KANJENG KYAI CAKRA
(Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro 1815)
Tiga
pusaka peninggalan sang pangeran terpasang di bilik paling pojok, ruang pamer
utama gedung Galeri Nasional. Semua dinding di bilik ini, berlapis kain hitam.
Kyai Rondhan, tombak kesayangan pageran, membujur di sisi kanan. Seberangnya,
pelana yang dulu selalu menempel di punggung Kyai Gentayu, kuda sang pangeran.
Dan di poros, berdiri tongkat Kanjeng Kyai Cakra. Magis. Ditambah, sebaran
bunga melati di sekitar tiga pusaka peninggalan tadi.
“Inilah jantung utama pameran ini,” ujar Peter
Carey.
Selama
181 tahun, tongkat Kyai Cakra berdiam di negeri Belanda. Sepi. Padahal, selama
dalam genggaman Diponegoro, tongkat ini selalu membantunya berjalan mengunjungi
tempat-tempat suci, jauh sebelum Perang Jawa meletus. Sekira sepuluh tahun
sebelum Diponegoro kraman, sekira tahun 1815, Diponegoro menerima tongkat ini
dari seorang rakyat biasa. Tongkat ini berbentuk bulan setengah lingkaran atau
cakra. Simbol cakra ini, melekat dalam memori sang pangeran. Cakra adalah
senjata khas dewa Wisnu. pada inkarnasi Wisnu ketujuh, ia tergambar sebagai
penguasa dunia yang menggengam cakra. Ini tentu bersilang-kait dengan
kedatangan Ratu Adil atau Erucakra. Diponegoro sendiri memakai gelar ini, saat
awal Perang Jawa pecah. Bahkan panji pasukannya pun menggunakan simbol cakra dengan
panah menyilang.
Sejak
didapatnya tahun 1815 sampai hampir berakhir Perang Jawa, tongkat ini -selain
tombak Kyai Rondhan dan keris Naga Siluman-, selalu menemaninya. Pada
pertempuran bulan Agustus 1829, tongkat ini jatuh ke tangan cucu Nyi Ageng Serang,
komandan perempuan dalam legiun Diponegoro, yang bernama Raden Mas Papak,
julukan yang disematkan karena jari tengah di tangan kirinya sama rata. Raden
Mas Papak ini kemudian dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo -yang masih
trah sunan Kalijaga-, dan kemudian menjadi sekutu utama Belanda dalam menumpas
Diponegoro. Tahun 1830 Perang Jawa berakhir. Pengikut Diponegoro berhamburan,
menyebar kemana-mana. Mereka bertahan dengan sandi rahasia. Barang-barang
pusaka sang pangeran pun tak jelas rimbanya.
Empat
tahun setelah perang Jawa berakhir. Pada musim kemarau 1834, Jean Cretien Baud,
gubernur jenderal periode 1833-1834, melakukan inspeksi pertamanya di Jawa
Tengah. Dalam sebuah kesempatan, ia ditemui oleh Noto Prodjo. Pada saat itulah,
tongkat sang pangeran berpindah tangan. Sejak itu, tongkat ini disimpan oleh
anak keturunan Baud. Siapakah Baud ini? Jean Cretien Baud adalah segelintir
gubernur jenderal yang memiliki pertalian erat dengan darah jajahannya, dalam
hal ini Jawa. Baud terlahir tahun 1789, dan memiliki darah Swiss. Baud muda
bergabung dengan angkatan laut Belanda. 25 April 1811, ia berhasil ke Jawa
dengan menumpang kapal fregat perancis, La Meduse (lukisan karya Theodore
Gericault berjudul Radeau de la Meduse).
Pada
tahun itu juga ia mundur dari ketentaraan dan bergabung dengan pemerintahan
sipil Gubernur jenderal Jan Willem Jansens. Baud pun tak pelak terlibat perang
dengan Inggris kala mereka akan menguasai Jawa. Jenjang kariernya meroket.
Diawali sebagai sekretaris jenderal (1819-1821; Direktur Urusan Hindia Timur
(1824-1829); Gubernur Jenderal (1833-1834); terakhir Menteri Urusan Negara
Kolonial (1840-1848). Tahun 1848, ia mengundurkan diri sebagai menteri. Ia pun
diberi gelar ningrat oleh Raja Willem III, sebagai Baron Baud. Baud tak dapat
lupa akan Jawa. Sekira 1851, ia mendirikan Koninklijk Instituut (institut untuk
Antropologi dan Linguistik). Hal yang paling monumental adalah usahanya
membantu Raden Saleh, seniman muda dari Jawa, untuk belajar di Eropa dalam
kurun 1830 sampai 1851. Raden Saleh pun tak lupa kulit. Sekira tahun 1831, ia
melukis keluarga besar Baud.
Sekira bulan Agustus 2014, negeri Belanda. Michiel dan Erica Baud dihubungi seorang ahli dari Rijksmuseum, bernama Harm Stevens, yang memberitahunya tentang asal-usul tongkat tersebut. Setelah diteliti keasliannya, para ahli menyepakati bahwa tongkat itu adalah Kanjeng Kyai Cakra. Di dalam cakram pelindung dari kayu, diujung tongkat, terdapat secarik kertas yang kemungkinan ditulis sendiri oleh J.C Baud.
“Deze staf, Tjokro genaamd, heeft toebehoord aan Prins Diepo Negoro een is in Juli 1834 door Pangerang Noto Prodjo aan J.C Baud, gouverneur Generaal van Ned. Indie gegeven. De staf is afkomstig van de Sultans van Demak en werd door Diepo Negoro gedragen telk ens wanner hij als pelgrim naar heilige plaatsen ging om zegen af te bidden op zijne ondernemingen”.
– (Tongkat ini, yang diberi nama Tjokro, pernah dimiliki oleh Pangeran Diponegoro dan pada bulan Juli 1834, tongkat ini diberikan oleh Pangeran Noto Prodjo kepada J.C Baud, Gubernur Jenderal Sultan Demak dan selalu dibawa oleh Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan ziarah ke makam-makam suci untuk memohon agar segala kekuatannya diberkati). Mereka pun, keluarga Baud, bersepakat mengembalikannya kepada pemerintah Indonesia.
“Leluhur kami menerima tongkat ini sebagai
hadiah dalam sebuah periode yang bergejolak akibat adanya persaingan politik
dan hubungan kekuasaaan kolonial,” ujar Michiel Baud.
Akhirnya,
Februari 2015, saat hujan mengguyur Jakarta, pusaka sang pangeran kembali ke
tanah leluhurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar