapa
tokoh telah melakukan percobaan secara pribadi kemudian berhasil membuat keris.
Pada tahun 1978 Suprapto Suryodarmo mulai melibatkan diri kegiatan tosan aji kemudian S.D Humardani
memberikan perintah pada Suprapto Suryodarmo, sebagai sekertaris ASKI Surakarta
diwaktu itu, untuk mencari seseorang yang mau belajar untuk membuat keris. Ia
mendapatkannya berasal dari kampung Kenthingan bernama Subandi, kemudian
dikirim untuk belajar membuat keris di tempat empu Yasa. Sebagai tindak
lanjutnya, maka dibuatkan besalen di sebelah timur kantor PKJT Sasonomulyo.
Dirasa tidak mungkin dapat berkarya sendirian maka Subandi perlu dicarikan
kawan guna bersama-sama menempa keris. Selain itu tak baik bila kemampuan
pembuatan keris itu hanya dibebankan pada seorang, S.D Humardani kemudian
menyuruh mencarikan orang lagi, untuk belajar menempa keris. Suprapto
Suryodarmo kemudian mendapatkan Yantono, Yanto dan Daliman. Usaha untuk menempa
keris kemudian direalisasikan dengan membangun besalen di Sasana Mulya yang dipimpin oleh Suprapto Suryadarmo.
Dari besalen tersebut kemudian dapat
melahirkan empu muda yang terus tumbuh mengembangkan diri dalam pembuatan
keris. Dari besalen Sasana Mulya mampu melahirkan empu muda Surakarta bernama
Subandi, Yantono, Yanto, dan Daliman. Sedang Taman Budaya Surakarta yang
dipimpin oleh Murtijono melahirkan empu Triyono Widodo. Selain itu, kelompok
masyarakat berusaha mengadakan percobaan-percobaan untuk membuat keris secara
mandiri. Ki Suparman koordinator dari Bawarasa Paniti Kadga, telah lama mencoba
meneliti tentang pembuatan keris dari manuskrip. Atas usahanya kemudian ki
Suparman di awal tahun delapanpuluhan berhasil membuat keris dari besalen di kampung Komplang Surakarta.
Ia merupakan empu yang berasal dari paguyuban Bawarasa Paniti Kadga. Selain itu
Fausan Puspasukadga juga mengawali pembuatan keris dari percobaan melalui besalen di kampung Yosoroto. Bawa rasa
Tosan Aji memunculkan KRA. Harjosuwarno kemudian berhasil membuat keris dari besalen Keratonan dirumah Panembahan Harjonegoro.
Keberhasilan itu kemudian menjadi
awal sebagai topik untuk dijadikan sebuah pembicaraan oleh S.D Humardani,
Suprapto Suryodarmo dan Sugeng Tukio, Bagyo Suharyono untuk pengembangan ke
depan, tentang bagaimana pusaka atau tosan aji, menjadi sebuah kekuatan bagi
Jurusan Seni Rupa di ASKI yang akan dirancang pembentukannya disaat itu. Untuk
mengawalinya kemudian dibentuk Bengkel Kerja Seni Rupa, merupakan awal dari pembentukan muatan materi
seni tradisi di Jurusan Seni Rupa ASKI Surakarta. Kegiatan tersebut mengajarkan
tentang pembuatan tosan aji, wayang beber, tatah sungging dan lukis kaca.
Ketiganya di canangkan sebagai materi unggulan untuk persiapan pembentukan
jurusan Seni Rupa ASKI Surakarta.
Kegiatan itu merupakan bibit kawit
atau awal permulaan dari lahirnya Jurusan Seni rupa ASKI Surakarta yang
sekarang menjadi Jurusan Seni Rupa ISI Surakarta, lewat dibentuknya Bengkel
Kerja Seni Rupa. Sampai sekarang keempat empu tersebut
masih berkaya. Dibukanya Jurusan Keris dan Senjata Tradisional Institut Seni
Indonesia Surakarta terbuka peluang untuk mengkajian keris secara menyeluruh
berdasarkan penelitian ilmiah. Hal ini akan membuka cakrawala baru tentang
pemahaman pembuatan keris berdasarkan konsep teknik tempa pamor untuk
mengembangkan keris yang lebih konperhenship.
E. KESIMPULAN.
Dari
rangkuman diatas menunjukkan bahwa keris Surakarta telah berkembang semenjak
kerajaan Pengging di zaman Jenggala sampai sekarang ini. Budaya keris tetap
terjalin dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Surakarta, budaya keris tak pernah
terpisah dari masyarakat Surakarta. Keris dianggap dianggap ngleluri adeg-adeking omah atau
dapat diartikan merupakan spirit dari berdirinya kehidupan rumah tangga.
sebagai salah satu pilar penyangga utama dari kebudayaan Jawa, sokoguru
terhadap tegaknya sebuah keraton.
Walaupun
sekarang ini, teknologi dan alat semakin moderen teknologi pembuatan keris
dimasa lalu banyak yang belum terungkap. Perkembangan keris mengalami pasang
surut terus berkembang karena inovasi dapat dilakukan terus-menerus oleh
masyarakat Surakarta. Untuk itu perlu diadakan kajian guna menyingkap hal yang selama
ini hilang terutama ilmu bahan, teknik-tenik pembuatan keris yang telah lama
hilang. Untuk itu dapat ditarik kesimpulan perlunya ada semacam wadah bagi pembelajaran
tentang keris di Surakarta. Bahwa budaya keris merupakan bagian yang menyatu di
kehidupan masyarakat Surakarta sampai sekarang ini perlu wadah berupa sebuah sebuah
museum keris. Sangatlah sayang bagaimana perjuangan empu dan inovator di masa lalu,
sekarang ini tak diberi wadah agar masyarakat dapat menikmati keindahan
karya-karya mereka. Utuk itu memunculkan permasalahan sebagai berikut:
1.
Mengingat
sampai sekarang ini tidak ada wadah yang dapat melihat perkembangan keris
sehingga penting dibangun museun keris, digunakan untuk pemajangan dan penyimpanan
artifak keris dari masa lalu sampai sekarang ini.
2.
Visualisasi
dan peragaan, disertai dengan penjelasan asal keris, bahan, teknik pembuatan,
yang sangat perlu untuk membangun pengertian tentang makna keris, baik keris
lama pada umumnya dan keris Surakarta khususnya melalui kajian ilmiah.
3.
Museum
keris harus dikawal oleh kelompok kurator sesuai dengan undang undang, memenuhi
unsur terukur, valid, current, sufficient, dan authentic.
4.
Museum
keris dapat menjadi wadah kajian, penelitian, eksplorasi, konservasi,
restorasi, informasi, oleh ahli keris yang mempunyai sertifikat kompetensi
profesi.
5.
Perlunya
museum keris dapat memayungi semua kegiatan perkerisan di Surakarta baik pendidikan
pendidikan, pengembangan, pembelajaran, berdasarkan ranah kaidah ilmu
pengetahuan dan teknolgi pembuatannya.
6.
Moseum
akan menjadi wadah atau pasar pengrajin lengkapan keris, untuk melakukan unjuk
kerja hasil kerajunaanya guna memenuhi permintaan masyarakat secara luas.
7.
Menarik
minat orang terhadap keris, sehingga akan menunjang kunjungan kepariwisataan di
Surakarta.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Perss.
Amangkunegara III. K.G.P.A, 1985. Serat
Centhini jilid II Yasan
dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara III (Ingkang Sinuwun Paku Buana V) Disalin sesuai dengan
aslinya oleh Kamajaya, Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Arumbinang,
Haryono.1996. “Perbedaan komposisi logam
dalam priodenisasi keris”. Makalah Seminar Bentara budaya 21-28 Agustus 1996.
Buchwald,
F.Vagn. 1968 . Hand Book of Iron
Metheorites. Volume 3 Center for Meteorite studies Arizona State
University. California.
Bulbeck F, David. 2000. “ Preliminary Results from the
1998-1999 Field Season in Luwu”
(Origin of Complex Society in South sulawesi). Dept. of Archeology and
Anthropology, Australian National University
Bidang prasejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jurnal Ilmiah
Burhan M, Agus. 2006. Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer.
Kenangan purna bakti untuk Prof. Sudarso
sp, MA, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Caldwell, Ian.
1991 Power, State an Society Among the
Pre-Islamic Bugis. The Centre for South-Eas Asian Studies : University of
Hull Hu6 7RX U.K. Jurnal ilmiah. www. kitlv.nl
Garret,
and Bronwen Solyom. 1978 . The World of The
Javanese Keris. An exhibition at the
East-West Culture Learning Institute, Honolulu: East West Center Honolulu
Hawai.
Graham, Bevan A.I
A.W.R and R. Hutchison 1985 .“Catalogue of Meteorites”. British Museum (Natural History).
Groneman I.
1910 Etnografis. 1910. www. kitlv.nl.
Groneman, Isaac 1910.
“Wat er van de Pamor Smeetkunst worden zal” De Locomotief 9 Juli 1910.
Groneman, Isaac. 1904.
“Nikkel Pamor”. Weekblad vor Indie no 24.
Groneman, Isaac. 1904.
“Pamor –Loewoe en Nog Wat”. Weekblad vor Indie no 42.
Groneman, Isaac. 1910. “
Keris Jawa”. (Der Kris Der Javaner),
Alih bahasa Jerman ke bahasa Indonesia oleh Staley Hendrawijaya.
Haryono, Timbul. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni.
Solo: ISI Press.
Kaplan, David. Robert A. Manners, 1999. Teori
Budaya. Pengantar P.M. Laksono Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. 2003. “Lari Dari Kenyataan Raja, Priyayi, Wong cilik
Biasa di Kasunanan Surakarta 1900-1915”. Humaniora volume XV No 2/2003 Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Publikasi
Fakultas Ilmu Budaya Gajah Mada.
Laeyendecker.
1983. Tata, Perubahan dan
Ketimpangan Satu
Pengatar Sejarah Sosiologis. Jakarta:
PT Gramedia.
Larson,
Gorge D. 1990. Masa
Menjelang Revolosi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Majalah : Jawa
Baroe edisi 3 Februari 2605
Majalah : Jawa
Baroe edisi edisi 11, 2604-6-1
Majalah : Pawarti
Keraton Surakarta, bulan November
1939
No name. 1953. Panangguhing Duwung. Surakarta: Toko
Buku “Sadu Budi”.
No
Name. 1980,
Babad Tanah Jawi. Alih aksara Sudibjo Z.H Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta :Proyek Penerbitan Buku Sastra
dan Daerah.
No Name. 1981. Babad Pacina. Ringkasan Wirasmi Abimanyu, alih aksara oleh Mulyono
Sastronaryatmo, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
No Name. TTH. “Kawruh Empu”.
No Name. TTH. “Paniti Kadga”.
No Name. TTH. “Pandameling Duwung.
No Name.1981 Babad Kartasura. Alih
bahasa oleh Mulyono Sastronaryatmo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
Padmo, Soegijanto.
2007. “Sejarah Kota dan Ekonomi Perkebunan”.
Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah
diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, 11-12 April 2007.
Pradjaduta, Mas Ngabei.
1939. Sri
Radya Leksana. Surakarta: Budi Utama.
Alih aksara oleh Soesanto SA. Seksi kebudayaan Kapendikbut Kotamadya Surakarta.
Pringgodigdo, Mohammat
Husodo. 1983. “Saduran dari Vorstenlanden” karangan GP Rouffaer.
Adatrecht-Bundels tahun 1931 jilid XXXXV. Martinus
Nijhoff Gravenhage.
Rouffaer, G.P.
1989. “Praja Kejawen” (Vorstenlanden), Terjemahan oleh Suharjo
Hatmosuprobo. Yogyakarta: Text Book tidak
dipublikasikan.
Suratman, Darsiti, 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta. Yogyakarta:
Taman Siswa.
Sutrisno, Muji dan Hendar Putranto, 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta :
Yayasan Kanisius.
Ulbe, Bosma, 2007.
“The Cultivation System (1830-1870) and its private entrepreneurs on
colonial Java”. Journal of Southeast Asian Studies Cambridge University Press.
Wertheim, W.F.
1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Winter, F.L 1871.
Hal Keris. Dimelajuken oleh R.
Soedjonorejo 1937. Kediri : Boekhandel Tan Koen Swei jalan Dhoho no 147.
Winter, F.L. 1871. Serat
Pratelanipun Dhapur Duwung. Kekecap ing Surakarta Wonten ing Pangecapipun
Tuwan P.F Purnemen ing tahun 1871. (Dicetak di Surakarta pada percetakannya
tuan P.F Purnemen tahun 1871).
Woerjaningrat,
KRMH, TTH. “Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta Setelah Proklamasi
Kemerdekaan”. Rekso Pustoko
Mangkunegaran.
Yampolsky,
Philip. 2006. Perjalanan Kesenian
Indonesia Semenjak Kemerdekaan, Jakarta: Equinox Publishing.
Yasper, end Mas
Pirngadi, 1924 . De
Inlandsce Kunstnij verheid . Grovenhage : Van Regeeringswege Gedruke en Uit Gegeven Te
Grovenhage. Kunst drukkery Moton & Co.
Seratipun
Kanjeng Raden Adipati Sasranagara Dumateng Tuwan-tuwan Hingkang Dados Komisi
(bundel
katalog pameran di Negeri Belanda November 1882)
F. David
Bulbeck, 2000. Jurnal ilmiah “ Preliminary Results from the 1998-1999 Field
Season in Luwu” (Origin of Complex
Society in South sulawesi). Dept. of
Archaeology and Anthropology, Australian National University.