Rabu, 06 November 2019

Pasukan Wanita Kerajaan Sulawesi

 Pasukan Wanita Kerajaan Sulawesi 
oleh ; KRT. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. 
#cahyasuryaharsakya #cahyasurya #surya

Teks 

Kerajaan di Nusantara memiliki sejarah Panjang , Pada abad ke 8 Sudah terdapat jejak - jejak verbal dalam tradisi tutur kerajaan di Nusantara ini, selain itu adanya artefak, relief dan berbagai patung dan peninggalan lainnya. Kekayaan Sejarah dan Budaya Negeri Nusantara patut untuk dicatatkan agar tidak adanya kepunahan. bahwa sesungguhnya kemegahan Negeri Nusantara kala itu merupakan Negara yang sangat baik dan menerima pendatang dan pedagang. Banyak pengaruh dari Negeri luar yang memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kemegahan Kerajaan - Kerajaan Nusantara. Kepunahan dan Kehancuran Dinasti ini disebabkan tergerus perkembangan zaman dan kebudayaan yang lebih modern.

   

"Kingdom in the archipelago has a long history, in the 8th century Already there are traces of verbal in the tradition of the kingdom's speech in this archipelago, in addition to the existence of artifacts, reliefs and various sculptures and other relics. The rich history and culture of the archipelago should be noted so that there is no extinction. that in fact the grandeur of the archipelago at that time was a very good country and accepted immigrants and traders. Many influences from foreign countries that have both positive and negative impacts on the splendor of the Kingdoms of the Archipelago. The extinction and destruction of the dynasty was caused by the erosion of the times and more modern culture."





I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin. Ada persamaan antara Laksamana Malahayati dengan I Fatimah dan pasukannya. Keduanya merupakan perempuan yang juga pemimpin pasukan perempuan.

Jika Sultan Hasanuddin dijuluki oleh Belanda “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya. Maka sang putri, I Fatimah digelari oleh seorang penyair Belanda “Garuda Betina dari Timur”. Julukan yang diberikan itu menurut salah seorang budayawan Gowa Djufri Tenribali, bukan karena Fatimah berasal dari putri bangsawan, tetapi karena sifat ksatrianya yang menonjol. Ia menginginkan penjajahan dimusnahkan, bahkan tidak segan-segan I Fatimah membantu ayahnya, Sultan Hasanuddin pada setiap peperangan.

Dalam resensi buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”, Fatimah lahir dari buah pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone, I Daeng Takele. Putri mereka yang lahir pada tanggal 10 September 1659, diberi nama I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.
I Fatimah sangat dekat dengan ayahnya, bahkan setiap Sultan Hasanuddin memberikan latihan pada prajuritnya, Fatimah selalu ikut. Sehingga tidak heran kalau Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya yang juga menguasai ilmu bela diri.
Keinginan Fatimah untuk berjuang mengusir Belanda diawali saat sang ayah, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bungaya. 
Perjanjian damai tersebut dianggap menguntungkan Belanda dan membuka kesempatan kolonial untuk melakukan monopoli.
Perjanjian tersebut sontak mendapat penolakan dari sejumlah bangsawan Gowa dan Bugis. Di antaranya anak Sultan Hasanuddin, I Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Karunrung yang menyatakan sikap penolakannya yang keras dan terbuka.



                                        Foto Bersama Pasukan Wanita bersenjata Balira                         
                                           Pada event Budaya Batubassi Maros 2019.


1. Fatimah Pimpin Pasukan Bainea

  Penolakan terhadap perjanjian Bungaya lalu menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melanjutkan perlawanan.
Fatimah yang sejak awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa.
Keinginan Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten. Rombongan itu tiba tanggal 19 Agustus 1671 di Banten, disusul La Setiaraja dari Kerajaan Luwu dan Karaeng Galesong pada tanggal 16 September 1671 dengan membawa 20.000 orang prajurit.

Kedatangan putra pejuang dari Sulawesi di Banten, ternyata mendapat sambutan baik dari Sultan Banten, karena sebelumnya, salah seorang putra Makassar telah lama dijadikan mantu yakni, Syekh Yusuf yang sudah ikut berjuang bersamanya. Tekad yang kokoh dari Fatimah akhirnya berbuah hasil. Sang ibu lalu memberi izin dan membekalinya dengan sebilah keris.
“Keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah diikuti oleh para ratusan pasukan elit menuju Banten. Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa,” seperti yang ditulis dalam buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”. Buku tersebut ditulis oleh Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Dijelaskan, saat tiba di Jawa, I Fatimah bergabung bersama semua kekuatan pasukan, dan menyusun strategi penyerangan. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu bertugas ke Jawa Timur membantu perjuangan Trunojoyo. Penyerahan pasukan Kraton Plered pada 12 Juli 1677 membuat Benteng Kapper berhasil mereka duduki.
Sedang di Banten Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrajasa, melawan putranya Sultan Haji yang berpihak pada Belanda. Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda. Berkali-kali Belanda berusaha untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Yusuf dan Fatimah, namun belum berhasil. Syekh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), dan kemudian dipindahkan ke Tajung Harapan, Afrika.

Melihat kondisi yang kurang menguntungkan menghadapi Belanda, akibat kekalahan pasukan Banten yang bersekutu dengan pasukan Kerajaan Gowa, Fatimah bersama pasukan Baiena lalu kembali ke Gowa dan meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dalam suatu pertempuran, Fatimah bersama pasukannya menyerang Belanda dengan berani. Dalam pertempuran tersebut Fatimah gugur di tanah kelahirannya.


2. Jamila Daeng Tamema

Pada abad 16 dan 17 silam merupakani puncak kejayaan Kerajaan Gowa. Pada masa itu, Gowa telah banyak melakukan ekspansi di berbagai kerajaan di wilayah tumur nusantara ini, disamping menggalang hubungan persaudaraan dengan  raja-raja di Nusantara ini. Seperti halnya beberapa kerajaan di Nusa Tenggara ,  seperti Kerajaan Bima, Sumbawa dan Manggarai.
Dalam Lontara disebutkan, ada beberapa Raja Gowa yang pernah menjalin hubungan baik dengan Kerajaan di Nusa Tenggara, seperti Raja Gowa XII bernama I Manggorai Daeng Mammeta Karaengta  Bontolangkasa. Dalam Lontara Patturioloangna Tu Gowaya disebutkan, Raja I Manggorai Daeng Mammeta  selain menggalang hubungan persahabatan dengan beberapa Kerajaan di Nusa Tenggara, juga mengawini putri bangsawan Bima di Manggarai. Dari  perkawinan itulah sehingga tali persaudaraan antara kedua kerajaan semakin merekat.
Raja I Manggorai kemudian kawin dengan putri bangsawan Bima. Turunannya kemudian mengabadikan nama nenek moyangnya pada salah satu kerajaan yang ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, yakni Manggarai. Konon kabarnya, Manggarai diambil dari nama Raja I Manggorai dan kemudian  berubah menjadi Manggarai seperti sekarang ini.
Perubahan nama Kerajaan Manggorai menjadi Manggarai terjadi ketika pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Srikandi Jamila Daeng Tamema memasuki wilayah daratan Manggarai. Saat itu kaum nelayan sedang asyiknya menangkap ikan di sepanjang pantai Manggarai.  Serbuan prajurit Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh  Jamila daenmg Tamema membuat kaum nelayan ketakutan dan berlarian.  Kaum nelayan  berteriak dan mengajak temannya untuk lari dengan kata-kata “ Mangga.... dan Rai...” yang berarti angkat jangkar dan lari. Dari teriakan tersebut, warga prajurit Kerajaan Gowa kemudian menamakan daerah itu dengan nama Manggarai.
Penguasaan beberapa wilayah kerajaan di wilayah timur Nusantara ini tidaklah terlepas dari keberanian prajurit Kerajaan Gowa, termasuk  Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila Daeng Tamema. Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal kesaktiannya dan sangat ditakuti oleh musuh).

3. We Maniratu Arung Data

We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah salah satu dari beberapa perempuan yang pernah memimpin kerajaan di tanah Bugis. We Maniratu Arung Data terpilih oleh Dewan Ade’ Pitu Kerajaan pada tahun 1823 menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data yang merupakan saudara dari Arung Palakka ini dikenal sebagai raja yang anti penjajahan VOC.
Pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki oleh VOC. Sebagai akibat pembangkangan itu tanggal 14 Maret 1824, pasukan VOC di bawah pimpinan jenderal Van Goen menyerang kerajaan Bone melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Untuk memperkuat pasukannya melawan VOC, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata #lawida (semacam alat tenun yang runcing). We Maniratu Arung Data bahkan turun langsung ke medan perang bersama pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan hebat Bugis untuk menghadapi musuh.


Sumber;
Thomas Stanford Raffles, dalam bukunya History Of Java (1817) menyatakan rasa kagum pada peran perempuan Bugis dalam masyarakat: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).
 




Pasukan Srikandi yang dipimpin oleh Jamila Daeng Tamema (Putri Raja Gowa XII). Jamila yang anggotanya terdiri dari kaum perempuan yang bersenjatakan Balira (salah satu alat tenun kain yang terkenal kesaktiannya dan sangat ditakuti oleh musuh). abad 16. pasukan yang dipimpin I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI , terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita). 1671. #balira #walida #walira #codowalidana #lawida



Pementasan Pasukan Bainea dengan Pusaka Balira 
Kerajaan Gowa , Makassar. 
Sumber Foto; Syahrir Daeng Thola







  
 

Rabu, 16 Oktober 2019

Pencucian Bilah Badik Temuan Mattaompang

Pencucian Bilah Badik Temuan 

Tradisi dapat ditunjukkan dari hasil budaya yang masih ditemui, baik yang sederhana maupun modern. Hal ini merupakan kemajuan pola pikir nenek moyang kita dalam berkarya baik secara fisik maupun non fisik. Sebagai hasil teknologi, kebudayaan fisik cepat mengalami perkembangan. Kebudayaan sendiri merupakan kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari generasi berikutnya yang memiliki kelemahan dan keunggulan, oleh karena itu, tidak ada kebudayaan yang sempurna.
Mattaompang ( pencucian dan pembersihan ) pusaka merupakan salah satu cara merawat benda benda pusaka seperti badik dan keris yang di anggap memiliki tuah.
 
 
 
 
 
 
Kegiatan komunitas dalam Mattaompang bertujuan untuk mendekatkan generasi muda dengan tradisi yang masih ada di dalam lingkungannya, supaya generasi muda dapat mencintai budaya lokal sendiri dan juga tradisi ini sebagai ajang silahturahmi.

Pusaka merupakan simbol tersendiri bagi pemiliknya. maka dari itu dijaga agar terhindar dari korosi dan karat besi yang membuat besi tersebut tidak awet. karat sendiri dapat menghancurkan pusaka yang berumur cukup tua, sehingga dalam merawatnya memerlukan cairan khusus dan dalam tradisinya memerlukan jeruk sebagai netralisisr dan merawat pusaka agar tidak korosi.



Jumat, 11 Oktober 2019

KAJIAN METALURGI Bahan Kawali (Badik) dan Besi Tempa

KAJIAN METALURGI 
Bahan Badik  (Kawali) dan Besi Tempa 
Jenis Bahan Baku dan Metalurgi
oleh; KRT. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn.
Anggota Lembaga Badik Celebes dan Pemerhati Pusaka Nusantara  


Kawali Raja


MEKANGKANG, nama jenis bahan besi untuk membuat Badik, ada dua macam yaitu Mekangkang Urane dan Makunrai, tuah dari Mekangkang Urane baik untuk prajurit, bisa menambah wibawa, warnanya hitam keunguan dan jika diamati teliti seakan mempunyai semacam urat urat halus tetapi kalau diraba permukaannya halus lumer dan kalu dijentik berbunyi dengung yang panjang. Untuk Mekangkang Makunrai warnanya ungu tua kebiruan, pada permukaannya seolah tersebar kristal kecil yang membiaskan warna kebiruan, jika dijentik berbunyi dengung pendek. Konon baik untuk pegawai agar disayang atasan.
NGLEMPUNG (Malela) , jenis besi yang penampilannya mempunyai kesan padat dan matang tempaan. Besi yang nglempung seolah tidak berpori sehingga tidak gampang kropos.
BESI KUNING, atau wesi kuning sebutan senjata tradisional yang terbuat logam bewarna kuning biasa berbentuk pangot, patrem, golok pendek, badik kecil, tubang dan orang orang tua mengatakan bahwa besi kuningan merupakan campuran unsure besi, timah putih, perak, seng, timbal, tembaga, emas. Dipercaya mempunyai kekuatan gaib menjadi orang kebal terhadap senjata lain.
GOTHITE, mineral besi terdiri dari trioksida besi yang terikat air berwarna kekuningan, merah dan kecoklatan, rumus kimianya Fe2O3.H2O. besi ini kurang baik untuk bahan pusaka karena mudah keropos dan berpori.
ILMENIT, jenis material besi terdiri dari trioksida besi-titanium, berwarna hitam metalik atau setengah metalik, banyak dijumpai dalam pasir besi, terkenal dengan nama pasir Ilmenit. Rumus kimianya Fe2O.TiO2. 
KARANG KIJANG, BESI, penamaan atas salah satu jenis besi, menurut Ronggowarsito, besi Karang Kijang adalah besi yang berurat, uratnya seperti air laut, warnya hitam kebiruan.  
KATUB, jenis besi pembuat keris, berwarna hitam kehijauan, hijau seperti rumput layu.
MALELA KENDAGA, penamaan jenis besi bahan keris atau pusaka lainnya yang pada permukaan seolah bertaburan kristal kecil yang mengkilap. Keristal keristal yang berkerlip akan tampak terang jika bilah keris itu akan tampak terang bila bilah keris itu dalam keadaan putih bersih. Sebagian pecinta keris membedakan Malela menjadi Pasir Malela dan Malela Kendaga, yang Pasir Malela maka kerlipnya membiaskan warna putih keperakan sedang Malale Kendaga berwarna kuning emas. Keris dengan besi ini biasanya keris lama karena pengolahan bahan pasir besi menjadi besi tidak sempurna.
MALIK,  nama jenis besi bahan pembuatan pusaka, permukaannya kasar dan warnanya hitam keabu-abuan, jika dijentik dengungnya sember, menurut para ahli  tuah besi ini buruk sehingga pemiliknya sukar mencari rejeki.
MINETTE, jenis mineral besi berwarna coklat terdiri dari trioksida besi terikat air dengan rumus kimia Fe2O3H2O.
SIDERIT, mineral besi terdiri dari kristal-kristal karbonat besi. Mineral ini berupa kelabu putih kekuningan, atau kecoklatan  dengan permulaan yang mengkilat, rumusnya FeCO3. dalam dunia keris maka bahan ini biasa dipakai  untuk batu bahan pamor yang hanya mengandung besi saja. Pada bilah keris, pamor dari bahan ini warnanya hitam dan umunya dinamakan Pamor bercak hitam. Ada yang menyebut pamor wulung.

 
WALULIN, jenis besi pembuat keris, tetapi sedikit sekali pengetahuan mengenai bahan ini, ada yang mengatakan  besi ini agak berpori, kering dan warnanya abu-abu kehitaman.
WELANGI, jenis besi pembuat keris warnanya kuning kehijauan dan tuahnya baik untuk mencari rejaki. Namum menurut buku kuno, pemilik keris ini tidak boleh menghutangkan atau membungakan uang.
WERANI, jenis besi pembuat keris, warnanya hitam keunguan, menurut buku kuno sebagai senjata besi ini ampuh sekali.
WINDUADI, sejenis besi pembuat keris dan tosan aji lainnya berwarna pucat dengan kristal bening keperakan menyebar dipermukaan. Menurut pecinta keris, bahan ini sangat ampuh dan kalau dibawa perang maka pembawanya tidak terlihat musuh.
LEMME' (Reduksi Bahan Fosil Besi) . Bahan Lemme' merupakan hasil dari logam yang sudah tertanam lama dalam tanah dan masih utuh tanpa terkena perubahan dari karat yang sangat parah, sehingga tidak hancur total. Bahan Lemme' merupakan bahan besi yang terbaik, karena masih utuh dalam tanah selama puluhan bahkan ratusan tahun (fosil besi). bahan lemme' merupakan bahan yang sudah membentuk benda (bukan pasir besi mentah) melainkan barang - barang tua seperti potongan parang, peralatan bercocok tanam, jangkar tua, pasak kapal tua, peluru meriam, bahkan bila beruntung dapat berupa senjata yang sudah ditempa.  
* KRT. Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. 

La Gecong Legenda Badik Beracun


 La Gecong 
Legenda Badik Beracun 


 Secara historis, belum diketahui secara pasti sejak kapan senjata tajam tradisional ini digunakan dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Demikian asal-usul teknologi menempa logam dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan, kecuali hanya berupa asumsi-asumsi yang memperkirakan tentang asal-usul senjata tajam badik tersebut.
(Purwati dkk, 1993/1994)

Foto ; Badik Gecong dari Mandar koleksi KRT. Cahya Surya Harsakya , M.Sn. 
Bentuk badik yang ergonomis untuk menusuk dan menyerang secara diam - diam dari sisi belakang lawan, misalnya penjajah VOC yang sedang berjaga.


                Badik merupakan senjata tradisional yang dikenal dan dipergunakan dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari bentuknya, badik adalah benda tajam yang terbuat dari besi dimana salah satu dari sisi bilahnya tajam dengan ujung runcing. Selain dikenal dikalangan rakyat masyarakat Makassar, badik terdapat pula di Daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk yang agak berbeda, seperti di daerah Bone, Luwu, dan Majene (Purwati dkk, 1993/1994, hal 22).



Secara umum badik terdiri atas tiga bagian yaitu ; Hulu (gagang), Bilah (besi), dan Warangka (sarung badik) sebagai pelengkap badik. Disamping itu terdapat pula bagian-bagian lain dengan nama dan dan makna tertentu dari tiap-tiap daerah.



Badik adalah senjata tradisional Melayu Makassar, Bugis dan Mandar di Sulawesi Selatan yang berukuran pendek. Senjata ini dikenal pula di daerah Patani, Thailand Selatan, dengan sebutan badek. Bentuknya serupa dengan badik Bugis, sehingga diduga badek Patani ini berasal dari Bugis. Hal ini didasarkan pada tradisi merantau orang Bugis yang diwariskan secara turun temurun (Wong, 2012).



Pada umumnya, badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri’ dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan (Wong, 2012). Selain itu, ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso, yang memiliki nilai sejarah. Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk.



Badik lagecong atau Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya). Kebanyakan orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut. Badik lagecong terbagi dalam dua arti , pertama : Gecong di ambil nama dari nama sang panre (empu) yang bernama la gecong, kedua : diambil dari bahasa bugis gecong atau geco”, yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati. Sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus. Panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat (Wong, 2012).






*Acmad, A.M dan Syam, M.R. 1986. Siri Kearifan Budaya Sulawesi Selatan.
  Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan DKI Jakarta.
*Purnawati, Sangkala dan Siasni. 1993. Badik Sulawesi Selatan. Bagian Proyek
  Pembinaan Permuseuman. Sulawesi Selatan.
*Ubbe, Zulfikar, dan Senewe. 2011. Pamor dan Landasan Spiritual Senjata
  Pusaka Bugis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.




Kamis, 19 September 2019

PAPPASENG

PAPPASENG TORIOLO/PETUAH AORANG BUGIS

Di kalangan Bangsa Bugis, mungkin tidak asing di telinga kita ungkapan-ungkapan leluhur (To Riolota). Ungkapan Tradisonal sebagai aspek budaya yang diakui mengandung nilai-nilai yang perlu dilestarikan. Hal semacam ini sekarang sudah sangat langka. Hanya sesekali ada terdengar diucapkan oleh orang-orang tua disaat ada pertemuan tradisi (acara Budaya). Selain kandungan yang ada didalamnya juga segi sastranya sangat halus, sampai tidak mudah dibuat oleh orang.

Ungkapan ini biasanya disampaikan kepada anak untuk melakukan sesuatu kebiasaan baik yang baik maupun tidak baik, tetapi membuatkan semacam sebab akibat yang sangat ditakuti oleh si anak. Misalnya ibu mati, dia bisa pendek umur, ia terlambat besar. Begitu pula sebaliknya, ada yang sesungguhnya diperintahkan melakukannya, dengan akibat baik apabila dilakukannya.



Beberapa Ada-ada To Riolo yang merupakan nasihat orang tua kepada anaknya antara lain sebagai berikut:

1.MAUNI COPPO' BOLANA GURUTTA' RIUJA MADORAKAMONI'
Artinya            : Walaupun bubungan atap rumah Guru yang dicela, maka kita pun berdosa.
FungsI             : Agar anak senantiasa menghormati Gurunya.
Nilai                : Pendidikan akhlak.

2.AJA' MUOPPANG NASABA MATEI MATI INDO'MU
Artinya            : Jangan Engkau tidur tengkurap/ meniarap, nanti mati ibumu.
Fungsi           : Supaya anak menghentikan kebiasaan yang merugikan dirinya yakni bisa berakibat sesak nafas
Nilai                : Pendidikan kesehatan.

3. NAREKKO PURANI RIACCINAUNGI PASSIRING BOLANA TAUWE TEMPEDDINNI RINAWA-NAWA MAJA
Artinya            : Kalau kita sudah berteduh dibawah atap rumahnya seseorang, sudah tidak boleh lagi dibenci (diusahakan ia binasa).
Fungsi              : Supaya anak tahu menghargai budi orang lain.
Nilai                : Pendidikan akhlak

4. AJA MULEU RI TANAE, KONALLEKKAIKO MANU-MANU MATEITU INDO'MU
Artinya            : Jangan kamu baring ditanah, karena kalau ada burung melewatimu ibumu akan mati.
Fungsi              : Supaya anak jangan mengotori dirinya.
Nilai                : Pendidikan kesehatan.

5. AJA MUALA AJU PURA RETTE' WALIE NAKOTENNA IKO RETTE'I, AJA' TO MUALA AJU RIPASANRE'E, KOTENNA IKO PASANREI
Artinya            : Jangan kau ambil kayu yang sudah dipotong ujung dan pangkalnya.
Dan jangan pula engkau ambil kayu yang tersandar, kalau bukan kau yang sandarkan.
Fungsi              : Supaya anak tahu menghargai hak orang lain.
Nilai                : Pendidikan kejujuran.
6. AJA MUINUNG TETTONG, MALAMPEI LASOMU
Artinya            : Jangan minum berdiri, nanti panjang kemaluanmu.
Fungsi             : Supaya gelas tidak jatuh/pecah.
Nilai                : Memelihara keselamatan barang.

7. AJA MUNAMPUI TANAE, MATARUKO
Artinya            : Jangan menumbuk tanah, karena kamu bisa jadi tuli.
Fungsi              : Supaya anak tidak mengotori dirinya sendiri.
Nilai                : Pendidikan kebersihan.

8. NGOWA NA KELLAE, SAPU RIPALE PAGGANGKANNA
Artinya            : Loba dan tamak, berakibat kehampaan.
Fungsi              : Supaya anak tahu mensyukuri yang ada (sedikit tapi halal).
Nilai                : Pendidikan untuk menghormati hak orang lain (tidak serakah)

9. AJA MUANRE TEBBU RI LEUREMMU, MATEI INDO'MU
Artinya            : Jangan makan tebu ditempat tidurmu, akan mati ibumu.
Fungsi             : Supaya anak tidak kotor, dan dikerumuni semut.
Nilai               : Pendidikan kebersihan.

10. RICAU AMACCANGNGE, RIABBIASANGENGNGE
Artinya            : Kalah kepintaran dari kebiasaan atau pengalaman.
Fungsi              : Supaya anak rajin membiasakan diri belajar.
Nilai                : Pendidikan kepatuhan.

11. Aja Muakkelong Riyolo Dapureng, Tomatowa Matu Muruntu’
Artinya            : Jangan menyanyi di muka dapur, jodohmu nanti orang tua.
Fungsi              : Supaya anak tahu menempatkan sesuatu pada posisinya masing-masing.
Nilai                : Pendidikan ketertiban.

12.GETTENG LEMPU ADATONGENG
Artinya            : Tegas, jujur serta berkata benar.
Fungsi              : Supaya anak teguh pada pendirian,,jujur, dan berbudi bahasa yang baik.
Nilai                : Pendidikan mental.

13. Aja Mubuangi Sanru’e, Maponco Sunge tauwe.
Artinya            : Jangan menjatuhkan sendok, kita pendek umur.
Fungsi             : Supaya sendok tak jatuh kotor.
Nilai                : Pendidikan kebersihan.

14. Komuturusiwi Nafessummu, padaitu mutonanginna lopi Masebbo’E.
Artinya            : Kalau kamu menuruti nafsumu, sama saja engkau menumpang perahu bocor.
Fungsi              : Kalau tidak tahu mengendalikan diri, pasti binasa.
Nilai                : Pendidikan untuk mengendalikan diri (amarah).

15. Engkatu Ada Matarengngi Nagajangnge.
Artinya            : Ada perkataan lebih tajam dari keris.
Fungsi             : Supaya anak memelihara selalu bahasanya kepada orang lain.
Nilai                : Pendidikan akhlak.

16. Naiyya Balibolae, Padai Selessurengnge.
Artinya            : Adapun tetangga itu sama dengan saudara.
Fungsi              : Supaya kita menghormati tetangga.
Nilai                : Pendidikan akhlak bermasyarakat.

17. Aja Mutudang risumpangnge, Mulawai dalle’E.
Artinya            : Jangan duduk dimuka pintu, kau menghambat rezeki.
Fungsi              : Supaya anak tidak menghalangi orang yang mau lewat.
Nilai                : Pendidikan Tatakrama.

18. Rekko Mupakalebbi’i Tauwe, Alemutu Mupakalebbi.
Artinya            : Kalau kamu memuliakan orang, berarti dirimulah yang kau muliakan.
Fungsi             : Agar anak senantiasa memuliakan dan menghargai orang lain.
Nilai                : Pendidikan Tatakrama.

19. Aja’ Muasseringangngi Pale’mu, Sapu ripalekko.
Artinya            : Jangan jadikan sapu telapak tanganmu, nanti kamu hampa tangan.
Fungsi             : Supaya anak jangan mengotori tangannya, dan bisa kena benda tajam.
Nilai                : Pendidikan kebersihan.

20. Aja Mutudangiki angkangulungnge, malettakko.
Artinya            : Jangan menduduki bantal, nanti kau kena bisul.
Fungsi              : Agar anak tidak merusak alat tempat tidur.
Nilai                 : Pendidikan untuk tetap memelihara peralatan.

21. Anreo Dekke inanre, Namalampe Welua’mu.
Artinya            : Makanlah Nasi yang hangus pada dasar periuk supaya panjang rambutmu.
Fungsi             : Membuat anak mau saja makan nasi yang tidak baik (hangus).
Nilai                : Pendidikan pembiasaan anak tidak mubazir.
22. Resopa Natemmangingngi, Malomo nNletei Pammase Dewata
Artinya            : Hanya kerja disertai ketekunan, mudah mendatangkan rezeki Tuhan.
Fungsi              : Agar anak tidak malu bekerja keras untuk mendapat rezeki.
Nilai                : Pendidikan kerajinan dan ketekunan.

23. Naiyya Olokolo’E Tuluna Riattenning, Naiyya Tauwe Adanna Riattenning.
Artinya        : Kalau binatang, talinyalah yang dipegang, kalau manusia perkataannya yang dipegang.
Fungsi             : Agar anak konsisten dapat menepati perkataannya.
Nilai                : Pendidikan kejujuran (akhlak).

24. Cicemmitu tauwe Tai ri lalengnge, Idi’na sini riaseng. Artinya : Sekali kita berak di jalan, maka kitalah yang selalu dituduh.
Fungsi          : Jangan sekali-kali kita berbuat yang tidak baik, karena selalu kitalah yang dituduh kalau ada perlakuan yang sama.
Nilai                : Pendidikan anak jangan melakukan yang buruk.

25. Panni’na manue muanre, Malessiko lari.
Artinya           : Sayapnyalah ayam yang kau makan, jadinya kau kuat lari.
Fungsi            : Supaya anak tidak manja dalam memilih makan.
Nilai               : Pendidikan agar anak tidak membuat masalah terhadap makanan keluarga.

26. AJA MURENNUANGNGI ANU DEE RI LIMAMMU
Artinya            : Janganlah engkau terlalu mengharapkan apa yang belum ada pada tanganmu.
Fungsi            : Supaya tidak terlalu berani mengharapkan barang (uang) yang belum tentu didapat (hari) itu.
Nilai                : Peringatan agar tidak meremehkan janji, sampai salah jadinya.

 Pentas Pappaseng' di Festival BatuBassi, Kabupaten Maros. 
Mahasiswa Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan 
2019