Kamis, 11 Juli 2013

EKSISTENSI KERIS SURAKARTA Oleh: Soelistyo Joko Suryono

EKSISTENSI KERIS SURAKARTA
Oleh:  Soelistyo Joko Suryono. M.Sn. 

Seminar Menggagas Museum Keris Surakarta
 1 September 2012
Balai Tawang Arum, Balai Kota Surakarta.






A.      KEBERADAAN KERIS SURAKARTA.

Semenjak zaman dahulu kala keris merupakan buah akal budi manusia yang berkembang dari waktu ke waktu, keris dibuat dengan teknik tempa pamor, sehingga meninggalkan jejak teknis penempaan di bilahnya. Selain itu bahan baku, teknik pelipatan maupun garapnya juga tertinggal pada jejak-jejak di bilahnya. Fungsi  manifest keris adalah sebagai senjata, sedang fungsi latennya adalah sebagai pusaka diwariskan secara turun-temurun, merupakan simbol, regalia raja, tanda pangkat,atau memenuhi sopan santun dalam berbusana tradisi. Selain itu dapat dijadikan sebagai media karya seni mengandung nilai estetika sangat tinggi, digunakan sebagai ekspresi estetik bagi empu  pembuatnya. Keris berkembang  di daerah yang luas meliputi Asia Tenggara, adapun daerah tersebut adalah Indonesia, Zulu, Philipina Selatan, dan semenanjung Melayu. Khususnya di Indonesia keris berkembang di daerah Jawa, Bali, Sumatra, Lombok, Kalimantan, NTB dan Sulawesi.  Di Jawa keberadaan keris belum tampak pada relief candi-candi Jawa Tengah seperti candi Dieng, Prambanan, dan Borobudur. Ada gambar senjata di candi-candi tersebut yang mirip keris kemudian disalah artikan sebagai keris. Senjata tersebut sejenis dagger dinamakan kadga (pedang pendek) biasa dipakai sebagai atribut dewa Hindu, bentuk itu terdapat juga di relief candi-candi dan patung India. Gambar di relief candi tersebut bukan keris karena belum memenuhi kriteria keris. Difinisi keris adalah senjata tusuk yang mempunyai ukuran tertentu,  terdapat condong leleh, ganja, pesi, dan mempunyai dhapur [1]. Adapun gambar keris baru tampak di relief candi Sukuh  Karanganyar Surakarta. Pada relief Sukuh sudah tampak bentuk keris, telah mempunyai condong leleh, ganja, pesi, mempunyai dapur sepang dan tilam upih.
 Peristilahan  keris di Surakarta dikenal dalam bahasa Jawa halus atau krama hinggil disebut sebagai kadga dan curiga, sebetulnya kedua kata itu diambil kosa kata dari India ialah khadga, knadga dan curikha yang berarti pedang pendek. Disebutkan dalam katalog pameran Kraton Surakarta di Negeri Belanda pada tahun 1882:
Dadamel ingkang boten kinging pisah’hi tiyang Jawi ageng-alit  ing karaton Surakarta menika ing tembung madya winastanan duwung. Tembungng ipun ngoko keris, tembung krama inggil ingkang  anumrapaken agemipun  para ageng wangkingan. Wonten warongko gagaran para rangganipun saha patrap pangangenipun wonten unggah-ungguh ing tata krama, saha wonten ingkang dados awisannipun ing ratu. Malah kawujudanipun pamilang gadahi dapur utawi wangun. Wonten dapur utawi wau sami angadahi nama piyambak-piyambak.[2]
( Keris yang tidak dapat dipisahkan dengan orang Jawa baik yang besar maupun yang kecil di Keraton Surakarta, sebutan dalam bahasa tengah dinamakan duwung. Untuk tataran bahasa paling rendah disebut sebagai keris, kata yang halus untuk digunakan orang besar atau berpangkat disebut wangkingan, Selalu disertai sarungnya disebut warongka dan hulunya berbagai bentuknya,  dengan peraturan pemakainya sopan santun, tatakrama serta ada pelarangan yang di peruntukkan (diatur)  raja. Ada dhapur atau wujutnya dibedakan melalui bentuk, tiap bentuk dhapur mempunyai nama sendiri sendiri).

Sampai sekarang peristilahan dalam bahasa Jawa halus atau krama hinggil keris disebut sebagai kadga dan curiga,  selain itu disebut wangkingan. Wangkingan  berasal dari cara pemakian keris di waking, dalam bahasa krama madya atau bahasa menengah disebut sebagai dedamel dan duwung, kata duwung belum diketahui asal-usulnya sampai sekarang ini. Duwung lebih populer di Surakarta dari pada kata keris, kata duwung juga digunakan pada bahasa seni dan sastra kebanyakan memakai kata  duwung bukan keris. Untuk penyebutan dengan bahasa paling rendah, atau ngoko disebut sebagai keris.
Penelitian eskavasi arkeologi dari OXSIS  (Origin of Complex Society in South Sulawesi) Australian National University dan Balai Penelitian Arkeologi Nasional di tahun 1999, membuktikan adanya usaha pembuatan bahan pamor dimasa lalu di Sulawesi Selatan. Dalam eskavasi arkeologi tersebut terbukti telah adanya penambangan nikel di situs tertentu daerah Luwu, pada situs itu terdapat bekas-bekas usaha peleburan nikel. Penelitian yang dilakukan secara ilmiah melalui pengukuran dengan metode radio karbon, situs paling tua telah ada pada abad ke XI. Sulit dipercaya daerah Luwu telah berkembang menjadi besar semenjak abad ke XII dan ke XIII. [3] Diperkirakan seterusnya  Luwu  juga punya hubungan dengan Majapahit, untuk menyediakan  bahan pamor yang sangat termasyur itu. Penelitian itu dapat memberikan gambaran, bahwa teknologi pembuatan pamor telah berkembang semenjak abad XI, sehingga banyak orang berspikulasi asal mula keris tidak terlalu  jauh dari abad ke XI.
Menurut manuskrip yang ditulis Empu Surakarta semasa Sunan Pakubuwana X bahan baku pembuatan keris, terbuat dari tiga bahan utama yang tak mungkin dipisahkan. Bahan itu berasal dari besi, baja, dan pamor merupakan bahan pilihan agar dapat menghasilkan bentuk keris yang baik.

“Nyariosaken badenipun dadamel Jawi punika ingkang dipun angge boten woten  kejawi satitiga menika. Tosan menika hingkang sinungan minangka langkungan, waja punika ingkang sinungan kiyatan sarta landep, pamor punika hingkang sinung yuana saha guwaya langkung[4]
(Menceritakan bahan baku persenjataan (keris) Jawa itu yang dipakai untuk pembuatan tidak ada selain ketiga bahan ini. Besi merupakan bahan yang mempunyai anugerah sebagai media, baja mempunyai anugerah kekuatan dan ketajaman. Pamor itu yang mempunyai anugerah dan membuat pencerahan terhadap bentuk perwajahan sifat (keris) yang lebih indah dan cemerlang).

Keterangan diatas mengundang pertanyaan penting dari mana asal bahan besi baja dan pamor  dimasa lalu?. Besi di Jawa baru marak diperdagangkan abat XVIX, setelah adanya produk masal  hasil revolusi industri di Eropa dibawa oleh Belanda sebagai bahan konstruksi, transportasi, keperluan mesin. Nikel industri baru dikenal Surakarta pada tahun 1880 yang dibawa oleh orang tuwan-tuan (orang barat) berasal dari pabrik Kruup Jerman merupakan 100% nikel murni. Dapat dipastikan sebelum ada perdagangan besi Eropa, empu membuat besi, baja, dan pamor dari bahan lokal. Melalui hasil penelitian kami mengungkap fakta  peleburan pasir besi dari berbagai daerah Surakarta,  pantai selatan Jawa, Tasikmalaya, erupsi vulkanik Gunung Merapi pasir besinya dapat dipakai untuk bahan keris. Selanjutnya akan diteliti juga pasir besi aliran Bengawan Solo untuk bahan keris. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan memberikan gambaran, tentang pembuatan keris pada zaman dahulu tak perlu mendatangkan bahan dari luar daerah. Pembuatannya berkembang sesuai dengan teknologi tepat guna, peleburan dengan teknik paling sederhana ternyata dapat mengolah mineral alam yang mengandung besi disekeliling Surakarta dapat dijadikan bahan baku pembuatan keris.
Keris selalu dibuat oleh empu yang mempunyai persyaratan paggarap, kecakapan teknik tempa, ilmu bahan, dan  legitimasi oleh raja Surakarta. Tidak setiap orang dapat mengaku dirinya sebagai empu, empu dipersyaratkan melakukan Purwa, Madya, dan Hasta ketiganya harus dijalankan untuk membuat keris, profesi empu juga merupakan jalan hidup seseorang untuk berkarya. Dalam etnografisnya I Groneman menyebutkan bahwa di Surakarta tak ada empu diluar keraton, hanya ada empu keraton yang diangkat oleh raja. Empu dimasukkan struktur kepangkatan tertentu, bekerja dengan sabat berjumlah empat orang. Seorang empu diberi pangkat abdi dalem Panewu Pande, sabatnya Panjak abdi dalem matri pande, mrapen  bekel pande. Sedang  barat dan demel berpangkat abdi dalem jajar. Raja Surakarta  biasanya hanya punyai empu sebanyak 7 empu keris. Selain melayani pembuatan keris atas perintah raja, empu dapat menerima pesanan dari masyarakat.[5] Karena statusnya di bawah raja, empu Surakarta tak membuat dhapur baru, melainkan hanya memakai dhapur lama. Kenyataanya keris masuk dalam sebuah sistim budaya di Surakarta. Walau tahapan-tahapannya banyak yang telah hilang, diharapkan bagian yang hilang akan tersingkap dengan penelitian, pengkajian dan ekplorasi yang terus dilakukan oleh empu Surakarta. Kajian tersebut dimaksudkan agar tahapan-tahapan keberadaan keris Surakarta dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bahwa keris merupakan warisan budaya Surakarta, yang telah berlangsung secara turun-menurun.

B.       KERIS SURAKARTA DARI MASA KE MASA

Daerah Surakarta banyak memberikan sumbangsih pada perkembangan keris, bermula keris dibuat pada kerajaan Pengging Tunjungseta di zaman Jenggala. Kemudian Kerajaan Pengging Witaradya di zaman Majapahit, Pengging Handayaningrat di zaman Mataram. Keris Sukuh dan Matesih  berkembang di zaman Majapahit, dilanjutkan keris Pajang di zaman Pajang, keris Koripan di zaman Mataram, keris  Kartasura di zaman Kartasura, dan keris Surakarta pada zaman Surakarta. Dari dulu daerah Surakarta merupakan sentra pembuatan keris yang tak pernah putus sepanjang zaman. Walau terkendala ada jeda waktu keris Surakarta pernah hilang selama 35 tahun namun kini keberadaanya terus berkembang  dengan baik dan berkesinambungan hingga saat sekarang ini.

a.      Awal Keberadaan Keris Surakarta.
Kerajaan Surakarta mengikuti alur kerajaan dimasa lalu yaitu Kerajaan Majapahit, kemudian Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Mataram memindahkan ibu kota dari Kota Gede ke Pleret, kemudian pindah lagi ke Kartasura. Setelah bedah Pacinan Kartasura ibu kotanya pindah ke Surakarta. Karena  perjanjian Gianti tahun 1755  dipecah menjadi dua yaitu: Surakarta dan Yogyakarta. Awal keris Surakarta dimulai semenjak kepindahan keraton Kartasura ke Surakarta, raja Surakarta meneruskan tradisi raja Jawa di masa lalu, selalu punya empu keris guna memenuhi berbagai keperluan dan tujuan tertentu. Raja harus mempunyai empu keris dan tangguh keris. Keris Surakarta merupakan penerus bentuk keris dari masa sebelumnya. Bentuk keris Surakarta dirintis oleh raja di Kerajaan Surakarta Sunan Pakubuwana III. [6]
Sunan Pakubuwana III dinobatkan di Surakarta, masa pemerintahannya membentuk format baru terhadap kebudayaan termasuk bentuk keris, motif batik, wanda wayang, karawian, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan agar berbeda dengan format Kartasura. Pakubuana III mengawali format keris tangguh Surakarta, meletakkan dasar bentuk keris tangguh Surakata, terlihat bentuknya berbeda dengan keris Kartasura. [7]
                                           
Duwung saking Kartasura, radi ageng pawakanya, radin­-radin semu agal pamoripun, katon angasap awak bembeng, pucukan hamucuk ebung, miwah awrat tantingira, radi kau den tingali.
Keris buatan Kartasura, agak besar bentuk badannya, kebanyakan urat pamornya agak besar/kasar, besi bertek­stur kasar, badan gemuk/bulat berujung mirip ujung rebung, bila ditimang terasa berat, keris ini secara visual mempunyai proporsi agak kaku.

Duwung zaman Surakarta, tosan alus pamoripun birahi, pawakan anggodong pohung, tur mawi ada-ada, gula milir amawi pekaan meh pucuk, pucukan ambuntut tuma, miwah ageng ingkang pesi.
Keris zaman Surakata bahan besi halus pola pamor bahan pamor berlebihan memenuhi bilah, badan mirip jari daun singkong, selalu menggunakan 'ada-ada', 'gula milir', 'pekakan' hingga kepucuk, ujungnya berbentuk mirip ekor/pantat kutu rambut, menggunakan pesi berukuran besar.

Menurut pupuh tembang itu,  keris Surakarta bentuknya sudah berbeda dengan keris Kartasura. Hal itu sebuah keharusan bahwa tiap kerajaan harus mempunyai tangguh yang berbeda dengan kerajaan lainnya.  Selain itu biasanya tiap raja juga membuat ciri tersediri pada bentuk keris di masa pemerintahannya. Saat itu Brajaguna II membuat keris yang bentuknya sangat berbeda dengan bentuk keris yang telah ada, sehingga mampu menembus tiga besar empu keris Jawa. Dalam tulisanya empu Surakarta pada saat pemerintahan Pakubuana X  meyebutkan:

“Ing sumangke dereng wonten ingkang tumitah munjuli bab hastanipun para empu ing kina sampun kaloka linumbung inggih dedamelipun kyai Supa ing Majapahit. Ingkang sampun jumeneng pangeran ing Sendang Sedayu. Dedamelipun Kyai Supa kaping II ikang salajengipun dados empu ing Mataram karan Kyai Nom. Wonten malih ing jaman Surakarta dedamelanipun kyai Brajaguna II titiganipun mila sampun mukayan kawilang linangkung dados tilar tulada dedamelanipun”. [8]
(Pada saat ini belum ada yang melebihi karya empu di zaman dahulu yang telah temasyur yaitu karya kyahi Supa dari Majapahit, kemudian bergelar pangeran di Sendang Sedayu. Karya kyai Supa II yang selanjutnya menjadi empu di Mataram bernama kyai Nom. Ada lagi di zaman Surakarta  karya kyai Brajaguna II, ketiganya sudah terbilang termasyur sehingga memberikan suri tuladan bagi empu selanjutnya).

Sepanjang sejarah hanya tiga empu pembuat karya luar biasa yaitu kyai Supa dari Majapahit, ki Nom pernah menjadi empu kodok, juga ber juluk Humnyang Pajang pada zaman Pajang, konon besalennya di daerah Lawean Surakarta. Ketiga adalah empu Brajaguna II berkarya semasa Kerajaan Surakarta, merupakan pembuat keris yang sangat termasyur. Empu Surakarta diangkat oleh raja Surakarta diberi  pangkat dan digaji menurut ketentuan yang berlaku, pada zaman dahulu empu diberi gaji tanah lungguh atau  bengkok, namun selanjutnya digaji dengan mata uang.

b.      Melimpahnya Bahan Baku.
Bekas kerajaan Surakarta mempunyai daerah yang sangat luas meliputi Madiun Kedu Magelang sampai Banyumas sangat kaya akan mineral. Lembah Bengawan Sala yang diapit tiga gunung berapi, melalui erupsi vulkanik mengeluarkan pasir besi yang kadungan besinya sangat tinggi. Selain itu Wonogiri dan pacitan hulu Bengawan Sala daerah kaya dengan berbagai jenis mineral  seperti Magnetit, Hematit, besi belerang atau pirit,  besi mangaan, dan berbagai mireal besi lainnya. Bengawan Sala pada musim tertentu dapat diambil pasir besinya. Aliran Bengawan Sala terhubung melalui beberapa anak sungai membawa pasir besi melewati Surakarta. Dipantai selatan Jawa Tengah terdapat endapan pasir besi yang melimpah mengandung besi, nikel dan titanium yang sangat baik untuk membuat pamor keris.
Pada uji coba terhadap pembuatan pamor keris dari pasir besi Cilacap, Purworerwjo, Kulonprogo, dan Bantul berhasil dibuat untuk pamor keris. Selain itu pasir besi gunung berapi juga mengandung pasir besi yang dapat ditambang pada kantong endapat vulkanik. Semua pasir besi disebut sebagai malela melalui proses peleburan  didapatkan bilet dapat untuk dijadikan bahan baku keris. Empu dimasa lalu diperkirakan mengunakan material lokal karena sulitnya transportasi dan komunikasi saat itu. Empu kesulitan mendapatkan bahan baku dari luar daerah,  karena pengadaan bahan membutuhkan waktu yang lama, sering terkendala volume, sehingga sangat menyulitkan transportasinya. Keraton Surakarta mempunyai bahan pamor yang berkualitas sangat istimewa ialah pamor meteror yang konon jatuh di daerah Prambanan  tahun 1778 sampai sekarang masih tersimpan baik di kompleks Mbandengan Keraton Surakarta.

c.       Inovasi Pembuatan Keris.
Pamor meteor ditemukan pada tahun 1778, konon jatuh di daerah Prambanan, berjumlah tiga buah. Meteor kecil dikabarkan hilang, yang tengah dipecah, meteor paling besar dinamakan Kyahi Pamor. Wirasukadga Matri Pande Kraton Surakarta dalam penjelasan di manuskripnya  pamor meteor Prambanan  dipecah 50 tahun setelah  ditemukan pada sekitar tahun 1800. Dalam tulisannya memuat secara terperinci bagaimana meteor tersebut dipecah, oleh seluruh pande kerajaan di kompleks Bandengan. Wirasukaga mendiskripsikan bagaimana pamor metor dibakar sampai pijar kemudian dipecah-dipecah, hanya mendapat bahan pamor seberat 64 kati atau 36 Kg[9]. Jenis Meteor yang dipecah berkuwalitas sangat istimewa diantara segala jenis pamor yang pernah ada. Hal itu merupakan sebuah inovasi memerlukan kajian 50 utuk menguasai teknik penempaan pamor meteor untuk dijadikan pamor keris. Selang 200 tahun kemudian inovasi juga dilakukan oleh empu Kamardikan di Surakarta mereka adalah Subandi, Yanto, Yantono, dan Daliman mampu menempa pamor meteor berasal dari daerah Gibeon, Canyon Diablo, Siberia, Australia, dan Amerika Latin.
Empu Brajaguna II membuat keris “Kontemporer” yang dibuat di masa itu  dengan format bilah tebal menggunakan bahan yang tidak umum, dari bahan besi pecahan meriam serta menggunakan ujung yang dinamakan “bungalan”. Bungalan terbuat dari bahan  baja paling keras mampu menembus hardnes (ropi logam). Keris kontemporer juga dibuat oleh dinasty Harumbinangan, membuat keris yang tidak umum, dengan ricikan banyak terkadang bentuknya aneh-aneh. Harubinang merupakan pejabat tingggi kerajaan Kartasura sampai Surakarta. Dinasti Harunbinang selalu memegang jabatan teknik konstruksi (kalau sekarang mentri PU). Dalam sebuah manuskrip Harumbinang saat pemerintahan Pakubuwana X bersama Mantri Pande Wira Sukadga mengerjakan perakitan konstruksi Jembatan baja di Bacem Sukaharjo. Hal ini membuktikan di saat itu empu tidak hanya menangani pembuatan keris saja, melainkan menangani pekerjaan logam lainnya seperti konstruksi bangunan, pagar Supit Urang. Untuk keris kontemporer 200 tahun kemudian empu Kamardikan Kamdi, menlajutkan usaha membuat keris kontemporer mengambarkan fenomena kejadian aktual yang muncul dimasyarakat untuk digambarkan pada bilah keris.
I Gromeman menulis terjadi kelangkaan bahan pamor di daerah wilayah vorstenlanden terutama daerah gubernemen, bahan pamor sudah susah dicari sehingga empu kesulitan bahan pamor. Karena kesulitan bahan baku, para empu mengunakan bahan nekel dari barang rongsokan berkualitas rendah seperti peleg sepeda. Tentunya hal ini akan berpengaruh makna pamor, sulit mepertahankan makna pamor yang dianggap mempunyai nilai lebih bila bahannya dibuat dari bahan sangat sepele rongsokan peleg sepeda. Pada manuskrip Pandameling Duwung Dijelaskan nikel industri, muncul saat pemerintahan Pakubuwana IX menginjak 20 tahun bertahta. Ada seorang tuwan atau orang Eropa menghadap raja memberikan contoh tombak yang dibuat dari bahan pamor nikel industri dari pabrik Kruup Jerman, berupa sebuah tombak mempunyai dhapur biring derajad. Tombak itu  belum sempurna, kemudian disempurnakan diberi emas dan kuningan. Mulai saat itu jenis pamor nikel industri kemudian biasa, digunakan sebagai pamor keris oleh empu Surakarta.[10] Kami dan Empu Subandi mencoba teori penjebakan titanium untuk pamor keris, juga pamor erupsi vulkanik merapi. Selain itu akan dibuat Pasir besi Bengawan Solo, selanjutnya akan menyisir pantai selatan Jawa, Bali sampai Lombok untuk eksplorasi dan inovasi pembuatan bahan  keris. Hal ini penting  untuk menjawab  keluhan Empu Kerajaan Surakarta yang sangat menyesalkan mengapa para empu sebelumnya tidak melestarikan bahan pelikan Jawi, malah menggunakan bahan dari besi dan baja dari Eropa, sehingga ilmu tentang bahan pelikan Jawi telah hilang pada saat itu.

C.      HILANGNYA EMPU KRATON SURAKARTA.

GP Rouffaer dalam keterangannya tentang vorstenlanden, artinya adalah tanah raja-raja. Tanah itu merupakan hak apanage atau sering disebut sebagai tanah lungguh.  Para raja Jawa terikat pada perjanjian Giyanti mengenai ketentuan wilayah, raja memiliki hak zelfbestuur, telah ditentukan dalam perjanjian. Atas tanah itu, raja mempunyai hak otonomi memerintah dalam batas wilayah yang telah ditetapkan. Diawal abad  ke XVIV  raja-raja saat itu sangat membutuhkan pemasukan dana agar dapat menjalankan pemerintahannya secara baik. Kemudian raja-raja mengambil kebijakan terhadap semua tanah “lungguh” atau tanah apanage yang dimilikinya, semula dikelola nayaka, abdi dalem, dan para bangsawan, kemudian ditarik dikembalikan kepada raja sebagai pemilik tanah kemudian dikontrakkan pada swasta. Akibatnya rakyat yang dulunya menggarap sawah tanah lungguh  bangsawan dan nayaka praja, kemudian hanya menjadi kuli perkebunan.
 Sebagian tanah raja dikelola sendiri untuk pabrik gula, teh, kopi, karet, hasilnya dapat sebagai pemasukan untuk kas keraton. Sebagai gantinya para pegawai abdi dalem, nayaka dan bangsawan digaji dengan uang. Keadaan ekonomi masa pemerintahan Pakubuwana IX dan Pakubuwana X  relatif baik, karena punya pemasukan cukup besar hasil dari penyewaan tanah perkebunan. Pendapatan yang cukup didukung oleh tingginya harga komoditas, teh, gula, kopi diwaktu itu, sehingga dapat memerintah dengan baik. Keadaan itu berubah total setelah terjadinya Perang Dunia I, dampak perang dunia mengakibatkan  negara besar tak mempunyai penghasilan yang cukup memadai. Mereka mempunyai jumlah utang yang sangat besar, banyak negara terancam kebangkrutan sehingga terjadi resesi ekonomi dunia ditahun 1929.[11]  Kemudian  efeknya berimbas beberapa tahun kemudian ke Jawa dinamakan zaman Malaise.  Tahun 1935, resesi terjadi berimbas terhadap nilai jual komoditi perkebuanan di Jawa. Harga komoditi perkebunan mengalami kejatuhan sangat tajam, perkebuanan merugi bahkan banyak yang mengalami kebrangkrutan.  mengakibatkan semakin memburuknya perekonomian di Jawa. Pada puncak resesi ekonomi Sunan Pakubuwana ke X wafat pada tanggal 20 Februari tahun 1939, kemudian digantikan oleh Sunan Pakubuwana ke XI. Setidaknya keadaan resesi ekonomi berimbas pada pemerintahan Sunan Pakubuwana XI, saat itu pemerintahan mengalami kesulitan finansial akibat dampak resesi ekonomi. Karena krisis keuangan Pakubuwana XI mengambil kebijakan dengan mengadakan penghematan besar-besaran pada pengeluaran keuangannya. Untuk dapat bertahan Pakubuwana XI untuk penghematan merampingkan semua kegiatan yang dianggap kurang penting, kegiatan yang membutuhkan dana besar dipangkasnya. Pemangkasan dilakukan termasuk kebiasaan raja Jawa pendahulunya, seperti upacara peninjauan daerah, menyerderhanakan iring-iringan raja dan bangsawan. Pemangkasan itu termasuk penghilangan kebiasaan mengangkat empu di Keraton Surakarta, mengakibatkan tak ada lagi empu keris di masa pemerintahan Pakubuwana XI.
Pemerintahannya saat itu banyak mengalami masalah kekurangan finansial sehingga tidak mempunyai dana untuk menjalankan kebiasaan raja-raja untuk mengangkat empu keris pada pemerintahannya. Selain itu para keturunan empu sudah jauh berbeda tidak melanjutkan kegiatan ayahnya, penghilangan pemengangkatan para empu keris bukan dilandasi masalah mistis, namun berdasarkan teknis material.[12] Tak banyak diketahui apa dasar pertimbangan sesungguhnya Pakubuana IX memutuskan tidak mengangkat empu yang sangat penting bagi keraton, sebagai pendukung utama regalia raja Jawa  di masa lalu.  Keadaan ini diperparah pada masa penjajahan Jepang, situasi ekonomi dan politik di masa penjajahan Jepang tak memberikan angin pertumbuhan bagi pembuatan keris di masyarakat Surakarta.
Kesulitan ekonomi di zaman Jepang, disusul oleh perang kemerdekaan, dan adanya agresi militer Belanda ke I dan II sangat berpengaruh terhadap kehancuran ekonomi Surakarta. Di saat kemerdekaan kepemilikan tanah tak lagi ada pada raja melainkan beralih ke rakyat dilaksanakan melalui undang-undang agraria. Keraton Surakarta tidak mempunyai tanah-tanah apagnage lagi, penguasaan lahan pertanahan tidak berpusat pada kepemilikan tanah apanage melainkan telah dimiliki rakyat dengan dilaksanakan landreform. Keadaan ini sangat menyulitkan Keraton Surakarta, bersamaan dengan itu, diambil alih pula perusahaan-perusahaan yang dimiki oleh Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Perusahaan-perusahaan itu kemudian di nasionalisasi oleh pemerintahan Repubik Indonesia,  menyebabkan keadaan finasial keraton sangat surut. Keraton sudah tak mempunyai pendapatan dari tanahnya, tak punya kendali lagi terhadap politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya.
Kaum bangsawan dan saudagar semula merupakan patron terjaganya kelangsungan hidup dari kesenian, telah kehilangan sumber utama keuangannya akibat krisis berkepajangan. Masyarakat sulit untuk bekerja, bertani atau berdagang, di masa pendudukan Jepang sampai masa akhir perang kemerdekaan. Keadaan itu membuat kemerosotan kehidupan masyarakat mempunyai daya belinya sangat rendah pada situasi ekonomi yang paling buruk. Empu keris membuat produk yang berharga mahal itu sulit mendapatkan pesanan, sehingga tak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Keadaan itu membuat para empu menjadi sulit berkarya, sehingga mereka tak mampu mengadakan regenerasi, akibatnya empu kemudian hilang dari masyarakat Surakarta.[13]



D.     KEMUNCULAN KEMBALI KERIS SURAKARTA.

Empu Surakarta setelah mangkatnya Pakubuwana X kebanyakan sudah cukup berumur  saat itu sehingga praktis setelah akhir tahun empat puluhan satu persatu meninggal dunia. Hilangnya empu Surakarta sangat berpengaruh juga pada kelestarian tempa pamor. Ilmu tempa keris hanya berkembang dikalangan empu dan keluarganya, intinya pengetehuan tersebut merupakan kawruh sinengker atau ilmu sangat dirahasiakan hanya berkembang dalam lingkup sendiri. Sepeninggal empu Surakarta praktis ilmu tempa keris hilang, berbagai ilmu tentang perkerisan juga tidak diturunkan kepada anak cucu penerusnya.

1.      Lahirnya Organisasi Pecinta Keris
Di awal abad ke XX organisasi modern yang tumbuh di masyarakat merupakan kekuatan baru untuk memperjuangkan bidang politik, ekonomi dan budaya. Dulunya organisasi moderen tidak dikenal pada struktur feodal aristokrat sebelum abad ke XX. Kultur Komite dibentuk merupakan organisasi yang bergerak dalam pelestarian kebudayaan, beraktifitas secara rutin di tahun duapuluhan sampai tiga puluhan. Organisasi itu selalu mengadakan pertemuan membicarakan masalah kebudayaan di museum Radya Pustaka Surakarta. Pada pertemuannya mengupas masalah kebudayaan Jawa[14] Kultur Komite terdiri berbagai kalangan baik orang pribumi maupun orang Belanda. Organisasi itu sangat berguna banyak memberikan dasar-dasar tumbuhnya organisasi kebudayaan serupa di Surakarta dikemudian hari[15].
Tahun lima puluhan setelah keadaan politik dan ekonomi Indonesia sudah mulai stabil, masyarakat Surakarta kembali menata diri dalam bidang kebudayaan dan kesenian. Hilangnya empu keris membuat masyarakat pecinta keris mencoba mengorganisir diri dengan membentuk organisasi formal sebagai wadah organisasi budaya seperti kultur komite. Organisasi pecita keris berdiri pada tahun 1952 memperjuangkan tujuannya guna melestarikan pengetahuan dan pelestarian keris di Surakarta, dengan nama Paguyuban Bawarasa Tosan Aji. Paguyuban itu didirikan oleh beberapa orang mantan anggota kultur komite, anggotanya dari kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian dengan kelangsungan perkembangan keris di Surakarta. Bawarasa Tosan Aji merupakan organisasi yang berkecimpung dalam bidang kajian tentang keris, dipimpin oleh Pangeran Sumodiningrat, RMA Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwijaya. Anggotanya terdiri dari kalangan pecinta keris dari Keraton Surakarta, para saudagar dan masyarakat umum.[16] Paguyuban Bawarasa Tosan Aji dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, pertemuan dilakukan setiap bulan di rumah para anggota dari berbagai kalangan.
 Kegiatan tersebut berlangsung sampai pada pertengahan tahun enampuluhan. Sayangnya setelah situasi politik memanas setelah meletusnya G 30 S PKI tahun 1965, Bawarasa Tosan Aji menghentikan kegiatanya karena situasi tak lagi kondusif. Hal ini disebabkan oleh situasi pasca G 30 S tahun 1965, Surakarta berada di bawah kekuasaan Panglima Penguasa Perang. Pada situasi itu menerapkan jam malam dan membatasi orang berkumpul dan berserikat. Orang yang akan melakukan pertemuan di siang hari, melebihi jumlah lima orang harus ada izin khusus dari Penguasa Perang. Situasi politik saat itu tidak memberikan peluang untuk mengadakan pertemuan rutin untuk membicarakan keris kemudian organisasi itu beku. Kebekuan ini berlangsung cukup lama sampai pada tahun 1970, cita-cita semula sebagai awal dari kemunculan kembali empu keris di Surakarta kenyataanya terhenti di tengah jalan, karena situasi dan kondisi politik pada saat itu.

2.      Perintisan Besalen PKJT Sasana Mulya.
S.D Humardani ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah atau PKJT, Sasono Mulya Surakarta, berkeinginan menghidupkan kembali pembuatan keris. Ia memandang bahwa keris dan tosan aji dianggap sebagai pusaka, yang menjadi salah satu adeg-adeking budaya Jawa,  artinya tosan aji dianggap sebagai salah satu pilar penyangga utama dari kebudayaan Jawa. Sampai sekarang ini budaya tersebut masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat Surakarta. Pusaka juga dianggap ngleluri adeg-adeking omah atau dapat diartikan merupakan spirit dari berdirinya kehidupan rumah tangga, sampai pada pendukung utama terhadap tegaknya sebuah keraton. Hal ini ditengarai di bulan Sura bagi masyarakat Jawa terutama di Surakarta, menjadikan bulan Sura untuk menghormati pusaka, serta bulan yang digunakan untuk merawat pusaka. Bulan Sura juga dijadikan sebagai ruang gladi ngelmu kehidupan yang sudah dipunyainya, atau gladi ngelmu yang baru. Ngelmu atau ilmu pengetahuan itu diartikan sebagai teknis lahir batin, lewat sebuah pengalaman  ataupun konsep-konsep yang lahir dari sebuah manekung atau dijalani lewat laku. Jadi sebuah hal yang sifatnya konsep itu lahir dari sebuah proses, ngelmu atau ilmu dipandang dari proses sebuah laku proses perjalanan karya.[17]
Pada akhir tahun enampuluhan S.D Humardani menimba ilmu dari pakar tosan aji yang masih ada di Surakarta, setelah menguasai konsep estetika keris dan berbagai persoalan yang menyebapkan madeknya organisasi pecinta keris, ia berkehendak memunculkannya kembali organisasi tersebut. Pada tahun 1971 ia mencoba menghidupkan kembali Bawa Rasa Tosan Aji di PKJT Sasono Mulyo Surakarta. Organisasi pecinta keris itu kemudian dibentuk dan kemudian beraktifitas di PKJT Sasono Mulya setiap bulan, dinamakan juga Bawarasa Tosan Aji. Organisasi itu diketuai oleh KRT Hardjonagoro, dengan koordinator K.R.A Sukatno Purwoprojo. Sedang anggautanya adalah para ahli keris Seperti RT Gunandar Sumopuro, Matang Sadoyo, Yudo Prawiro, Yudo Sutrisno, Rng Projo Curigo, Ki Suparman Supowijoyo,  Hadi Kasman, Suprapto Suryodarmo, dan lain-lainnya dengan anggauta berjumlah  anggota 152 orang. [18] Waktu itu juga dicoba untuk membuat keris, walau telah dilakukan berbagai usaha yang dipinpin oleh Hadikasman belum berhasil untuk membuat keris. Kemudian organisasi itu pecah menjadi dua yaitu Bawarasa tosan Aji dan Bawarasa Paniti Kadga anggautanya terpecah menjadi dua.

3.       Kembalinya Pande Keris
Dietrich Drescher seorang pelaut warganegara Jerman di tahun 1962 kapalnya bersandar di Surabaya. Seperti biasanya memerlukan waktu yang lama untuk bongkar muat, pelaut yang berlabuh biasanya bepergian untuk mengunjungi restoran. Di saat itu rumah makan yang terkenal enak adalah Rumah Makan OEN di Tunjungan Surabaya. Pada saat menikmati ice cream yang terkenal lezat itu, ia ditawari sebilah keris oleh seorang pedagang asongan di depan restoran. Pedagang itu meminta harga Rp 100,- dengan iseng ia menawar Rp 70,- kemudian diberikan kemudian membayarnya. Saat perjalanan pulang ke Eropa ia kagum pada keris yang dibelinya karena terdapat guratan pola pamornya, sehingga ia sangat tertarik. Pada kesempatan lain ia pergi ke museum Basel di Switzerland utara dengan naik kereta api dari Jerman untuk melihat koleksi lengkap keris Jawa di sana. Kemudian di setiap waktu ia merencanakan rute pelayaranya untuk selalu singgah di Ansterdam, kemudian pergi ke Leiden dan Roterdam. Di perpustakaan kota tersebut ia membaca referensi tentang kebudayaan Indonesia. Di awal tahun tujuhpuluhan, ia selalu merencanakan pelayarnya untuk singgah ke Semarang atau Surabaya, liburannya dihabiskan mengujungi kota Solo, Yogya dan Surabaya, untuk menemui pakar keris Selain itu ia mencari tahu keturunan empu yang masih dapat diajak untuk membangkitkan pembuatan keris yang telahlama hilang. Dia mencoba menghubungi keturunan empu di Solo yang mau untuk diajak membuat keris lagi, namun usahanya tak berhasil.
Gagal mencari di Surakarta, kemudian mencari keturunan empu di Yogyakarta ia pergi mencari ke daerah Godean Yogyakarta. Niatnya berhasil kemudian bertemu dengan seseorang yang bernama Yasa merupakan keturunan empu Supo Winagun merupakan empu di masa pemerintahan HB VII. Saat itu  Yasa sudah tak membuat keris, melainkan hanya membuat alat pertanian. Oleh Dietrich Drescher diajak membuat keris kembali, semula mereka ragu karena setelah puluhan tahun tahu tak membuat keris, tapi akhirnya menyanggupinya. Dengan bekal logam nikel dari Jerman yang cukup untuk membuat 30 keris, selama tiga bulan ia berguru pada Yasa dirumahnya dipinggiran kali Progo. Dengan berbagai usaha kemudian berhasil membuat sebuah keris. Karena sudah lama tak menempa dan membuat keris, bentuknya agak kurang baik. Setelah selesai pembuatan, satu keris baru itu dibawa ke Solo, kemudian di tunjukkan pada KRT Hardjonagoro.
Saat itu Dietrich Drescher berhasil sebagai penanda untuk pertamakalinya usaha untuk menghidupkan kembali pembuatan keris Jawa yang telah 35 tahun hilang. Langkah ini memunculnya semangat akan munculnya empu baru dalam situasi dan kondisi berbeda dari empu Keraton Surakarta. Keberhasilannya membuat keris itu merupakan awal kebangkitan kembali tempa pamor yang telah hilang selama 35 tahun dari masyarakat Surakarta.

4.      Munculnya Besalen Sasana Mulya
Keberhasilan Dietrich Drescher keinginan menghidupkan kembali pembuatan keris yang telah hilang dari Surakarta mendapat peluang untuk menjadi kenyataan. Kemunculan kembali empu Surakarta tak berlangsung bersamaan, beberapa tokoh telah melakukan percobaan secara pribadi kemudian berhasil membuat keris. Pada tahun 1978 Suprapto Suryodarmo mulai melibatkan diri kegiatan tosan aji kemudian S.D Humardani memberikan perintah pada Suprapto Suryodarmo, sebagai sekertaris ASKI Surakarta diwaktu itu, untuk mencari seseorang yang mau belajar untuk membuat keris. Ia mendapatkannya berasal dari kampung Kenthingan bernama Subandi, kemudian dikirim untuk belajar membuat keris di tempat empu Yasa. Sebagai tindak lanjutnya, maka dibuatkan besalen di sebelah timur kantor PKJT Sasonomulyo. Dirasa tidak mungkin dapat berkarya sendirian maka Subandi perlu dicarikan kawan guna bersama-sama menempa keris. Selain itu tak baik bila kemampuan pembuatan keris itu hanya dibebankan pada seorang, S.D Humardani kemudian menyuruh mencarikan orang lagi, untuk belajar menempa keris. Suprapto Suryodarmo kemudian mendapatkan Yantono, Yanto dan Daliman. Usaha untuk menempa keris kemudian direalisasikan dengan membangun besalen di Sasana Mulya yang dipimpin oleh Suprapto Suryadarmo. Dari besalen tersebut kemudian dapat melahirkan empu muda yang terus tumbuh mengembangkan diri dalam pembuatan keris. Dari besalen Sasana Mulya mampu melahirkan empu muda Surakarta bernama Subandi, Yantono, Yanto, dan Daliman. Sedang Taman Budaya Surakarta yang dipimpin oleh Murtijono melahirkan empu Triyono Widodo. Selain itu, kelompok masyarakat berusaha mengadakan percobaan-percobaan untuk membuat keris secara mandiri. Ki Suparman koordinator dari Bawarasa Paniti Kadga, telah lama mencoba meneliti tentang pembuatan keris dari manuskrip. Atas usahanya kemudian ki Suparman di awal tahun delapanpuluhan berhasil membuat keris dari besalen di kampung Komplang Surakarta. Ia merupakan empu yang berasal dari paguyuban Bawarasa Paniti Kadga. Selain itu Fausan Puspasukadga juga mengawali pembuatan keris dari percobaan melalui besalen di kampung Yosoroto. Bawa rasa Tosan Aji memunculkan KRA. Harjosuwarno kemudian berhasil  membuat keris dari besalen Keratonan dirumah Panembahan Harjonegoro.
 Keberhasilan itu kemudian menjadi awal sebagai topik untuk dijadikan sebuah pembicaraan oleh S.D Humardani, Suprapto Suryodarmo dan Sugeng Tukio, Bagyo Suharyono untuk pengembangan ke depan, tentang bagaimana pusaka atau tosan aji, menjadi sebuah kekuatan bagi Jurusan Seni Rupa di ASKI yang akan dirancang pembentukannya disaat itu. Untuk mengawalinya kemudian dibentuk Bengkel Kerja Seni Rupa,  merupakan awal dari pembentukan muatan materi seni tradisi di Jurusan Seni Rupa ASKI Surakarta. Kegiatan tersebut mengajarkan tentang pembuatan tosan aji, wayang beber, tatah sungging dan lukis kaca. Ketiganya di canangkan sebagai materi unggulan untuk persiapan pembentukan jurusan Seni Rupa ASKI Surakarta.  Kegiatan itu merupakan bibit kawit atau awal permulaan dari lahirnya Jurusan Seni rupa ASKI Surakarta yang sekarang menjadi Jurusan Seni Rupa ISI Surakarta, lewat dibentuknya Bengkel Kerja Seni Rupa. [19] Sampai sekarang keempat empu tersebut masih berkaya. Dibukanya Jurusan Keris dan Senjata Tradisional Institut Seni Indonesia Surakarta terbuka peluang untuk mengkajian keris secara menyeluruh berdasarkan penelitian ilmiah. Hal ini akan membuka cakrawala baru tentang pemahaman pembuatan keris berdasarkan konsep teknik tempa pamor untuk mengembangkan keris yang lebih konperhenship.

E.     KESIMPULAN.

Dari rangkuman diatas menunjukkan bahwa keris Surakarta telah berkembang semenjak kerajaan Pengging di zaman Jenggala sampai sekarang ini. Budaya keris tetap terjalin dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Surakarta, budaya keris tak pernah terpisah dari masyarakat Surakarta. Keris dianggap dianggap ngleluri adeg-adeking omah atau dapat diartikan merupakan spirit dari berdirinya kehidupan rumah tangga. sebagai salah satu pilar penyangga utama dari kebudayaan Jawa, sokoguru terhadap tegaknya sebuah keraton.
Walaupun sekarang ini, teknologi dan alat semakin moderen teknologi pembuatan keris dimasa lalu banyak yang belum terungkap. Perkembangan keris mengalami pasang surut terus berkembang karena inovasi dapat dilakukan terus-menerus oleh masyarakat Surakarta. Untuk itu perlu diadakan kajian guna menyingkap hal yang selama ini hilang terutama ilmu bahan, teknik-tenik pembuatan keris yang telah lama hilang. Untuk itu dapat ditarik kesimpulan perlunya ada semacam wadah bagi pembelajaran tentang keris di Surakarta. Bahwa budaya keris merupakan bagian yang menyatu di kehidupan masyarakat Surakarta sampai sekarang ini perlu wadah berupa sebuah sebuah museum keris. Sangatlah sayang bagaimana perjuangan empu dan inovator di masa lalu, sekarang ini tak diberi wadah agar masyarakat dapat menikmati keindahan karya-karya mereka. Utuk itu memunculkan permasalahan sebagai berikut:

1.         Mengingat sampai sekarang ini tidak ada wadah yang dapat melihat perkembangan keris sehingga penting dibangun museun keris, digunakan untuk pemajangan dan penyimpanan artifak keris dari masa lalu sampai sekarang ini.
2.         Visualisasi dan peragaan, disertai dengan penjelasan asal keris, bahan, teknik pembuatan, yang sangat perlu untuk membangun pengertian tentang makna keris, baik keris lama pada umumnya dan keris Surakarta khususnya melalui kajian ilmiah.
3.         Museum keris harus dikawal oleh kelompok kurator sesuai dengan undang undang, memenuhi unsur terukur, valid, current, sufficient, dan authentic.
4.         Museum keris dapat menjadi wadah kajian, penelitian, eksplorasi, konservasi, restorasi, informasi, oleh ahli keris yang mempunyai sertifikat kompetensi profesi.
5.         Perlunya museum keris dapat memayungi semua kegiatan perkerisan di Surakarta baik pendidikan pendidikan, pengembangan, pembelajaran, berdasarkan ranah kaidah ilmu pengetahuan dan teknolgi pembuatannya.
6.         Moseum akan menjadi wadah atau pasar pengrajin lengkapan keris, untuk melakukan unjuk kerja hasil kerajunaanya guna memenuhi permintaan masyarakat secara luas.
7.         Menarik minat orang terhadap keris, sehingga akan menunjang kunjungan kepariwisataan di Surakarta.


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2006.   Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya SastraYogyakarta: Kepel Perss.
Amangkunegara III. K.G.P.A, 1985.  Serat Centhini jilid II  Yasan dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara III (Ingkang Sinuwun  Paku Buana V) Disalin sesuai dengan aslinya oleh Kamajaya, Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Arumbinang, Haryono.1996.  “Perbedaan komposisi logam dalam priodenisasi keris”. Makalah Seminar Bentara budaya  21-28 Agustus 1996.
Buchwald,  F.Vagn. 1968 . Hand Book of Iron Metheorites. Volume 3 Center for Meteorite studies Arizona State University. California.
Bulbeck F, David. 2000. “ Preliminary Results from the 1998-1999 Field Season in Luwu (Origin of Complex Society in South sulawesi). Dept. of Archeology and Anthropology, Australian National University Bidang prasejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jurnal Ilmiah
Burhan M, Agus. 2006.   Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer. Kenangan purna bakti  untuk Prof. Sudarso sp, MA, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Caldwell,  Ian. 1991 Power, State an Society Among the Pre-Islamic Bugis. The Centre for South-Eas Asian Studies : University of Hull Hu6 7RX U.K. Jurnal ilmiah. www. kitlv.nl
Garret, and  Bronwen Solyom. 1978 .   The World  of  The Javanese Keris.  An exhibition at the East-West Culture Learning Institute, Honolulu: East West Center Honolulu Hawai.
Graham, Bevan A.I   A.W.R and R. Hutchison 1985 .“Catalogue of Meteorites”.  British Museum (Natural History).
Groneman I. 1910  Etnografis. 1910. www. kitlv.nl.
Groneman, Isaac 1910. “Wat er van de Pamor Smeetkunst worden zal” De Locomotief    9 Juli 1910.
Groneman, Isaac. 1904. “Nikkel Pamor”. Weekblad vor Indie no 24.
Groneman, Isaac. 1904. “Pamor –Loewoe en Nog Wat”. Weekblad vor Indie no 42.
Groneman, Isaac. 1910. “ Keris Jawa”. (Der Kris Der Javaner), Alih bahasa Jerman ke bahasa Indonesia oleh Staley Hendrawijaya.
Haryono, Timbul. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Solo: ISI Press.
Kaplan, David. Robert A. Manners, 1999. Teori Budaya. Pengantar P.M. Laksono Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. 2003. “Lari  Dari Kenyataan Raja, Priyayi, Wong cilik Biasa di Kasunanan Surakarta 1900-1915”. Humaniora volume XV No 2/2003   Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Publikasi Fakultas Ilmu Budaya Gajah Mada.
Laeyendecker. 1983.  Tata, Perubahan dan Ketimpangan  Satu Pengatar Sejarah Sosiologis. Jakarta:  PT Gramedia.
Larson, Gorge D. 1990.    Masa Menjelang Revolosi Kraton dan Kehidupan Politik di  Surakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Majalah : Jawa Baroe edisi  3 Februari 2605
Majalah : Jawa Baroe edisi  edisi 11, 2604-6-1
Majalah : Pawarti Keraton Surakarta, bulan November 1939
No name. 1953. Panangguhing Duwung. Surakarta: Toko Buku “Sadu Budi”.
No Name. 1980,   Babad Tanah Jawi. Alih aksara Sudibjo Z.H  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta  :Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
No Name. 1981. Babad Pacina. Ringkasan Wirasmi Abimanyu, alih aksara oleh Mulyono Sastronaryatmo, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
No Name. TTH.    “Kawruh Empu”.
No Name. TTH.    “Paniti Kadga”.
No Name. TTH.   “Pandameling Duwung.
No Name.1981 Babad Kartasura.  Alih bahasa oleh Mulyono Sastronaryatmo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
Padmo, Soegijanto. 2007. Sejarah Kota dan Ekonomi  Perkebunan”. Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, 11-12 April 2007.
Pradjaduta, Mas Ngabei. 1939. Sri Radya Leksana. Surakarta: Budi Utama. Alih aksara oleh Soesanto SA. Seksi kebudayaan Kapendikbut Kotamadya Surakarta.
Pringgodigdo, Mohammat Husodo. 1983. “Saduran dari Vorstenlanden” karangan GP Rouffaer. Adatrecht-Bundels tahun 1931 jilid XXXXV. Martinus Nijhoff Gravenhage.
Rouffaer, G.P. 1989.  “Praja Kejawen” (Vorstenlanden), Terjemahan oleh Suharjo Hatmosuprobo. Yogyakarta: Text Book tidak dipubli­kasikan.
Suratman, Darsiti, 1989. Kehidupan  Dunia Keraton Surakarta. Yogyakarta: Taman Siswa.
Sutrisno, Muji dan Hendar Putranto, 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Ulbe, Bosma, 2007.  “The Cultivation System (1830-1870) and its private entrepreneurs on colonial Java”. Journal of Southeast Asian Studies Cambridge University Press.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Winter, F.L 1871.   Hal Keris. Dimelajuken oleh R. Soedjonorejo 1937. Kediri : Boekhandel Tan Koen Swei jalan Dhoho no 147.
Winter, F.L. 1871. Serat Pratelanipun Dhapur Duwung. Kekecap ing Surakarta Wonten ing Pangecapipun Tuwan P.F Purnemen ing tahun 1871. (Dicetak di Surakarta pada percetakannya tuan P.F Purnemen tahun 1871).
Woerjaningrat,  KRMH, TTH. “Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta Setelah Proklamasi Kemerdekaan”.  Rekso Pustoko Mangkunegaran.
Yampolsky, Philip. 2006. Perjalanan Kesenian Indonesia Semenjak Kemerdekaan, Jakarta: Equinox  Publishing.
Yasper, end Mas Pirngadi,  1924 . De Inlandsce Kunstnij verheidGrovenhage : Van  Regeeringswege Gedruke en Uit   Gegeven Te  Grovenhage. Kunst drukkery Moton & Co.





[1] Bundel ceramah Bawarasa Paniti kadga
[2] Seratipun Kanjeng Raden Adipati Sasranagara Dumateng Tuwan-tuwan Hingkang Dados Komisi
   (bundel katalog pameran di Negeri Belanda November 1882)
[3]  F. David Bulbeck, 2000. Jurnal ilmiah “ Preliminary Results from the 1998-1999 Field Season in Luwu (Origin of Complex Society in South sulawesi). Dept. of Archaeology and Anthropology, Australian National University.
[4] Lihat “ Bab Pandameling Duwung”. Hal  10
[5] Wawancara dengan Bambang cucu Empu Singowijoyo.
[6]  Menurut  KRT Gunadar Sumopuro Raja di Jawa  mempunyai  hak  istimewa seperti menghukum  mati, sinewoka, mempunyai  prajurit segelar sepapan, beringin kurung, memelihara gajah  termasuk mempunyai tangguh keris, masih banyak hak lain lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Yang mempunyai  tangguh Surakarta  hanya Kasunanan  karena bergelar Raja,  sedang Mangkunegaran tidak mempunyai tangguh keris karena hanya setingkat Adipati Anom.
[7] Ki Suparman Supowijoyo melanjutkan pupuh tembang serat Centhini karena pada Serat Centhini hanya sampai  tangguh Mataram. Meskipun Tulisan tersebut disusun saat Surakarta,  namun ceritanya Mas Cebolang bertemu dengan Ki Nom dialun-alun Mataram, minta pemahaman tentang tangguh keris, sehingga tak mungkin memasukkan tangguh kartasura dan Surakarta.
[8]  Lihat  manuskrip “Pandameling Duwung”. Hal 76
[9] Manuskrip Pamecahing kyai Pamor Wira Sukadga Mantri Pande.
[10] “Pandameling Duwung” Hal 12
[11] Pawarti Surakarta  tanggal 1 bulan Suro 1939 hal 4-5
[12] Wawancara dengan Panembahan Hardjonegoro.
[13] Wawancara dengan Bambang menyatakan bahwa empu Singawijaya setelah PB X tak membuat lagi pesanan keris untuk raja Surakarta
[14] Kultur Komite diketuai Pangeran Adipati Ario Praboe Prangwedono (erevoorzitter), S. Koperberg (secretaris).       Tweede rij v.l.n.r.: Dr. Satiman Wirjosandjojo, Z. Stokvis, D. van Hinloopen Labberton, dr. Tjipto Mangoenkoesomo, J. Rottier, A. Mühlenfeld, R.M.S. Soeriokoesoemo.
[15] Wawancara dengan KRA Sukatno Purwoprojo.

[17]Wawancara dengan Suprapto Suryodarmo. Budayawan, mantan Sekertaris ASKI Surakarta.
[18] Wawancara dengan  KRA .Sukatno Purwoprojo. Koordinator Bawarasa tosan Aji
[19] Wawancara dengan Prapto Suryodarmo


5 komentar:

  1. bagus dan sangat membantu saya...
    kunjungi blog saya juga kebakkawruh.blogspot.com

    BalasHapus
  2. mas sumber pandemeling dhuwung dari mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. dari almarhumayah saya Drs. Bagyo Suharyono M.Hum.yang melakukan wawancara langsung kpda para Mranggen ( Mranggi) pembuat warangka keris,

      Hapus
    2. Untuk manuskrip Pandameling Duwung , silahkan main saja ke Perpustakaan Karaton Mangkunegaran Surakarta.

      Hapus