Minggu, 14 Januari 2024

Babad Alas Wonosadi, Gunung Gambar dan Gunung Tutup Gunungkidul

Babad Alas Wonosadi,

Gunung Gambar dan Gunung Tutup Gunungkidul

 

Dalam riwayat dikenal dengan istilah : “Bubaran Majapahit” atau "Sirna Ilang Kertaning Bumi" pada rahun 1400 Saka, Raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya memerintahkan kepada pengikutnya agar membentuk kelompok-kelompok untuk menyelematkan diri dari prahara di istana Trowulan dan mencari tempat yang cocok untuk bermukim. Sebagian dari rombongan tersebut bergerak kearah barat daerah gunung Lawu kemudian kearah pantai selatan dan menyebar kebarat di sekitaran Pegunungan Sewu. Tersebutlah serombongan “pelarian Majapahit’ yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Rororesmi dengan dua orang anaknya yang bernama Onggoloco dan Gadingmas.

Rororesmi adalah salah seorang isteri selir Prabu Brawijaya dan kedua orang putranya tersebut merupakan senopati perang Majapahit yang terkenal tangguh. Kelompok tersebut terpisah dengan kelompok lainnya, berbulan – bulan mereka menuju kearah barat sesuai petunjuk gaib yang diterimanya. Sampailah mereka pada suatu kawasan hutan yang sangat luas dan lebat dan dikenal sebagai hutan yang angker dihuni banyak mahkluk halus. Hutan tersebut membentang pada lereng perbukitan yang miring ke selatan yang dikenal dengan nama Hutan Wonosandi artinya hutan yang penuh rahasia. Lama kelamaan nama tesebut berubah menjadi hutan “Wonosadi” sampai sekarang.

Di dalam hutan keramat ini bersemayamlah seorang Raja Jin yang bernama Gadung Melati yang yang berwujud se-ekor macan putih yang ganas. Mengetahui ada jin menghalangi niatnya, Pangeran Onggoloco dan Gadingmas bertarung melawan Gadung Melati. Tetapi kesaktian keduanya tidak bisa di tandingi oleh Jin Gadung melati beserta seluruh anak buahnya, sampai akhirnya Jin Gadung Melati mengaku kalah dan mempersilahkan kedua Pangeran Majapahit tersebut menempati kawasan di sekitar hutan Wanasadi. Sebagai gantinya, Jin Gadung Melati memohon kepada Pangeran Onggoloco agar ia tidak di usir, namun di perkenankan bersemayam di dalam sebyah sumber mata air di hutan alas Wonasadi. Karena dianggap tidak menjadi persoalan, maka Jin Gadung Melati di perkenankan menetap di dalam sumber mata air.

Permintan tersebut dikabulkan dengan imbal balik bahwa Gadung Melati dengan seluruh anak buahnya tidak boleh mengganggu kehidupan masyarakat sekitar hutan dan diharuskan ikut melestarikan hutan tersebut. Itulah sebabnya hutan tersebut menjadi angker sampai sekarang dan oleh penduduk dianggap hutan keramat. Tak satu pun warga hingga kini berani mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka di hutan Wonosadi. Pohon-pohon yang mati tersambar petir saja tidak akan ditebang dan dibiarkan menjadi humus. Warga Wonosadi percaya hutan itu merupakan warisan sekaligus titipan dari nenek moyang.

Setelah tidak ada gangguan, maka pembukaan hutanpun berjalan dengan lancar dan terbentuklah pemukiman baru yang sekarang bernama Dusun Duren Desa Beji Ngawen. Untuk menandakan terbentuknya pemukiman baru, maka dibuatlah prasasti dengan menanam pohon Mangga yang kala itu sudah langka. Pohon mangga tersebut ditanam di tempat pembabatan hutan pertama kali yang diberi nama Kaliendek. Tak berselang lama, banyak pendatang baru dan mendiami tempat ini, sehingga dalam kurun waktu kira-kira 10 tahun terbentuklah dusun-dusun baru Dusun Tungkluk, Duren, Serut, Beji, Ngelo, Sidorejo Suru dan dusun induk yaitu Dusun Ngawen. Sawah-sawah mulai menghijau membentang di selatan hutan Wonosadi, dari arah barat ke timur. Kehidupan masyarakat serba kecukupan aman tentram sangat jarang terjadi gangguan.

Sejalan dengan perjalanan sejarah kerajaan di Jawa, dengan berakhirnya kerajaan Demak yang kemudian pemerintahan bergeser ke kerajaan Pajang dengan rajanya bergelar Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir).Pada masa yang sama pula, di kawasan hutan Wonosadi terbentuk sebuah Kademangan baru yang bepusat di Dusun Ngawen sehingga Kademangan tersebut bernama Kademangan Ngawen yang dipimpin oleh Ki Kertiboyo.

Ki Onggoloco beserta para murid dan sahabatnya sangat mendukung berdirinya kademangan baru ini yang dipimpin oleh Ki Kertiboyo seorang punggawa Majapahit yang mengawal ibundanya Rororesmi sampai ke Wonosadi. Untuk memperkuat kademangan baru tersebut maka Ki Onggoloco dan Gadingmas membuka perguruan olah kanuragan yang berpusat di dataran yang rata cukup luas di tenhah hutan Wonosadi yang bernama “Lembah Ngenuman”. Di situlah Ki Ongoloco dan Gadingmas mendirikan padepokan untuk mendidik para pemuda di bidang olah kanuragan dan olah kebatinan. Padepokan ini mempunyai banyak murid atas bantuan Ki Demang Kertiboyo, banyak pemuda yang berguru kepada Ki Onggoloco dan Gadingmas yang akhirnya menjadi bebahu (pejabat) di Kademangan, banyak juga yang menjadi prajurit di Kerajaan Pajang. Perguruan ini tetap berjalan hingga Ki Onggoloco dan Gadingmas berusia lanjut. Begitu banyaknya murid Ki Onggoloco dan Gadingmas yang sudah sukses maka kedua tokoh tersebut mengadakan pertemuan akbar setahun sekali untuk mengumpulkan seluruh murid-muridnya, anak cucunya beserta masyarat sekitar untuk berkumpul di Lembah Ngenuman.

Pada pertemuan akbar ini banyak kegiatan yang dilakukan contohnya kangen-kangenan, wejang-wejangan serta pendadaran murid-murid dan mantan murid juga pentas seni Rinding Gumbeng yang diakhiri dengan Kembul Bujono (Makan Bersama). Peristiwa ini berjalan setiap tahun dengan ketentuan dilaksanakan sehabis panen sawah dan pada hari Senin Legi atau Kamis Legi.

Seni Musik yang populer waktu itu adalah Rinding Gumbeng dimana alat-alatnya semua terbuat dari bambu, mudah dibuat oleh siapa saja dan mudah dimainkan dengan cara ditiup dan dipukul. Hingga kini musik Rinding Gumbeng tersebut masih dilestarikan oleh masyarakat terutama penduduk dusun Duren desa Beji Ngawen.

Ketika usia kedua tokoh tersebut (Ki Onggoloco dan Ki Gadingmas) sudah benar-benar tua, sudah waktunya untuk “membersihkan diri” guna mencapai tataran hidup yang sempurna untuk menjemput ajal yang akan datang. Diputuskan oleh kedua tokoh tersebut untuk berpisah guna melakukan “Tapa Brata” untuk mensucikan diri lahir batin. Ki Onggoloco memilih tetap tinggal di lembah Ngenuman dan Ki Gadingmas memutuskan untuk bertapa di puncak gunung Gambar. Terkait gunung Gambar sebagaimana dituturkan oleh juru kunci Gunung Gambar, Mbah Supodo, dulunya kawasan ini bernama Alas Gempol yang di jadikan lokasi pelarian sekaligus pertapaan dan pamoksan Ki Ageng Gading Mas.

Kala itu Ki Ageng Gading Mas meminta kepada pengikutnya untuk mengiriminya makanan tiap 3 hari sekali, kemudian berubah menjadi 7 hari sekali, 40 hari sekali, dan yang terakhir adalah setahun sekali. Berabad-abad kemudian, tradisi mengirimkan persembahan suci (srada) setahun sekali kepada Ki Ageng Gading Mas yang moksa di Gunung Gambar tetap hidup lestari dan dikenal dengan istilah Sadranan. Perubahan nama dari Alas Gempol menjadi Gunung Gambar terjadi pada masa hidup Raden Mas Said sekitar abad ke - 17. Pangeran Samber Nyawa hendak meneruskan perjuangan melawan penjajah. Pergilah ia ke Gunung Gambar. Dirinya hendak meminta bantuan Ki Demang Singodikoro.

Kedatangan Pangeran Samber Nyawa ke tempat yang dahulu bernama Gempol ini bermula atas perasaan sakit hatinya kepada penjajah Belanda. Belanda telah menculik Pangeran Arya Mangkunegara dan mengasingkannya hingga wafat. Setelah sampai di Ngawen di tempat Ki Demang Singdikoro,Pangeran Samber Nyawa diminta untuk bersedia bertapa di sebuah gua kecil di bukit yang dahulu merupakan tempat Padepokan dan Pamoksan Ki Gading Mas/Ki Ageng Panutan. Untuk selanjutnya Pangeran Samber Nyawa bersedia mengikuti petunjuk dari “Ki Demang Singodikoro” untuk bertapa di goa yang terletak di bukit pada gunung tersebut.

Konon pada suatu malam, di puncak gunung batu tersebut sang pangeran mendapatkan wahyu berupa gambaran strategi yang sebaiknya beliau gunakan saat berperang. Hingga saat ini di puncak Gunung Gambar terdapat Batu Kong yang konon menjadi tempat duduk Pangeran Sambernyowo. Di batu ini juga terdapat jejak tangan dan kaki Pangeran Samber Nyawa.  Setelah mendapat wahyu, kemudian Pangeran Samber Nyawa menggambar calon daerah “Mangkunegaran” yang akan dipakai sebagai Pusat Kerajaan dan jalan/rute perang untuk mengusir penjajah kumpeni Belanda dari Pulau Jawa. Untuk mengenang tempat tersebut, kemudian oleh Pangeran Samber Nyawa diberi nama “Gunung Gambar”.

Pangeran Samber Nyawa bernama asli Raden Mas Said, kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunagara I (7 April 1725-28 Desember 1795). Beliau dilahirkan di Keraton Kartosuro pada hari minggu legi tanggal 4 Ruwah tahun Jumakir 1650 AJ, Windu Adi Wuku Ari Agung atau tanggal 7 April tahun 1725.

Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegoro yang dibuang oleh Belanda ke Srilangka (Ceylon). Ibunya bernama R.A Wulan, puteri Pangeran Blitar. Pembuanngan kanjeng Mangkunegoro disebabkan oleh fitnah yang dikarang oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo, dua orang wali raja Pakubuwono II karena raja (masih berumur 16 tahun).  Dalam fitnah itu ia dikatakan telah berzinah dengan seorang selir PB II (yakni Mas Ayu Larasati). Pada mulanya ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diubah menjadi hukuman buang. Peristiwa ini terjadi ketika putranya, R.M Said masih berumur 2 tahun.

Menjelang berumur 14 tahun, Raden Mas Said diangkat menjadi Mantri Gandek Keraton Kartasuro atas kehendak PB II, dengan nama R.M. Ng Suryo Kusumo. Untuk jabatan ini ia memperoleh tanah lungguh sebesar 50 jung. Adik-adiknya, Raden Rambia bergelar R. M. Ng. Martokusumo dan R. M. Sabar bergelar R. M. Ng Wirakusumo. Mereka mendapat tanah lungguh masing-masing seluas 25 jung.

Raden Mas Sabar saudara Pangeran Samber Nyawa yang bergelar Wira Kusuma / Mangku Kusuma / Narakusura yang merasa tidak bisa menetap di Surakarta dan berpandangan sama dengan kakaknya Pangeran Samber Nyawa mengembara ke Ponjong dan menjadi penguasa di Pati, Genjahan sebelum Bupati Pontjodirdjo.

 

Makam Eyang Wira Kusuma/Mangku Kusuma ada di atas Gunung Tutup, pedukuhan Gedaren desa Sumbergiri Ponjong. Diatas bukit ini, beliau menutup diri dari kejaran pasukan Hindia Belanda kala itu supaya tidak ada orang yang tahu bahwa beliau bersembunyi di bukit tersebut sehingga disebut Gunung Tutup.  Sementara itu, untuk menghadapi tentara Belanda Pangeran Samber Nyawa di Gunung Gambar membentuk pasukan Bregodho Kawandoso Joyo yang terdiri dari 40 orang prajurit pilihan ( jawa : Kawan ndoso = 40 ) yang kesemuanya parajurit berkuda dan semuanya diberi nama depan “ Djojo “  , misalnya ; Djojo Kusumo, Djojo nagoro, Djojo sudirgo dll yang dipimpin oleh Manggala Yudha Raden Ngabehi Djoyo Wikromo.

Beliau merupakan Saudara  muda Dari Demang Jiwo Yudo ( Demang Gempol = Demang Ngawen ) .mereka berdua adalah putra dari Wongso Sapto Yuda atau Eyang Carik yaitu seorang penasehat kerajaan dari Demak yang pertama kali datang membawa ajaran Islam ke Kademangan Ngawen dan memperistri putri  Ki Kertiboyo.

Mereka berdua mendapat amanah dari ayahandanya Eyang Carik untuk menjadi pengasuh serta pengajar dari R.M. Sa’id yang pada saat itu di sembunyikan di wilayah Gunungkidul. Awalnya R.M. Sa’id di Gunung Payung , Perbukitan sebelah selatan daerah Wedi, kemudian karena masih dirasa kurang aman maka bergeser ke daerah sebelah timur. Tepatnya adalah di Dusun Gempol, sebuah dusun di selatan Gunung Gambar. Pada waktu itu yang menjadi Demang ( Kamitua ) adalah Demang Jiwo Yuda . Disebut Kademangan Gempol karena disitu Kebanyakan penduduknya memelihara kuda ( Gempol artinya Kotoran kuda ) sehingga di sepanjang jalan di setiap dusun berbau kotoran kuda. Said yang masih anak-anak mulailah diasuh oleh Ki Demang Jiwo Yudo . dalam masa itulah mulai diajari berbagai ilmu . baik lahir dan batin, terutama ilmu keprajuritan karena Demang Jiwo Yudo adalah keturunan Prajurit berkuda dari Majapahit.

Setelah sampai masa remaja (kira-kira umur 15 tahun) pegemblengan ilmu keprajuritan dilanjutkan oleh adik  demang Jiwo Yuda  yang bernama Jiwo Wikromo sehingga kelak akan menjelma menjadi Pasukan Brogodo Kawan  Ndoso Joyo yang Tersohor sebagai pasukan Berkuda pangeran Samber Nyawa yang selalu ditakuti oleh pihak lawan khususnya tentara VOC Belanda.

Ki Jiwo Wikromo / Ki Djoyo Wikromo Saudara muda Dari Demang Jiwo Yudo ( Demang Gempol = Demang Ngawen ) itulah kemudian diangkat menjadi senopati perang pasukan berkuda Prajurit Pangeran Samber Nyawa yang terkenal dengan semboyannya  “Tiji Tibeh“  ( Mukti siji Mukti kabeh Mati siji Mati Kabeh ).

 

Diantara Punggawa Pasukan Brogodo Kawan  Ndoso Joyo yang tersohor adalah:

1. Mas Ngabei Djoyo Wikromo Gunung Wijil, Kampung Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta menggantikan sang kakak Mas Ngabei Jiwo Yudo.

2. Kyai Wirodiwongso / Kyai Tumenggung Kudonowarso di Mantenan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri

3. Raden Sutowijoyo / Kyai Ngabei Ronggo Panambang di Randhusongo, Tasikmadu, Karanganyar

4. Kyai Ngabei Joyosantiko Cabean, Kaling, Tasikmadu, Karanganyar

5. Kyai Ngabei Joyorencono Karang, Kaling, Tasikmadu, Karanganyar

6. Kyai Ngabei Joyopuspito Ngendon Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Boyolali

7. Kyai Ngabei Joyohutomo Ngendon Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Bayolali

8. Raden Ngabei Joyosentono Mungup, Sawit, Boyolali

9. Raden Ngabei Joyomursito Krisikan, Simo, Boyolali

10. Kyai Ngabei Joyowidento Troketon, Karangasem, Solo

11. Kyai Ngabei Joyosuwahyo Potromulyo, Wetan Kaliwungu, Kendal, Waleri, Semarang

12. Kyai Ngabei Joyoprabowo Gunung Wijil, Prambanan, Klaten

13. Kyai Ngabei Joyoyudo Gombong, Kadipiro, Solo

14. Kyai Ngabei Joyotilarso Krisikan, Simo, Boyolali

15. Kyai Ngabei Joyoleyangan Sentonogede, Matesih, Karanganyar

16. Kyai Ngabei Joyosemito Ngendo Kerten, Wetan Bangak, Banyudono, Boyolali

17. Kyai Ngabei Joyodipuro Tunggul, Manyaran, Wuryantoro, Wonogiri

18. Kyai Ngabei Joyosumarto Sukomerto, Kepatihan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri

19. Kyai Somarasemita / Joyosudarso Sidowayah, Polanharjo, Klaten

20. Kyai Surengpati Sepuh / Joyopanamur Sentono Gede, Matesih, Karanganyar

21. Kyai Surojoyo / Joyopamenang Kedungdowo, Matesih, Karanganyar

22. Kyai Surowongso / Joyopanantang Punthuk Engkuk, Kalibanteng, Sendang Griyo, Selogiri, Wonogiri

23. Kyai Condro Tanoyo / Joyopawiro Katah, Singodutan, Selogiri, Wonogiri

24. Kyai Surengpati Enem / Joyopawiro Geger, Manyaran, Wonogiri

25. Kyai Citrodiwongso / Joyopangrawit Girimaloyo, Wuryantoro, Wonogiri

26. Kyai Surogerjito / Joyohulatan Kedungdowo, Plosorejo, Matesih, Karanganyar

27. Mas Demang Poncowigeno / Joyo Alap –alap Brengosan, Purwosari, Solo

 

Yang menyusul kemudian :

1. Kyai Kartomanggolo, Bulusari, Slogohimo

2. Kyai Taliwangsul, Tromo, Jamuran, Girimarto, Wonogiri

3. Kyai Gunowijoyo, Ganoman, Gunung Malang, Matesih, Karanganyar

4. Kyai Singodiwongso, Randusongo, Tasikmadu, Karanganyar

5. Kyai Kartolesono, Bendungan, Nglaroh, Selogiri, Wonogiri

6. Kyai Setroketu, Hastana Bibis Luhur, Solo

7. Kyai Jemparing, Mayang, Kidul Tilas Kraton, Kartasura

8. Kyai Gagakeri, Ngrusah, Manyaran

9. Kyai Gagakpranowo, Kadipiro, Sendangtirto, Brebah, Sleman

10. Kyai Gagakrejo, Sendhang Lanang, Wonogiri

11. Kyai Gonobahu, Jetak, Bendungan, Nglaroh, Wonogiri

12. Raden Mangunrejo

13. Raden Hendropanitis

 

Kelompok Khusus :

1. Raden Ayu Kusumonarso, Garwo Sn. Amangkurat IV, Nenek Pangeran Sambernyawa, Makam di Kebloan

2. Raden Ayu Kusumo Matah Ali, Garwo Sepuh Pangeran Sambernyawa, Putri Kyai Kasan Nuriman, Makam di Gunung Wijil Selogiri Wonogiri

3. Kyai Kasan Nuriman, Guru dan Mertua Pangeran Sambernyawa, Makam di Karang Tengah Selogiri

4. Nyai Emban, Emban Pangeran Sambernyawa, Makam di Desa Tumanggul Jatipuro Karanganyar

5. Gamel (Pemelihara Kuda) Pangeran Sambernyawa, Makam di Desa Gempolan Jatiyoso Karanganyar.

 

Kisah Pangeran Sambernyawa di medan perang tak kurang dari 16 tahun. Dari tahun 1741 hingga 1757 setidaknya ada 250 kali pertempuran yang dijalaninya. Baik melawan Belanda maupun pasukan gabungan. Dari kemampuannya inilah, RM Said mendapat julukan Pangeran Samber Nyawa dari Gubernur VOC Nicolass Hartingh. Julukan itu diberikan setelah dia berhasil mengalahkan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Van Der Poll, dan bahkan memenggal kepala sang kapten.

Diantara 250 pertempuran, setidaknya ada tiga pertempuran besar yang dilakoni Pangeran Samber Nyawa dan pasukannya dalam periode itu.

Pertama, di Desa Kasatriyan dekat Ponorogo pada 1752 menghadapi pasukan gabungan VOC, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam Babad Lelampahan, seperti dikutip dari Sambernyawa Menggugat Indonesia (2011) yang disusun Soerjo Soedibjo Mangkoehadiningrat,  menyebut, dari pihak Said hanya kehilangan nyawa 3 orang, sedangkan 29 orang lainnya luka-luka. Dari kubu musuh, sebanyak 600 orang tewas (hlm. 12).

Kedua, pasukan Pangeran Samber Nyawa berhasil mengalahkan tentara VOC pimpinan Kapten van der Pol di hutan Sitakepyak, selatan Rembang, pada 1756. Ribuan prajurit bantuan yang dikirimkan HB I dari Yogyakarta juga dapat dipukul mundur. Kapten Pol bahkan tewas, kepalanya ditebas oleh Pangeran Samber Nyawa.

Puncak perjuangan Pangeran Samber Nyawa terjadi saat dia menyerang Yogyakarta, dan mengacak-acak benteng VOC serta keraton. Kemampuan berperangnya yang luar biasa, membuat dia dan pasukannya bisa dengan mudah masuk me dalam keraton. Dan hal ini tentu saja membuat Sultan Hamengku Buwono murka. Sultan lantas membuat sayembara dengan hadiah uang sebesar 500 real dan jabatan bupati kepada siapa saja yang berhasil menangkap Said. VOC bahkan siap memberikan uang sebesar 1.000 bagi siapa saja yang mampu menangkap Pangwran Samber Nyawa.

Lantaran tidak ada seorang pun yang mampu menunaikan sayembara tersebut, VOC mendesak kepada PB III dan HB I untuk membujuk Said melakukan perundingan. Pangeran Samber Nyawa ternyata bersedia. Maka digelarlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 (Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, 1996: 46).  Kasultanan Yogyakarta PB III memperlakukan Samber Nyawa dengan sangat baik dalam pertemuan itu, begitu pula utusan HB I maupun VOC. Hasil Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 inilah yang mengakhiri pertikaian antar trah Mataram di tanah Jawa. Samber Nyawa mendapatkan konsesi berupa wilayah khusus yang akan dipimpinnya.

Sejak saat itulah muncul kerajaan ke-3, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang hidup berdampingan dengan Kasunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta. Pergerakan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang menggelari dirinya dengan  Mangkunegara I, akhirnya bisa ditenangkan. Setelah Masa RM Sa’id menjadi Adipati di Mangkunegaran, maka R. Ng. Djoyo Wikromo  pensiun sebagai Senopati Prajurit Bregodo Patang Ndoso Djojo. Beliau tidak mau tinggal di kalangan istana kerajaan Mangkunegaran dan memilih untuk pulang ke daerah asalnya Yaitu ke Gunungkidul, hidup sebagai rakyat biasa, bertani  di menjelang hari-hari tuanya.

Ng. Djojo Wikromo Diberi daerah Kekuasaan di Kademangan Gempol Wilayah Gunungkidul sebagai tanah Lungguh , yang saat itu wilayah tersebut sudah berubah nama menjadi Kademangan Ngawen. Beliau Membuat rumah di sekitar mata air alam (sumur alam) yang tidak pernah kering airnya walaupun kemarau panjang . yang kelak dusun tersebut bernama Dusun Gudang di desa Kampung Ngawen. Setelah  meninggal dunia R. Ng. Djojo Wikromo di semayamkan di Gunung Wijil (Pemakaman sebelah barat Dusun Gudang). Bukit kecil berupa Gundukan tanah seluas 1 hektar disebelah barat mata air yang berbatu hitam . satu-satunya bukit ( Walau kecil ) yang  berbatu hitam, diantara bukit –bukit kapur sebagai ciri kas bukit- bukit di wilayah Ngawen.  Adapun makam Pangeran Samber Nyawa berada di Astana Mangadeg yang berada di salah satu bukit tertinggi di lereng gunung Lawu Matesih Karanganyar Jawa Tengah.

Diambil dari sejarah lokal dusun-dusun di kecamatan Ngawen, Ponjong dan lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar