Babad
Alas Wonosadi,
Gunung
Gambar dan Gunung Tutup Gunungkidul
Dalam riwayat dikenal
dengan istilah : “Bubaran Majapahit” atau "Sirna Ilang Kertaning
Bumi" pada rahun 1400 Saka, Raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya
memerintahkan kepada pengikutnya agar membentuk kelompok-kelompok untuk
menyelematkan diri dari prahara di istana Trowulan dan mencari tempat yang
cocok untuk bermukim. Sebagian dari rombongan tersebut bergerak kearah barat
daerah gunung Lawu kemudian kearah pantai selatan dan menyebar kebarat di
sekitaran Pegunungan Sewu. Tersebutlah serombongan “pelarian Majapahit’ yang
dipimpin oleh seorang wanita bernama Rororesmi dengan dua orang anaknya yang bernama
Onggoloco dan Gadingmas.
Rororesmi adalah salah
seorang isteri selir Prabu Brawijaya dan kedua orang putranya tersebut
merupakan senopati perang Majapahit yang terkenal tangguh. Kelompok tersebut
terpisah dengan kelompok lainnya, berbulan – bulan mereka menuju kearah barat
sesuai petunjuk gaib yang diterimanya. Sampailah mereka pada suatu kawasan
hutan yang sangat luas dan lebat dan dikenal sebagai hutan yang angker dihuni
banyak mahkluk halus. Hutan tersebut membentang pada lereng perbukitan yang
miring ke selatan yang dikenal dengan nama Hutan Wonosandi artinya hutan yang
penuh rahasia. Lama kelamaan nama tesebut berubah menjadi hutan “Wonosadi”
sampai sekarang.
Di dalam hutan keramat
ini bersemayamlah seorang Raja Jin yang bernama Gadung Melati yang yang
berwujud se-ekor macan putih yang ganas. Mengetahui ada jin menghalangi
niatnya, Pangeran Onggoloco dan Gadingmas bertarung melawan Gadung Melati.
Tetapi kesaktian keduanya tidak bisa di tandingi oleh Jin Gadung melati beserta
seluruh anak buahnya, sampai akhirnya Jin Gadung Melati mengaku kalah dan
mempersilahkan kedua Pangeran Majapahit tersebut menempati kawasan di sekitar
hutan Wanasadi. Sebagai gantinya, Jin Gadung Melati memohon kepada Pangeran
Onggoloco agar ia tidak di usir, namun di perkenankan bersemayam di dalam
sebyah sumber mata air di hutan alas Wonasadi. Karena dianggap tidak menjadi
persoalan, maka Jin Gadung Melati di perkenankan menetap di dalam sumber mata
air.
Permintan tersebut
dikabulkan dengan imbal balik bahwa Gadung Melati dengan seluruh anak buahnya
tidak boleh mengganggu kehidupan masyarakat sekitar hutan dan diharuskan ikut
melestarikan hutan tersebut. Itulah sebabnya hutan tersebut menjadi angker
sampai sekarang dan oleh penduduk dianggap hutan keramat. Tak satu pun warga
hingga kini berani mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka di hutan
Wonosadi. Pohon-pohon yang mati tersambar petir saja tidak akan ditebang dan
dibiarkan menjadi humus. Warga Wonosadi percaya hutan itu merupakan warisan
sekaligus titipan dari nenek moyang.
Setelah tidak ada
gangguan, maka pembukaan hutanpun berjalan dengan lancar dan terbentuklah
pemukiman baru yang sekarang bernama Dusun Duren Desa Beji Ngawen. Untuk
menandakan terbentuknya pemukiman baru, maka dibuatlah prasasti dengan menanam
pohon Mangga yang kala itu sudah langka. Pohon mangga tersebut ditanam di
tempat pembabatan hutan pertama kali yang diberi nama Kaliendek. Tak berselang
lama, banyak pendatang baru dan mendiami tempat ini, sehingga dalam kurun waktu
kira-kira 10 tahun terbentuklah dusun-dusun baru Dusun Tungkluk, Duren, Serut,
Beji, Ngelo, Sidorejo Suru dan dusun induk yaitu Dusun Ngawen. Sawah-sawah
mulai menghijau membentang di selatan hutan Wonosadi, dari arah barat ke timur.
Kehidupan masyarakat serba kecukupan aman tentram sangat jarang terjadi
gangguan.
Sejalan dengan
perjalanan sejarah kerajaan di Jawa, dengan berakhirnya kerajaan Demak yang
kemudian pemerintahan bergeser ke kerajaan Pajang dengan rajanya bergelar Sultan
Hadiwijaya (Joko Tingkir).Pada masa yang sama pula, di kawasan hutan Wonosadi
terbentuk sebuah Kademangan baru yang bepusat di Dusun Ngawen sehingga
Kademangan tersebut bernama Kademangan Ngawen yang dipimpin oleh Ki Kertiboyo.
Ki Onggoloco beserta
para murid dan sahabatnya sangat mendukung berdirinya kademangan baru ini yang
dipimpin oleh Ki Kertiboyo seorang punggawa Majapahit yang mengawal ibundanya
Rororesmi sampai ke Wonosadi. Untuk memperkuat kademangan baru tersebut maka Ki
Onggoloco dan Gadingmas membuka perguruan olah kanuragan yang berpusat di
dataran yang rata cukup luas di tenhah hutan Wonosadi yang bernama “Lembah
Ngenuman”. Di situlah Ki Ongoloco dan Gadingmas mendirikan padepokan untuk
mendidik para pemuda di bidang olah kanuragan dan olah kebatinan. Padepokan ini
mempunyai banyak murid atas bantuan Ki Demang Kertiboyo, banyak pemuda yang
berguru kepada Ki Onggoloco dan Gadingmas yang akhirnya menjadi bebahu
(pejabat) di Kademangan, banyak juga yang menjadi prajurit di Kerajaan Pajang.
Perguruan ini tetap berjalan hingga Ki Onggoloco dan Gadingmas berusia lanjut. Begitu
banyaknya murid Ki Onggoloco dan Gadingmas yang sudah sukses maka kedua tokoh
tersebut mengadakan pertemuan akbar setahun sekali untuk mengumpulkan seluruh
murid-muridnya, anak cucunya beserta masyarat sekitar untuk berkumpul di Lembah
Ngenuman.
Pada pertemuan akbar
ini banyak kegiatan yang dilakukan contohnya kangen-kangenan, wejang-wejangan
serta pendadaran murid-murid dan mantan murid juga pentas seni Rinding Gumbeng
yang diakhiri dengan Kembul Bujono (Makan Bersama). Peristiwa ini berjalan
setiap tahun dengan ketentuan dilaksanakan sehabis panen sawah dan pada hari
Senin Legi atau Kamis Legi.
Seni Musik yang populer
waktu itu adalah Rinding Gumbeng dimana alat-alatnya semua terbuat dari bambu,
mudah dibuat oleh siapa saja dan mudah dimainkan dengan cara ditiup dan
dipukul. Hingga kini musik Rinding Gumbeng tersebut masih dilestarikan oleh
masyarakat terutama penduduk dusun Duren desa Beji Ngawen.
Ketika usia kedua tokoh
tersebut (Ki Onggoloco dan Ki Gadingmas) sudah benar-benar tua, sudah waktunya
untuk “membersihkan diri” guna mencapai tataran hidup yang sempurna untuk
menjemput ajal yang akan datang. Diputuskan oleh kedua tokoh tersebut untuk
berpisah guna melakukan “Tapa Brata” untuk mensucikan diri lahir batin. Ki
Onggoloco memilih tetap tinggal di lembah Ngenuman dan Ki Gadingmas memutuskan
untuk bertapa di puncak gunung Gambar. Terkait gunung Gambar sebagaimana
dituturkan oleh juru kunci Gunung Gambar, Mbah Supodo, dulunya kawasan ini
bernama Alas Gempol yang di jadikan lokasi pelarian sekaligus pertapaan dan
pamoksan Ki Ageng Gading Mas.
Kala itu Ki Ageng
Gading Mas meminta kepada pengikutnya untuk mengiriminya makanan tiap 3 hari
sekali, kemudian berubah menjadi 7 hari sekali, 40 hari sekali, dan yang
terakhir adalah setahun sekali. Berabad-abad kemudian, tradisi mengirimkan
persembahan suci (srada) setahun sekali kepada Ki Ageng Gading Mas yang moksa
di Gunung Gambar tetap hidup lestari dan dikenal dengan istilah Sadranan. Perubahan
nama dari Alas Gempol menjadi Gunung Gambar terjadi pada masa hidup Raden Mas
Said sekitar abad ke - 17. Pangeran Samber Nyawa hendak meneruskan perjuangan
melawan penjajah. Pergilah ia ke Gunung Gambar. Dirinya hendak meminta bantuan
Ki Demang Singodikoro.
Kedatangan Pangeran
Samber Nyawa ke tempat yang dahulu bernama Gempol ini bermula atas perasaan
sakit hatinya kepada penjajah Belanda. Belanda telah menculik Pangeran Arya
Mangkunegara dan mengasingkannya hingga wafat. Setelah sampai di Ngawen di
tempat Ki Demang Singdikoro,Pangeran Samber Nyawa diminta untuk bersedia
bertapa di sebuah gua kecil di bukit yang dahulu merupakan tempat Padepokan dan
Pamoksan Ki Gading Mas/Ki Ageng Panutan. Untuk selanjutnya Pangeran Samber Nyawa
bersedia mengikuti petunjuk dari “Ki Demang Singodikoro” untuk bertapa di goa
yang terletak di bukit pada gunung tersebut.
Konon pada suatu malam,
di puncak gunung batu tersebut sang pangeran mendapatkan wahyu berupa gambaran
strategi yang sebaiknya beliau gunakan saat berperang. Hingga saat ini di
puncak Gunung Gambar terdapat Batu Kong yang konon menjadi tempat duduk
Pangeran Sambernyowo. Di batu ini juga terdapat jejak tangan dan kaki Pangeran
Samber Nyawa. Setelah mendapat wahyu,
kemudian Pangeran Samber Nyawa menggambar calon daerah “Mangkunegaran” yang
akan dipakai sebagai Pusat Kerajaan dan jalan/rute perang untuk mengusir
penjajah kumpeni Belanda dari Pulau Jawa. Untuk mengenang tempat tersebut,
kemudian oleh Pangeran Samber Nyawa diberi nama “Gunung Gambar”.
Pangeran Samber Nyawa
bernama asli Raden Mas Said, kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya
Mangkunagara I (7 April 1725-28 Desember 1795). Beliau dilahirkan di Keraton
Kartosuro pada hari minggu legi tanggal 4 Ruwah tahun Jumakir 1650 AJ, Windu
Adi Wuku Ari Agung atau tanggal 7 April tahun 1725.
Ayahnya bernama Kanjeng
Pangeran Arya Mangkunegoro yang dibuang oleh Belanda ke Srilangka (Ceylon).
Ibunya bernama R.A Wulan, puteri Pangeran Blitar. Pembuanngan kanjeng
Mangkunegoro disebabkan oleh fitnah yang dikarang oleh Kanjeng Ratu dan Patih
Danurejo, dua orang wali raja Pakubuwono II karena raja (masih berumur 16
tahun). Dalam fitnah itu ia dikatakan
telah berzinah dengan seorang selir PB II (yakni Mas Ayu Larasati). Pada
mulanya ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diubah menjadi hukuman buang.
Peristiwa ini terjadi ketika putranya, R.M Said masih berumur 2 tahun.
Menjelang berumur 14
tahun, Raden Mas Said diangkat menjadi Mantri Gandek Keraton Kartasuro atas
kehendak PB II, dengan nama R.M. Ng Suryo Kusumo. Untuk jabatan ini ia
memperoleh tanah lungguh sebesar 50 jung. Adik-adiknya, Raden Rambia bergelar
R. M. Ng. Martokusumo dan R. M. Sabar bergelar R. M. Ng Wirakusumo. Mereka
mendapat tanah lungguh masing-masing seluas 25 jung.
Raden Mas Sabar saudara
Pangeran Samber Nyawa yang bergelar Wira Kusuma / Mangku Kusuma / Narakusura
yang merasa tidak bisa menetap di Surakarta dan berpandangan sama dengan
kakaknya Pangeran Samber Nyawa mengembara ke Ponjong dan menjadi penguasa di
Pati, Genjahan sebelum Bupati Pontjodirdjo.
Makam Eyang Wira
Kusuma/Mangku Kusuma ada di atas Gunung Tutup, pedukuhan Gedaren desa
Sumbergiri Ponjong. Diatas bukit ini, beliau menutup diri dari kejaran pasukan
Hindia Belanda kala itu supaya tidak ada orang yang tahu bahwa beliau
bersembunyi di bukit tersebut sehingga disebut Gunung Tutup. Sementara itu, untuk menghadapi tentara
Belanda Pangeran Samber Nyawa di Gunung Gambar membentuk pasukan Bregodho
Kawandoso Joyo yang terdiri dari 40 orang prajurit pilihan ( jawa : Kawan ndoso
= 40 ) yang kesemuanya parajurit berkuda dan semuanya diberi nama depan “ Djojo
“ , misalnya ; Djojo Kusumo, Djojo
nagoro, Djojo sudirgo dll yang dipimpin oleh Manggala Yudha Raden Ngabehi Djoyo
Wikromo.
Beliau merupakan Saudara muda Dari Demang Jiwo Yudo ( Demang Gempol =
Demang Ngawen ) .mereka berdua adalah putra dari Wongso Sapto Yuda atau Eyang
Carik yaitu seorang penasehat kerajaan dari Demak yang pertama kali datang
membawa ajaran Islam ke Kademangan Ngawen dan memperistri putri Ki Kertiboyo.
Mereka berdua mendapat
amanah dari ayahandanya Eyang Carik untuk menjadi pengasuh serta pengajar dari
R.M. Sa’id yang pada saat itu di sembunyikan di wilayah Gunungkidul. Awalnya
R.M. Sa’id di Gunung Payung , Perbukitan sebelah selatan daerah Wedi, kemudian
karena masih dirasa kurang aman maka bergeser ke daerah sebelah timur. Tepatnya
adalah di Dusun Gempol, sebuah dusun di selatan Gunung Gambar. Pada waktu itu
yang menjadi Demang ( Kamitua ) adalah Demang Jiwo Yuda . Disebut Kademangan
Gempol karena disitu Kebanyakan penduduknya memelihara kuda ( Gempol artinya
Kotoran kuda ) sehingga di sepanjang jalan di setiap dusun berbau kotoran kuda.
Said yang masih anak-anak mulailah diasuh oleh Ki Demang Jiwo Yudo . dalam masa
itulah mulai diajari berbagai ilmu . baik lahir dan batin, terutama ilmu
keprajuritan karena Demang Jiwo Yudo adalah keturunan Prajurit berkuda dari
Majapahit.
Setelah sampai masa
remaja (kira-kira umur 15 tahun) pegemblengan ilmu keprajuritan dilanjutkan
oleh adik demang Jiwo Yuda yang bernama Jiwo Wikromo sehingga kelak akan
menjelma menjadi Pasukan Brogodo Kawan
Ndoso Joyo yang Tersohor sebagai pasukan Berkuda pangeran Samber Nyawa
yang selalu ditakuti oleh pihak lawan khususnya tentara VOC Belanda.
Ki Jiwo Wikromo / Ki
Djoyo Wikromo Saudara muda Dari Demang Jiwo Yudo ( Demang Gempol = Demang
Ngawen ) itulah kemudian diangkat menjadi senopati perang pasukan berkuda
Prajurit Pangeran Samber Nyawa yang terkenal dengan semboyannya “Tiji Tibeh“
( Mukti siji Mukti kabeh Mati siji Mati Kabeh ).
Diantara
Punggawa Pasukan Brogodo Kawan Ndoso
Joyo yang tersohor adalah:
1. Mas Ngabei Djoyo
Wikromo Gunung Wijil, Kampung Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta menggantikan sang
kakak Mas Ngabei Jiwo Yudo.
2. Kyai Wirodiwongso /
Kyai Tumenggung Kudonowarso di Mantenan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri
3. Raden Sutowijoyo /
Kyai Ngabei Ronggo Panambang di Randhusongo, Tasikmadu, Karanganyar
4. Kyai Ngabei
Joyosantiko Cabean, Kaling, Tasikmadu, Karanganyar
5. Kyai Ngabei
Joyorencono Karang, Kaling, Tasikmadu, Karanganyar
6. Kyai Ngabei
Joyopuspito Ngendon Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Boyolali
7. Kyai Ngabei
Joyohutomo Ngendon Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Bayolali
8. Raden Ngabei
Joyosentono Mungup, Sawit, Boyolali
9. Raden Ngabei
Joyomursito Krisikan, Simo, Boyolali
10. Kyai Ngabei
Joyowidento Troketon, Karangasem, Solo
11. Kyai Ngabei
Joyosuwahyo Potromulyo, Wetan Kaliwungu, Kendal, Waleri, Semarang
12. Kyai Ngabei
Joyoprabowo Gunung Wijil, Prambanan, Klaten
13. Kyai Ngabei
Joyoyudo Gombong, Kadipiro, Solo
14. Kyai Ngabei
Joyotilarso Krisikan, Simo, Boyolali
15. Kyai Ngabei
Joyoleyangan Sentonogede, Matesih, Karanganyar
16. Kyai Ngabei
Joyosemito Ngendo Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Boyolali
17. Kyai Ngabei
Joyodipuro Tunggul, Manyaran, Wuryantoro, Wonogiri
18. Kyai Ngabei
Joyosumarto Sukomerto, Kepatihan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri
19. Kyai Somarasemita /
Joyosudarso Sidowayah, Polanharjo, Klaten
20. Kyai Surengpati
Sepuh / Joyopanamur Sentono Gede, Matesih, Karanganyar
21. Kyai Surojoyo /
Joyopamenang Kedungdowo, Matesih, Karanganyar
22. Kyai Surowongso /
Joyopanantang Punthuk Engkuk, Kalibanteng, Sendang Griyo, Selogiri, Wonogiri
23. Kyai Condro Tanoyo
/ Joyopawiro Katah, Singodutan, Selogiri, Wonogiri
24. Kyai Surengpati
Enem / Joyopawiro Geger, Manyaran, Wonogiri
25. Kyai Citrodiwongso
/ Joyopangrawit Girimaloyo, Wuryantoro, Wonogiri
26. Kyai Surogerjito /
Joyohulatan Kedungdowo, Plosorejo, Matesih, Karanganyar
27. Mas Demang
Poncowigeno / Joyo Alap –alap Brengosan, Purwosari, Solo
Yang menyusul kemudian
:
1. Kyai Kartomanggolo,
Bulusari, Slogohimo
2. Kyai Taliwangsul,
Tromo, Jamuran, Girimarto, Wonogiri
3. Kyai Gunowijoyo,
Ganoman, Gunung Malang, Matesih, Karanganyar
4. Kyai Singodiwongso,
Randusongo, Tasikmadu, Karanganyar
5. Kyai Kartolesono,
Bendungan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri
6. Kyai Setroketu,
Hastana Bibis Luhur, Solo
7. Kyai Jemparing,
Mayang, Kidul Tilas Kraton, Kartasura
8. Kyai Gagakeri,
Ngrusah, Manyaran
9. Kyai Gagakpranowo,
Kadipiro, Sendangtirto, Brebah, Sleman
10. Kyai Gagakrejo,
Sendhang Lanang, Wonogiri
11. Kyai Gonobahu,
Jetak, Bendungan, Nglaroh, Wonogiri
12. Raden Mangunrejo
13. Raden Hendropanitis
Kelompok Khusus :
1. Raden Ayu Kusumonarso,
Garwo Sn. Amangkurat IV, Nenek Pangeran Sambernyawa, Makam di Kebloan
2. Raden Ayu Kusumo
Matah Ali, Garwo Sepuh Pangeran Sambernyawa, Putri Kyai Kasan Nuriman, Makam di
Gunung Wijil Selogiri Wonogiri
3. Kyai Kasan Nuriman,
Guru dan Mertua Pangeran Sambernyawa, Makam di Karang Tengah Selogiri
4. Nyai Emban, Emban
Pangeran Sambernyawa, Makam di Desa Tumanggul Jatipuro Karanganyar
5. Gamel (Pemelihara
Kuda) Pangeran Sambernyawa, Makam di Desa Gempolan Jatiyoso Karanganyar.
Kisah Pangeran
Sambernyawa di medan perang tak kurang dari 16 tahun. Dari tahun 1741 hingga
1757 setidaknya ada 250 kali pertempuran yang dijalaninya. Baik melawan Belanda
maupun pasukan gabungan. Dari kemampuannya inilah, RM Said mendapat julukan
Pangeran Samber Nyawa dari Gubernur VOC Nicolass Hartingh. Julukan itu
diberikan setelah dia berhasil mengalahkan pasukan VOC yang dipimpin oleh
Kapten Van Der Poll, dan bahkan memenggal kepala sang kapten.
Diantara 250
pertempuran, setidaknya ada tiga pertempuran besar yang dilakoni Pangeran Samber
Nyawa dan pasukannya dalam periode itu.
Pertama, di Desa
Kasatriyan dekat Ponorogo pada 1752 menghadapi pasukan gabungan VOC, Kasunanan
Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam Babad Lelampahan, seperti dikutip
dari Sambernyawa Menggugat Indonesia (2011) yang disusun Soerjo Soedibjo
Mangkoehadiningrat, menyebut, dari pihak
Said hanya kehilangan nyawa 3 orang, sedangkan 29 orang lainnya luka-luka. Dari
kubu musuh, sebanyak 600 orang tewas (hlm. 12).
Kedua, pasukan Pangeran
Samber Nyawa berhasil mengalahkan tentara VOC pimpinan Kapten van der Pol di
hutan Sitakepyak, selatan Rembang, pada 1756. Ribuan prajurit bantuan yang
dikirimkan HB I dari Yogyakarta juga dapat dipukul mundur. Kapten Pol bahkan tewas,
kepalanya ditebas oleh Pangeran Samber Nyawa.
Puncak perjuangan
Pangeran Samber Nyawa terjadi saat dia menyerang Yogyakarta, dan mengacak-acak
benteng VOC serta keraton. Kemampuan berperangnya yang luar biasa, membuat dia
dan pasukannya bisa dengan mudah masuk me dalam keraton. Dan hal ini tentu saja
membuat Sultan Hamengku Buwono murka. Sultan lantas membuat sayembara dengan
hadiah uang sebesar 500 real dan jabatan bupati kepada siapa saja yang berhasil
menangkap Said. VOC bahkan siap memberikan uang sebesar 1.000 bagi siapa saja
yang mampu menangkap Pangwran Samber Nyawa.
Lantaran tidak ada
seorang pun yang mampu menunaikan sayembara tersebut, VOC mendesak kepada PB
III dan HB I untuk membujuk Said melakukan perundingan. Pangeran Samber Nyawa
ternyata bersedia. Maka digelarlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757
(Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, 1996:
46). Kasultanan Yogyakarta PB III
memperlakukan Samber Nyawa dengan sangat baik dalam pertemuan itu, begitu pula utusan
HB I maupun VOC. Hasil Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 inilah yang
mengakhiri pertikaian antar trah Mataram di tanah Jawa. Samber Nyawa
mendapatkan konsesi berupa wilayah khusus yang akan dipimpinnya.
Sejak saat itulah
muncul kerajaan ke-3, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang hidup berdampingan
dengan Kasunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta. Pergerakan Raden Mas
Said alias Pangeran Sambernyawa, yang menggelari dirinya dengan Mangkunegara I, akhirnya bisa ditenangkan. Setelah
Masa RM Sa’id menjadi Adipati di Mangkunegaran, maka R. Ng. Djoyo Wikromo pensiun sebagai Senopati Prajurit Bregodo
Patang Ndoso Djojo. Beliau tidak mau tinggal di kalangan istana kerajaan
Mangkunegaran dan memilih untuk pulang ke daerah asalnya Yaitu ke Gunungkidul,
hidup sebagai rakyat biasa, bertani di
menjelang hari-hari tuanya.
Ng. Djojo Wikromo Diberi daerah Kekuasaan di Kademangan Gempol Wilayah Gunungkidul sebagai tanah Lungguh , yang saat itu wilayah tersebut sudah berubah nama menjadi Kademangan Ngawen. Beliau Membuat rumah di sekitar mata air alam (sumur alam) yang tidak pernah kering airnya walaupun kemarau panjang . yang kelak dusun tersebut bernama Dusun Gudang di desa Kampung Ngawen. Setelah meninggal dunia R. Ng. Djojo Wikromo di semayamkan di Gunung Wijil (Pemakaman sebelah barat Dusun Gudang). Bukit kecil berupa Gundukan tanah seluas 1 hektar disebelah barat mata air yang berbatu hitam . satu-satunya bukit ( Walau kecil ) yang berbatu hitam, diantara bukit –bukit kapur sebagai ciri kas bukit- bukit di wilayah Ngawen. Adapun makam Pangeran Samber Nyawa berada di Astana Mangadeg yang berada di salah satu bukit tertinggi di lereng gunung Lawu Matesih Karanganyar Jawa Tengah.
Diambil dari sejarah
lokal dusun-dusun di kecamatan Ngawen, Ponjong dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar