WARANGKA WULAN TUMANGGAL
this wrongko form has not been made in Java for a very long time, according to Harsrinuksmo (Ensiklopedi Keris) it has not been made since the end of the Kartosuro era (1680-1745).
a Javanese keris patrem, with a wrongko in the Wulan Tumanggal form, and a gandar with red kemalo, from catalog # 74
Terlepas kapan Warangka Wulan Tumanggal dipakai sebagai Warangka Keris, Bulan adalah salah satu dari benda-benda langit yang dipakai sebagai Simbol yang bermakna Tuhan Pengendali Cahaya (JYOTISHA). Keris dengan Konsep Lingga-Yoni yg dimaknakan sejak penempaan dimana Mpu Pande dan/atau Panjak masuk kedlm lobang dilantai Besalen, Bilah dg bagian Pesi masuk kedlm lobang Gonja dan Bilah masuk ke lobang Warangkanya adalah juga merupakan Simbol Ketuhanan/Keillahian.
Daya Kuasa Tuhan Yang Melebur (Dewa Ciwa) juga memakai Bulan Sabit sebagai sebuah simbol di dahi, Agama Islam juga mengadobsi/memakai "benda langit berupa Bulan Sabit dan Bintang" sebagai simbolnya, kesemuanya bermakna Tuhan Pengendali Cahaya.
Pada patung phallic setinggi 1,97m yang dulunya ada di Candi Sukuh juga dipahatkan benda-benda langit berupa Bulatan-bulatan /Bola-bola, Matahari-Bintang-Bulan dan juga Keris, yang kesemuanya adalah simbol-simbol Ketuhanan yang pernah dipakai manusia sejak era primitif - era sesudah manusia mendapatkan veda (pengetahuan) dan sampai era dimana Keris juga dipakai sebagai simbol Ketuhanan. ( Adhy Sulistyo KCB ; 09.01.2024 Diskusi Wreksa Warangka Komunitas Cinta Budaya JKT. ).
*Warangka Wulan Tumanggal.*
Wulan Tumanggal merupakan salah satu bentuk warangka keris yang populer dan banyak disukai. Dinamakan demikian karena bentuknya yang menyerupai bentuk bulan sabit. Bahkan diduga, ide bentuk warangka itu memang dari interpretasi bentuk bulan sabit, yang diambil dari bentuk "bulan - bintang" dan dikenal sebagai ikon Islam.
Diperkirakan bahwa bentuk warangka itu lahir setelah agama Islam berkembang di Nusantara, terutama di pesisir utara Pulau Jawa, dan merupakan gagasan dari salah satu atau beberapa Wali, dalam rangka syi'ar agama Islam.
Kita ketahui bahwa salah satu cara menarik minat dan perhatian masyarakat untuk mau memeluk agama Islam pada masa kerajaan-kerajaan dahulu adalah melalui pendekatan tradisi dan budaya. Wayang juga dimanfaatkan untuk cara syi'ar, terutama di Pulau Jawa. Hal itu karena keris dan wayang adalah komponen tradisi dan budaya yang begitu lekat pada kehidupan masyarakat Nusantara, juga terutama di Pulau Jawa. Tapi masih belum diketahui pasti mana yang lebih dulu antara lahirnya bentuk warangka Wulan Tumanggal dengan syi'ar melalui wayang.
Para sesepuh perkerisan menduga bentuk warangka Wulan Tumanggal di Jawa Tengah dan Timur populer di masa kerajaan atau kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam. Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa bentuk itu sudah mulai lahir di akhir masa Majapahit, atau bahkan sebelumnya, yaitu mulai di Cirebon atau Banten.
Setelah Kesultanan Demak tenggelam karena dendam, lahirlah Kesultanan Pajang, yang ternyata hanya berdiri selama satu kepemerintahan Sultan Hadiwijaya. Pajang runtuh dan digantikan oleh Kesultanan Mataram dengan Panembahan Senopati Ing Ngalogo sebagai Raja pertama.
Setelah sekian lama mengalami perkembangan, kemajuan dan pasang-surut yang juga banyak dipengaruhi oleh masuknya Belanda dengan VOC nya, Kesultanan Mataram lalu pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta (Hamengku Buwono) dan Kasunanan Surakarta (Paku Bowono). Dan terjadi juga berbagai perbedaan dalam tradisi keraton serta rakyat nya.
Bentuk warangka Wulan Tumanggal diceritakan lebih eksis di wilayah Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat yang lebih meneruskan citra Mataram. Jadi seolah bentuk warangka itu masuk ke dalam pakem Yogya.
Dari penamaannya, Wulan diartikan "bulan", dan Tumanggal berkonotasi penanggalan atau waktu, yaitu diartikan sebagai "masuknya ke saat atau hari baru". Jadi secara harfiah Wulan Tumanggal berarti "saat masuk ke bulan berikutnya (baru)". Interpretasi atau falsafah yang dikandung adalah sebagai pengingat bahwa masyarakat (saat itu) sudah masuk ke dalam masa Islam, atau masing-masing individu yang sudah memasuki masa baru dalam keimanannya.
Tapi selain untuk bentuk warangka, sebutan Wulan Tumanggal juga dipakai untuk satu bentuk gelar atau taktik perang, yang susunan pasukannya berbentuk mirip bulan sabit.
Bentuk warangka Wulan Tumanggal yang mendekati bentuk warangka Gayaman terasa praktis untuk dibawa berkegiatan sehari-hari tanpa ada kekuatiran daun warangka mudah patah. Tapi dibanding bentuk Gayaman, Wulan Tumanggal juga lebih berkesan indah, cantik, tapi tangkas dan "sportif".
Bentuk seperti yang terlihat di foto di bawah ini adalah bentuknya yang umum. Sederhana, polos tanpa ada ukiran atau banyak ricikan. Ini mengisyaratkan bahwa manusia seyogyanya hidup dengan sederhana, biasa-biasa saja, tidak berlebihan (neko-neko), serta seharusnya selalu menerapkan kejujuran. Tapi dalam perkembangannya kemudian, ada yang gandarnya memakai pendhok, baik yang slorok, bunton, blewahan, bahkan pendhok topengan. Hal itu karena cita rasa estetika atau keinginan dari pemiliknya masing-masing, sesuai dengan tingkat kemampuan atau kedudukannya dalam masyarakat. Begitu juga dengan bahan pelogan warangka nya, ada yang dari tulang, tanduk kerbau, cula badak atau gading gajah. Ada juga yang seluruh warangkanya dari bahan kayu lalu disungging warna-warni indah, dengan motif dominan batikan. Tapi sampai saat ini saya belum pernah melihat warangka Wulan Tumanggal yang terbungkus penuh (blok) dengan pelapis logam. Dan walau memakai pendhok apa pun, atau bahan bukan dari kayu, bentuk pelogan warangka hampir selalu tetap seperti tampak di foto.
Warangka Wulan Tumanggal juga ada yang versi Melayu, Sumatran atau Jawa Baratan. Sebutan untuk bentuk-bentuk itu di sana bukan Wulan Tumanggal. Ada sebutan warangka Bulan Sabit, Sampir Bahari, dan beberapa sebutan lain yang saya lupa, belum ketemu lagi catatannya. Hal itu bisa dimaklumi karena perjalanan masuknya ajaran Islam ke Pulau Jawa adalah dari arah barat, yang melalui Semenanjung Melayu. Selain itu, kemungkinan lain adalah dari perdagangan atau bahkan peperangan dan ekspansi wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagai contoh adalah sisa pasukan armada laut Demak di masa Pati Unus atau masa Ratu Aisyah (ibu dari Pati Unus dan Sultan Trenggana, di masa kepemerintahan Sultan Trenggana) yang gagal dalam perang melawan Portugis di Semenanjung Melayu (Malaka). Mereka tidak kembali ke Demak, melainkan mendarat di Sumatra dan lalu tinggal di sana. Mereka tentu membawa dan mempengaruhi perkembangan budaya dan tradisi selanjutnya di sana.
Saya belum pernah lihat, tapi mungkin ada juga warangka Wulan Tumanggal versi Bugis/ Sulawesi, Kalimantan, Brunai, Bali, Lombok, atau bahkan Mindanao dan Moro.
Pada masa sekarang, warangka Wulan Tumanggal lazim berpasangan dengan dedher Lempuyangan (yang polos biasa atau pun yang versi ukir Putri Kinurung). Hal itu lalu seolah menjadi pakem. Tapi saya belum tahu, sejak kapan "pakem" itu diberlakukan, dan apa falsafah yang terkandungnya.
.
( Penyusun ; Wibisono KCB 08.01.2024 Diskusi Komunitas Cinta Budaya. JKT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar