Jumat, 22 Desember 2023

Dietrich Drescher dan Keris

 Dietrich Drescher

Penghargaan kepada *Dietrich Drescher* ketika acara KERIS FOR THE WORLD 2010, telah diterima olehnya dengan bangga dan haru.... ia mengenang Desa Ngentha-Entha Yogyakarta tempat tradisi pembuatan keris. Empu Entha Wayang yang suatu hari pindah dari Kerajaan Mataram Kartasura ke desa itu berkarya kemudian beberapa generasi setelah kematiannya, ada penerusnya yaitu Empu Supowinangun yang menjadi seorang pembuat keris terkemuka. Sepeninggal Empu Supowinangun tahun 1963, proses pembuatan keris terputus. Baru sekitar 1975 tradisi itu direvitalisasi. Penelitian dilakukan untuk menyelidiki misteri mengapa tradisi ini masih eksis hingga kini? Penelitian itu dengan pendekatan *sejarah sosial seni rupa, antropologi budaya, dan teknik, serta bentuk dan gaya.* Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh dua maestro keris bernama Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo - setelah memperoleh dukungan mental dan finansial dari dua orang asing bernama *Dietrich Drescher dan Garrett Solyom.*

Meskipun dua empu maestro telah meninggal dunia, tradisi pembuatan keris terus berlangsung yang diambil-alih oleh Empu Sungkowo, anak angkat sekaligus murid Empu Jeno Harumbrojo. Empu Sungkowo juga menjadi seorang maestro keris yang karya-karyanya hampir seperti karya buatan Empu Jeno Harumbrojo. Kesinambungan setelah revitalisasi tradisi itu tetap terjaga dan tumbuh dan di tengah kelangkaan empu secara nasional. Empu desa itu pun kiprahnya telah menginspirasi kebangkitan keris Indonesia. Tradisi yang semula terputus sejarahnya telah berhasil disambung kembali. Hal itu ditandai oleh realitas tradisi pembuatan keris yang berjalan sampai saat ini, baik teknis, bentuk, gaya aslinya dilanjutkan sebagai Tangguh Ngentha-Entha dengan identitas sendiri.

Sistem laku ritual sebagai satu kesatuan sistem tradisi masih dijalankan oleh Empu Sungkowo sebagai kader empu yang berkomitmen melanjutkan pewarisan itu secara utuh. Namun saat ini umur Empu Sungkowo sudah 60 tahun lebih, kekhawatiran di masyarakat tentang kemungkinan tradisi itu dapat mengalami kemandegan seperti apa yang pernah terjadi pada 1963 silam, ternyata terisi gemerlap karya-karya baru Keris Kamardikan, menyambung pelestarian setelah keris di deklarasikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, *A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.


Dietrich Drescher dan Garrett Solyom



Selasa, 24 Oktober 2023

Sejarah Tosan Aji Cor ( Casting) #1

 Sejarah Tosan Aji Cor ( Casting) 

Bagian 1. 

Artefak Perunggu Abad 7

Meski jaman perunggu lahir sejak sebelum masehi, tetapi untuk penemuan benda2 seni dari bahan perunggu, ada yang berlapis emas atau Kuningansari, atau ada juga perunggu dipadu dengan besi di Nusantara, hadir pada era kerajaan Medang, mungkin juga Kalingga hingga Majapahit, atau sekitar abad ke 7 sampai 14. Dengan demikian, artefak2 ini berkembang di era Budha hingga Hindu.
Berbagai penemuan itu telah banyak dikaji baik di Museum maupun di Balai lelang. Beberapa peninggalan ada di Museum Nasional, Museum daerah dan bahkan di Museum2 luar negeri. Bahkan tidak sedikit benda2 bersejarah kita seperti patung perunggu, patung emas dan lainnya dilelang di Balai lelang internasional seperti Christie dan lainnya.
Salah satu penemuan yang sangat menarik adalah Keris dengan lapisan Kuningansari atau ada juga yang emas. Salah satu referensi yang paling dekat dengan keris2 seperti ini adalah Knaud Keris. Keris dengan relief yang diyakini peninggalan era Majapahit (abad ke 14) yang sekarang berada di Tropen Museum Belanda. Ia dibuat dari besi yang dilapis perunggu kuningansari yang kemudian dibikin relief. Sangat indah dan spektakuler. Sampai sejauh ini ia masih satu-satunya yang ada. Selain itu ada beberapa artefak di kalangan antik yang menemukan keris2 dari era Sriwijaya di wilayah sungai Musi dan Batanghari, juga di aliran sungai Brantas dari era Kediri sampai Majapahit yang juga terbuat dari perunggu berlapis emas atau ada yg Kuningansari. Seorang kawan pernah menunjukkan hasil penemuan dari sungai Musi, sebilah keris luk 3 yg terbuat dari perunggu berlapis emas juga dan pernah di pameran di Bentara Budaya - Jakarta.
Memang jumlahnya sangat sedikit karena keris - keris seperti ini dulunya bisa jadi hanya raja, Pangeran dan pembesar - pembesar kerajaan yang boleh memiliki. Dan itupun digunakan dalam acara - acara besar atau ritual - ritual khusus saja. Karena jarang itulah maka menjadikan koleksi penemuan - penemuan seperti ini menjadi sangat berharga dan diburu oleh para kolektor antik dan bersejarah. Bahkan malah sering disembunyikan keberadaannya sehingga sedikit yang bisa dikaji oleh para sejarawan dan arkeolog kita. Semoga sejarawan2 kita bisa mengungkap secara mendalam sejarah Nusantara di era jaman Perunggu ini.


Sumber ; MM. Hidayat . Dokumentasi foto keris perunggu dari museum Belanda. Keris perunggu dengan teknik cor ( casting) dan beberap Patung Perunggu lain pada era abad 14.




Keris Knaud, juga dikenal dengan sebutan Kris of Knaud atau Knaud's Kris, adalah keris tertua yang pernah tercatat di dunia.[1] Keris ini dihadiahkan kepada Charles Knaud, seorang dokter Belanda, oleh Paku Alam V pada abad ke-19 dan saat ini dipamerkan di Tropenmuseum, Royal Tropical Institute, Amsterdam.




Teknik Urik

Teknik Urik Merupakan suatu perpaduan teknik yang menggabungkan teknik tempa lipat dan casting ( cor logam).
dalam KBBI berarti juga ;

urik KN peranti utk melubangi kerangka keris (sejenis pahat);

nguriki 1 melubangi dengan menggunakan urik; 2 membersihkan. 


Teknik Urik sendiri cukup rumit ketika keris yang pada dasarnya merupakan logam pamor lalu diberikan lelehan logam biasanya kuningan, perak ataupun emas, lalu di pahat / ukir pada bagian yang sudah direncanakan. teknik ini juga pernah diterapkan pada Keris Tertua yaitu keris dokter Knaud's.


Doc. Foto Mpu KRT. Subandi Suponingrat . Menunjukkan teknik Urik perpaduan antara Keris tempa diberikan lelehan logam (emas) lalu di ukir (carving) pada bilahnya.



Archaeologists in Germany have unearthed a sword from a Bronze Age burial, and the weapon is in such good condition that it still gleams. The 3,000-year-old sword, discovered in the town of Nördlingen in Bavaria, was found in the burial of a man, woman and child. It appears that the trio were buried in quick succession, but it's unclear if they are related to one another, according to a statement the Bavarian State Office for Monument Protection released on Wednesday (June 14). The sword is so well preserved, "it almost still shines," according to the translated statement. The weapon has an ornate octagonal hilt crafted from bronze that now has a greenish tinge, as bronze contains copper, a metal that oxidizes when exposed to air and water. Archaeologists dated the sword to the end of the 14th century B.C. Sword discoveries from this time and region are rare, as many middle Bronze Age graves were looted over the millennia, the team said. Researchers know of two manufacturing areas for octagonal swords in Germany. One region, a local one, was in southern Germany, while the other hailed from northern Germany and Denmark, according to the statement. It's unknown where the newfound sword was cast. Para arkeolog di Jerman telah menemukan pedang dari pemakaman Zaman Perunggu, dan senjatanya dalam kondisi baik sehingga masih berkilauan. Pedang berusia 3000 tahun, ditemukan di kota Nördlingen di Bayern, ditemukan di pemakaman seorang pria, wanita, dan anak-anak. Tampaknya kerangka tersebut terkubur secara berurutan, tetapi tidak jelas apakah mereka berhubungan satu sama lain, menurut sebuah pernyataan Kantor Negara Bagian Bavarian untuk Perlindungan Monumen yang dirilis pada hari Rabu (14 Juni). Pedang itu sangat terpelihara dengan baik, "hampir masih bersinar," menurut pernyataan yang diterjemahkan. Senjata ini memiliki gagang oktagon berhias yang dibuat dari perunggu yang sekarang memiliki warna hijau, karena perunggu mengandung tembaga, logam yang teroksidasi ketika terkena udara dan air. Para arkeolog memberi tanggal pedang hingga akhir abad ke-14 SM. Penemuan pedang dari waktu dan wilayah ini jarang terjadi, karena banyak kuburan Zaman Perunggu pertengahan dijarah selama ribuan tahun, kata tim. Para peneliti mengetahui dua area manufaktur untuk pedang segi delapan di Jerman. Satu wilayah, yang satu lokal, berada di Jerman selatan, sementara yang lainnya berasal dari Jerman utara dan Denmark, menurut pernyataan itu. Tidak diketahui di mana pedang yang baru ditemukan itu dilemparkan.


Sumber ;
  • Van Duuren, D. ‘Een teruggevonden Indo-Javaans Unicum: De 'Kris van Knaud'. In: Aziatische Kunst, 34-2.’ (Publisher: VVAK, Amsterdam, 2004);
  • Duuren, D., Charles Knaud's Keris, the oldest dated keris in the world: Legend - History - Iconography - Metallurgy. Leiden: Ethnographic Art Books, 2022 (ISBN 978-90-5450–026-1)
  • Krom, N.J. ‘Hindoe-Javaansche Kunst’ (2-volume, Eindhoven, 1920)
  •  van Duuren, David (2002). Krisses: a critical bibliography. Pictures Publishers. hlm. 110. ISBN 978-90-73187-42-9. Diakses tanggal 6 March 2011.
  • ^ Van Asdonck, Marjolein ‘Het sprookje van de kris.’ (Moesson Magazine, Volume 50, no.5, November 2005) p.27
  • ^ Stevens, Th. Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Publisher: Verloren, Hilversum) P.40 ISBN 90-6550-378-1
  • ^ Van Asdonck, Marjolein ‘Het sprookje van de kris.’ (Moesson Magazine, Volume 50, no.5, November 2005) p.27 [1] Diarsipkan 2013-10-02 di Wayback Machine.
  • ^ Muskens, Roland. "Knaud's Kris". Colonial Past, Global Future: 100 Years of The Royal Tropical Institute. Royal Tropical Institute. hlm. 65. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-09. Diakses tanggal 2013-09-28.
  • Lompat ke:a b Van Duuren, D. ‘Een teruggevonden Indo-Javaans Unicum: De 'Kris van Knaud'. In: Aziatische Kunst, 34-2.’ (Publisher: VVAK, Amsterdam, 2004). 

Rabu, 18 Oktober 2023

Keris Dhapur Parungsari

 Keris Dhapur Parungsari 


Keris Dhapur Parungsari, sangat mirip dengan Keris Dhapur Sangkelat, yang membedakannya pada Keris Dhapur Parungsari menggunakan dua Lambe Gajah sedangkan Keris dhapur Sangkelat hanya

menggunakan satu Lambe Gajah.

Itu sebabnya, mengapa masih banyak orang yang salah menamakan Keris Perungsari dengan Keris Sengkelat. Jika dilihat dari filosofinya, "Parung" bisa diartikan dengan deretan lereng bukit dan lembah, sedangkan "Sari" dapat diartikan sebagai bunga.

Jadi Secara harfiah, Parungsari dapat diartikan sebagai hamparan elok bukit dan lembah yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Mungkin itulah pemaknaan paling sederhana, dari Parungsari, Keris ini melambangkan kehidupan yang tentram, damai dan indah seperti hamparan lembah yang ditumbuhi bunga-bunga. Begitu sejuk, damai, harum dan indah.

Itulah makna Parungsari sebagai tuntunan dan harapan bagi pemiliknya agar bisa meraih kehidupan seperti makna Parungsari, Tuah dari Keris ini lebih condong untuk kasepuhan dan kewibawaan.


Sumber; 

KRT. Cahyo Setyonagoro
Sudarto Yoso Purbonagoro


Kamis, 12 Oktober 2023

Kadga Kediri ( Kadhiri)

 Kadga Kediri ( Kadhiri)


Foto : KadgÃ¥ penemuan sungai Brantas wilayah Kadhiri 
Estimasi dibuat di era kerajaan Kadhiri.

Relief Candi Hindu, seperti Prambanan atau yang dalam prasasti disebut Shiwagrha (rumah Shiwa)  yang dibangun pada abad ke 9 oleh wangsa Sanjaya. Pada Candi yang dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu dewa Brahma, dewa Wisnu , dan dewa Siwa ini, terdapat banyak relief yang menggambarkan ksatriya dan  beberapa pasukan Anoman yang memegang KadgÃ¥. 

Pada Candi Panataran yang nama aslinya adalah Candi Palah, sebuah candi keagamaan Hindu Siwaitis era kerajaan Kadhiri (abad ke 13) yang terletak di Kabupaten Blitar, juga terdapat relief-relief yang menggambarkan ksatriya membawa KadgÃ¥. 

Selain itu pada beberapa arca Shiwa juga selain memegang benda lain seperti tombak, vajra, cakra dll, juga ada yang dipahatkan memegang KadgÃ¥. 

Memang jika melihat artefak-artefak sudah ada, keberadaan KadgÃ¥ tidak lepas dari sejarah Hindu di Nusantara. Kadga yang mungkin oleh Ma-Huan disebut Pulak, diyakini adalah prototipe Keris kuno.  Pada prasasti Karang Tengah (746 C)  dan Prasasti Poh (829 C) disebutkan kata Krês atau Keris.  Bahkan menurut Murdoch Smith yang dikutip oleh Soemodiningrat dikatakan bahwa bisa jadi pembuatan keris berpamor sudah dimulai sejak abad ke 1. 

Dari pengamatan ini menunjukkan bahwa  budaya Keris sudah tumbuh di masyarakat Indonesia jauh sebelum abad ke 9 yang ketika itu bentuknya masih sederhana seperti senjata tusuk atau senjata tikam.  Bentuk ini jika kita kaitan dengan dagger atau belati2 bangsa Mesir atau Romawi era sebelum masehi atau pada relief prasasti Ethiopia abad 11-13 juga ada kemiripan. Sepertinya bangsa2 di dunia ketika itu sudah terkoneksi melalui laut dan saling bertukar pengetahuan. Seni tempa sudah maju dan membawa manfaat bagi masyarakat luas. 

..............

MM. Hidayat. 


-------------------



Selasa, 05 September 2023

Ki Siki dari Sedayu

 Ki Siki 

Sang Mpu Pengeran Sedayu


Di wilayah Sedayu, pernah hidup seorang mPu yang berjuluk mPu Ki Siki. Karena juga di wilayah Sedayu, maka kerisnya juga lebih mengacu pada karya karya mPu Pangeran Sêdayu (MPu Supo Mandrangi). Hanya saja garap dan tempaannya tidak sebagus mPu Pangeran Sêdayu. Tapi meski demikian, keris - keris karya Ki Siki dibuat cukup bagus. 

Besinya ditempa matang dengan gÃ¥njÃ¥ Wuwung, sirah cetak lebih lancip dengan gulu méléd yang agak panjang. Wêtêngan tengah tidak gemuk dengan ukuran bilah sedang. Condong léléhnya kadang lebih condong dari keris - keris Majapahit umumnya. 

Konon Ki Siki adalah juga Panjak dari mPu Pangeran Sêdayu ketika berada di Sedayu yang telah diganjar tanah pêrdikan cukup luas. Karena itu karya Ki Siki mengacu pada karya mPu Pangeran Sêdayu.  

Sumber; MM. Hidayat. 


Sejarah Kadipaten Sedayu 

Asal usul nama sedayu/sidayu masih perlu kajian lebih dalam,tetapi nama kadipaten sedayu/sidayu mempunyai peran yang sangat strategis dalam geopolitik dimasa lalu serta mengangkat harkat derajat martabat sedayu/sidayu itu sendiri

Dalam bahasa jawa Seda/seda'h berarti meninggal/mati dan Dahayu/dayu berarti cantik sedangkan jika mengacu kata sida berarti jadi dan Dahayu/dayu berarti cantik

Nama sedayu/sidayu bisa menjadi harum karena berkat pemimpin yang berkuasa

Nama wilayah didalam daerah sedayu telah banyak tertulis di prasasti ataupun cerita cerita rakyat,prasasti yang menyebut sedayu spesifik ialah prasasti karang bogem 1367 m era Kerajaan Majapahit,pada masa Raja Brawijaya, sedayu dipimpin seorang pangeran dari majapahit yang bergelar Pangeran Sedayu ialah Mpu Supo Mandrangi karena memenangkan sayembara membawa kembali keris penting majapahit dan dihadiahi 100 jung ( 1 jung : 28.396 m2) berhak memerintah diwilayah itu. Pada masa Kerajaan Demak bintoro setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit wilayah pesisir utara telah memeluk islam,para penyebar agama islam di wilayah sedayu ialah Sunan Drajat dan Sunan Sendang Dhuwur,begitupun saat peralihan Kerajaan Demak ke Kerajaan Pajang,Kadipaten Sedayu beserta kadipaten lainnya di jawa timur menerima setelah terjadi pertemuan penting yang telah di mediasi. 

Pada masa Kerajaan Mataram islam banyak para pemimpin di jawa timur tidak menyetujui atas berdirinya Kerajaan Mataram islam tak terkecuali sedayu,atas dasar inilah Raja Mataram menundukkan dan ingin menyatukan lagi bekas kekuasaan Kerajaan Pajang dulu,wilayah pemimpin di pesisir utara yang berani menentang ialah Kadipaten Surabaya dan Kadipaten Pasuruan,Kadipaten Sedayu mendukung pemimpin surabaya,ekspansi Kerajaan Mataram ke timur satu persatu berhasil menundukkan penguasanya,Kadipaten Sedayu jatuh Tahun1675 dan diangkatlah seorang penguasa/ adipati di wilayah Kadipaten Sedayu serta Kadipaten Sedayu mendapatkan jabatan strategis oleh mataram saat diperintah Raja Amangkurat untuk zona pesisir utara setelah jabatan sebelumnya dipegang Kadipaten Jepara untuk mengontrol perdagangan serta mengawasi bangsa penjajah yang mulai masuk ke Pulau Jawa. Berikut nama nama penguasa/adipati sedayu era Kerajaan Mataram islam :

1.Adipati Kromo Widjoyo (1675)

2.Adipati Probolinggo

3.Adipati Banten

4.Adipati Suwargo

5.Adipati Sido Ngawen

6.Adipati Kudus

7.Adipati Joko

8.Adipati Haryo Suryodiningrat

9.Adipati Haryo Suryodiningrat 2

10.Adipati Haryo Suryodiningrat 3/R.Badrun.


Saat Kerajaan Mataram terjadi kudeta dari Adipati Madura/Pangeran Trunojoyo,Raja Mataram meminta bantuan kepada kompeni untuk merebut kembali wilayah yang diduduki Adipati Madura,atas permintaan itu maka VOC membuat perjanjian kepada Mataram jika nanti pihak VOC berhasil menumpas pemberontakan maka pesisir utara jawa dan madura menjadi milik VOC dan pihak Mataram harus mengganti biaya perang,perjanjian itu bernama "(Perjanjian Jepara 1677)"

Adipati Sedayu yang terkenal ialah Adipati Haryo Suryodiningrat/ orang sedayu menyebutnya Kanjeng Sepuh Sedayu,ia pemimpin yang dihormati dimasanya dan menentang penjajahan yang dilakukan oleh pihak Kolonial Hindia-Belanda di tanah jawa, ia selalu suka berkeliling di malam hari di seluruh wilayah kadipaten sedayu untuk melihat kondisi rakyatnya hingga tak heran masyarakat sedayu juga menjulukinya sebagai Raden Museng

Saat sedayu dipimpin Raden Badrun,sedayu mengalami kemunduran dan pamor,hal itu terlihat dari pihak Kolonial Hindia-Belanda yang ikut campur ke dalam pemerintahan kadipaten sedayu karena kadipaten sedayu merupakan jajahan Hindia-Belanda sehingga harus tunduk

Banyak faktor-faktor mengapa kadipaten sedayu ini di hilangkan oleh Kolonial Hindia Belanda dalam sejarah indonesia :

1.orang sedayu/ masyarakat umum pesisir utara jawa selalu menentang penjajahan Hindia Belanda

2.pertanian kurang subur,hasil tanaman yang tidak memiliki nilai jual,tidak sesuai keinginan pihak hindia belanda

3.wilayah sering terjadi bencana,banjir saat musim hujan,kekeringan kala musim panas

4.biaya yang tinggi untuk membangun kadipaten sedayu karena dilalui sungai besar

5.pendangkalan pantai pelabuhan dan tidak ramainya aktifitas barang

6.adanya perluasaan wilayah surabaya oleh pihak hindia belanda

7.eksploitasi wilayah pedalaman jawa yang menjadikan jalan daendels sedayu sepi,jalan antara kadipaten gresik dan lamongan dijadikan jalan arteri penting hindia belanda

Atas dasar itu maka Raden Badrun di pindah tugaskan dan menjadi adipati di kadipaten jombang,mengingat Raden Badrun berdarah ningrat trah mataram, kala perpindahan itu wilayah sedayu terjadi pergolakan konflik dan ketidak puasan dari rakyat sedayu dan semakin bencinya kepada pihak hindia belanda,pos pos/rumah belanda di sedayu dibakar oleh rakyat sedayu

Setelah itu kadipaten sedayu statusnya diturunkan dan menjadi kawedanan sedayu dan dimasukkan ke dalam wilayah kadipaten gresik,karena sedayu wilayahnya luas dan kini sebagai kawedanan,maka wilayah sedayu oleh pihak hindia belanda dibagi 2 ,sebagian besar wilayahnya dimasukkan kedalam kadipaten lamongan dan sisanya dimasukkan kedalam kadipaten gresik dan setelah itu kadipaten gresik statusnya juga diturunkan menjadi kawedanan dan dimasukkan kedalam kadipaten surabaya. 



Peta wilayah Sedayu Masa Belanda ( Sidajoe) 

Rabu, 23 Agustus 2023

Api Mrapen 2009

Upacara Ritual Pengambilan Api Abadi Mrapen 2009 


Terletak tidak jauh dari jalan raya Purwodadi – Semarang, tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong, Api Abadi Mrapen mengeluarkan api dari dalam tanah dan tidak pernah padam walaupun turun hujan. Api abadi ini sering digunakan untuk penyalaan obor dalam kegiatan Pesta Olah Raga Nasional maupun Internasional serta untuk Api Dharma Upacara Hari Raya Tri Suci Waisak. 

Api Abadi tersebut diambil guna syarat sebagai penyalaan tungku Api menempa keris oleh Mpu M.Ng. Daliman Puspobudoyo. dalam hal ini , Padepokan Meteor Putih melalukan Prosesi pengambilan Api Abadi di Mrapen. 

Selain itu ritual pengambilan api abadi juga merupakan salah satu syarat pendirian Besalen ( tempat menempa Keris dan tosan aji lain ), syarat lain meliputi sesajen komplit tumpeng dan ingkung, bunga 7 rupa, air 7 sumber, tunas kelapa, beras 4 warna yng melambangkan cakra mandala, Mantra sastrajendra, Tanggap Wayangan dan Arang kayu jati special untuk tempa awal.  

Kenangan; MPU M.Ng. Daliman Puspobudoyo.  


Selasa, 04 Juli 2023

KERIS SAJEN , EPS 2. " KERIS SAJEN DAN FIGUR LELUHUR"

 KERIS SAJEN DAN FIGUR LELUHUR

Oleh; Dian Widiyanarko


Keris sederhana (primitif) berhulu besi berbentuk manusia yang menyatu dengan bilahnya (iras), selama ini dikenal sebagai Keris Sajen atau Keris Putut. Disebut Keris Sajen karena keris ini diyakini dibuat sebagai salah satu pelengkap sesaji. Sedangkan sebutan Keris Putut berasal dari hulunya yang dinilai menggambarkan Putut atau petapa.

Banyak yang meyakini keris ini dibuat untuk sesaji yang kemudian dikubur atau dilarung. Ada juga narasi bahwa keris ini berfungsi untuk media menangkap dan mengurung roh jahat, untuk dibuang jauh-jauh atau dikubur dalam-dalam. Walhasil banyak yang takut menyimpan keris jenis ini di dalam rumah.

Benarkan begitu? Saya termasuk yang meragukan narasi itu.

Sependapat dengan Pak Jimmy S Harianto yang juga meragukan hal tersebut. Pak Jimmy yang banyak mengumpulkan Keris Sajen sejak lebih dari 30an tahun, mengungkapkan bahwa keris ini dibuat dengan sangat serius, maka sayang jika dibuat hanya untuk dibuang.

Apalagi jika dlihat dengan seksama, keris ini baik yang berbentuk lurus, luk, mirip Keris Sombro, sampai yang berbentuk Cundrik, semuanya ditemukan dalam kondisi baik walau sudah ratusan tahun usianya. Tidak compang-camping seperti keris temuan sawah atau sungai.

Maka bisa diasumsikan keris jenis ini tampaknya disimpan dengan baik di tempat yang terlindung. Misalnya di dalam tempat ibadah atau candi, atau di dalam rumah. Seperti keris serupa yang ditemukan di dalam puncak Candi Borobudur.

Itu karena keris ini dibuat sebagai jimat atau amulet. Ini sesuai dengan yang ditulis kolektor dan peneliti Keris Sajen; Theo Alkema, Ben Grishaaver, dan Karel Sirag, dalam buku “Iron Ancestors: Keris Sajen, Keris Majapahit, and Related Objects” (2010).

Theo dkk. mengungkapkan keris seperti ini tidak hanya ada di Jawa tapi juga di daerah lainnya di Nusantara. Misalnya ada Keris Sajen luk sembilan dari Keluarga Sultan Iskandar Muda dari Aceh yang kemudian dibawa ke Belanda. Ada juga keris serupa di Kalimantan yang disebut Keris Dohongs dan lain sebagainya.

Keris ini berfungsi sebagai jimat atau spiritual object. Berbeda dengan keris hulu terpisah (separated hilt) yang lebih besar dan fungsional senjata tikam.

Keris seperti ini menurut Theo dkk. dikenal sebagai Keris Majapahit, padahal usianya lebih tua dari zaman Majapahit. Sebutan itu lebih pada aspek marketing, terutama di dunia Barat, di mana orang lebih tertarik dengan label Keris Majapahit. Jadi bukan merujuk pembuatan di era Majapahit.

Theo dkk. mengungkapkan keris ini terisnspirasi oleh senjata tikam dari Kebudayaan Dong Son yang dikenal dengan Dong Son Dagger. Dari bentuk Dong Son Dagger ini kemudian dimodifikasi dengan pengaruh budaya Nusantara dan menjadi bentuk Keris Sajen.

Maka jika di Dong Son Dagger orang di hulunya berdiri dan berkacak pinggang, di Keris Sajen orangnya jongkok (squatting position). Ini menggambarkan posisi bayi di dalam kandungan yang bermakna asal mula kehidupan (sangkan dumadi). Ada pula yang memaknai posisi duduk para dewa (pralambapada positon).

Mengenai bentuk orang di hulu besi iras ini, Theo dkk. menyatakan bahwa itu adalah figur leluhur yang diukir di besi: Iron Ancestors. Ini lebih cocok dibanding tafsiran itu figur Putut atau petapa (ada yang bilang Putut ini asisten petapa).

Figur leluhur lebih pas, karena leluhur punya peranan sentral bagi masyarakat di Nusantara. Penghormatan dan kepercayaan akan perlindungan dari leluhur sangat kental. Tak heran jika kemudian figur leluhur dimunculkan pada keris yang dibuat untuk menjadi amulet atau jimat.

Jimat yang dibawa atau disimpan di tempat terlindung inilah, yang membuat keris ini terjaga melewati banyak generasi. Saya sendiri pernah melihat nenek buyut saya menyimpan jenis keris ini di kamar tidurnya. Bentuknya persis cundrik yang ada di tempat Pak Jimmy dan di buku Iron Ancestors.

Lalu apakah Keris Sajen adalah induk dari semua keris?

Theo dkk. mengatakan memang keris dengan figur leluhur ini termasuk keris tua dan mula-mula, tapi bukan induk semua jenis keris. Karena selain Keris Sajen yang dipengaruhi Dong Son Dagger, belati India berbentuk daun atau Kadga, juga memberikan pengaruh. Pengaruh India ini melahirkan bilah lain yang kemudian melahirkan keris Budha sampai jadi keris terkini.

Keris dalam bentuk dan fungsi terkini merupakan hasil evolusi berabad-abad dengan pengaruh berbagai budaya dan kepercayaan. Termasuk dari Keris Sajen, terutama pada aspek spiritual object.

KERIS SAJEN , EPS 1. "PROTOTYPE KERIS PERTAMA"

 'Prototipe' Keris awalnya dibuat secara 'iras'

Oleh; Ady Sulistyono


"Artefak' dapat dikatakan sebagai 'fosil tingkah laku' manusia atau 'ide
yang memfosil' yaitu ide yang tersembunyi didalam gagasan dari
sipembuatnya (Deetz, 1967, 46-48).""
Pada karyaseni keris seperti karyaseni-karyasenii lainnya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
- karyaseni Primitip : diwujudkan kedalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak terikat aturan kerajaan.
- karya seni klasik : diwujudkan kedalam bentuk yang sempurna mengikuti aturan kerajaan.
Sebagai 'prototype' Keris awalnya dibuat secara 'iras' /satu bagian dan satu bahan sejak dari bagian bilah-methuk-jejeran (hulu/danganan/deder). Masih diwujudkan secara sederhana belum terikat oleh gaya kerajaan, masuk kedalam kriteria 'seni primitip'. Selanjutnya dalam pengembangan oleh generasi selanjutnya seiring sudah adanya kerajaan beberapa bagian dari prototype keris yang semula 'iras' mulai dibuat secara terpisah, yaitu Bilah - Gonja - Methuk dan bagian Jejeran/Hulu yang sudah 'didelegasikan' pembuatannya kepada orang lain, dibuat dengan bahan lain seperti Emas, Perak, Gading dan Kayu dengan bentuk 'ganan' dibuat berupa tokoh Dewa2 atau sosok manusia selanjutnya pada tradisi tertentu terjadi 'stilasi' pada bentuk-bentuk ganan tsb sehingga menjadi ukiran/deder seperti yang dipakai oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.

Perkembangan selanjutnya bagian 'methuk' yang semula berbahan dari 'besi wasuhan' yang dibuat dan dikerjakan oleh Sang Mpu keris sebagai contoh pada bilah keris yang disebut 'Jalak buda', didelegasikan pembuatannya kpd 'tukang kemasan' dg sedikit perubahan sebagai sebuah inovasi pada bentuk maupun bahannya (emas, perunggu, perak, tembaga) dan penambahan batu permata (intan, mirah dsb) yang kemudian disebut 'Mendhak' atau apapun sebutannya menurut daerah masing2. Menjadi tanggung jawab insan perkerisan untuk menelusuri mulai kapan perubahan methuk menjadi mendhak terjadi.

Tentang pemaknaan atau penanaman simbol yang disematkan pada Keris akan berbanding lurus dengan Kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, dari kepercayaan-kepercayaan asli dari para leluhur Nusantara sampai masuknya Agama 'Çiwa-Budha-Islam. Adanya perubahan kepercayaan yang dianut Keris tetap dibuat mengindikasikan bahwa simbol-simbol yang sejak awal mula ditanamkan tidaklah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku pada kepercayaan-kepercayaan baru yang dianut. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat leluhur kita dalam kepercayaannya sejak awal menganut konsep monotheisme yang juga merupakan konsep dasar yang digunakan pada agama-agama selanjutnya yang datang ke Nusantara dlm ber-Tuhan.
Karya Keris sebagai sebuah karya seni yang masuk kedalam ranah 'Seni Tradisi' mempunyai 'karakteristik' bahwa generasi selanjutnya juga membawakan 'gaya-gaya' sebelumnya, sehingga karya Keris yang 'iras' juga masih dibuat oleh generasi berikutnya, diera Majapahit, Cirebon.
Adanya keris yang dibuat secara iras yang ditemukan di Stupa puncak Candi Borobudur yang 'bergaya primitip' bisa mengindikasikan bahwa 'prototype keris' pada waktu itu sudah ada dan bahkan keris iras tersebut dibuat/sudah ada di era sebelumnya.

Dari artefak-artefak Keris dari yang iras dan yang tidak iras maka kita dapat mengetahui dan memahami perjalanan sejarah, pengembangan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh generasi selanjutnya sehingga menjadi seperti bilah keris/keris yang kita lihat saat ini.
Manusia adalah mahkluk pengguna simbol-simbol (homo symbolicus) adanya bentuk tempat memegang/pegangan yang berujud 'ganan manusia' (sering disebut puthut) pada bilah 'keris iras' sebagai purwarupa bilah keris mempunyai rmakna bahwa keris adalah simbolisasi dari si manusia itu sendiri.

Disebut dengan 'prototype/purwarupa' karena pada kenyataannya terjadi 'pengembangan/penyempurnaan' oleh generasi selanjutnya seperti 'kisah perjalanan' yang saya uraikan diatas.
Contoh gambar : beberapa 'Keris Iras' dengan berbagai 'gaya jaman', salah satunya ditemukan di Stupa Borobudur.

Minggu, 02 Juli 2023

Keris Pasopati

 Keris dengan dapur Pasopati 

Foto; Komunitas Cinta Budaya 

Keris dengan dapur Pasopati sarat dengan makna dan filsafat yang sangat dalam. Pasopati adalah simbol akan kepemimpinan, suatu perjuangan dan sebuah kesetiaan. Ricikan keris lurus tanpa luk agar orang yang memilikinya tidak akan goyah pendiriannya, lurus dalam perjalanan hidupnya, serta menjadi seorang pemimpin yang berpendirian teguh. 

Itulah sebabnya kepemilikan keris dhapur Pasopati pada jaman dahulu identik dengan senopati atau panglima perang. Tidak sembarang orang dapat memiliki keris dhapur tersebut. Dan hingga kini keris berdhapur Pasopati banyak diburu oleh mereka yang terjun dalam dunia politik dan militer

Minggu, 25 Juni 2023

Wedung Episode 2

 Wedung di Dalam Dunia Keraton 

dikutip Dari tulisan Mas BS, beliau keturunan  mangkunegara yang tinggal di Belanda.

#Wedhung 

"......#wedung – senjata tebas yang mirip dengan golok cacah berujung runcing. Dalam bukunya The History of Java, #Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, bahwa seseorang yang akan menghadap pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDUNG….Dia mengenakan kuluk yang mulai dieperkenalkan oleh Sultan.....".

Di masa lalu adalah senjata para prajurit estri (wanita) yang pernah aktif sebagai abdidalem di lingkup tembok Kraton Kasunanan Surakarta. Prajurit wanita ini menjadi pengawal terdekat "bodyguard" raja pada acara - acara tertentu dan mereka selalu berada di sekeliling raja dilengkapi dengan senjata wedhung. Di jaman sekarang mereka setingkat dengan Paspampres.

Wedhung juga sempat menjadi hadiah dari S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono X di acara kenaikan tahta Ratu Wilhelmina menjadi Ratu Kerajaan Belanda yg mengambil lokasi di Nieuwe Kerk Amsterdam dan  diserahkan secara langsung oleh utusan dari Kasunanan : K.G.P.H.Ario Mataram, putra ke-3 S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono IX (yg lahir dari priyantundalem : Raden Ayu Dewaningrum) & kakak dari S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono X  kepada sang ratu.

Ratu Wilhelmina lahir pada 31 agustus 1880. Menjadi Ratu Belanda mulai dari 23 november 1890 sampai dengan 4 september 1948.


Pemakaian Wedung oleh Abdi Dalem 
di acara pisowanan di Sasono Sewoko Kraton Surakarta ,
foto doc. 1940 


Detail Pemakaian Wedung Pada Abdi Dalem wanita Pemerintahan Keraton Surakarta. 1940. 




Foto Para Bodyguard Wanita di Depan Ruangan Raja Kraton Surakarta, SISKS PB X, 1939. 

Para prajurit estri (wanita) yang pernah aktif sebagai abdidalem di lingkup tembok Kraton Kasunanan Surakarta. Prajurit wanita ini menjadi pengawal terdekat "bodyguard" raja pada acara-acara tertentu dan  mereka selalu berada di sekeliling raja dilengkapi dengan senjata wedhung.


Wedung Koleksi Pak Guntoro KCB
Wedung Foto; Pak Guntoro KCB 



BANTEN JEJAK YANG HILANG
Keris-keris Sultan Muhyi

Di dunia perkerisan, Banten merupakan “jejak yang hilang”. Jejak sejarahnya ada, terrentang dalam kurun waktu lama (1526-1813). Tiga abad lebih, tapi konon "kerisnya nggak ada". Kerajaan ini pernah jaya dan kaya raya karena rempah-rempah terutama lada yang ditanam di wilayah Lampung. Bandarnya pun internasional, dan banyak berhubungan dengan negara-negara Eropa. Tak hanya Belanda, akan tetapi juga Portugal dan Inggris. Namun di dunia perkerisan – yang sering menyentuh jejak sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu – bekas sejarahnya seolah hilang ditelan zaman. Tidak dikenal jejak kerisnya di negeri sendiri, akan tetapi justru bertebaran peninggalannya di seantero kerajaan di Eropa.
Kerajaan Banten merupakan pengembangan kekuasaan kerajaan pesisir ‘penerus’ Majapahit, yakni Demak dan Cirebon. Bahkan Sultan pertamanya adalah putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Peninggalannya Demak di Cirebon? Ada banyak. Terutama saat Demak dan Cirebon membentuk aliansi, terutama setelah Adipati Unus menikah dengan putri Cirebon Putri Wulung Ayu anak Sunan Gunungjati di abad ke-16. Mas kawinnya, selain seperangkat gamelan berukir indah – kini sisanya masih disimpan di Museum Keraton Kasepuhan -- tinggal kayu berukir gantungan gong, serta sisa-sisa instrumennya. Ada juga peninggalan empat pucuk wedung dari Pati Unus untuk mertuanya, Sultan Cirebon, yang sampai sekarang bisa dilihat di sebuah ruangan khusus di Museum Kasepuhan, namanya Gedong Jinem. Ruangan khusus ini hanya dibuka seminggu sekali pada hari Minggu (atau Jumat) di museum yang setiap hari dibuka untuk umum dari 08.00-14.00.
Adipati Unus, memerintah di sela pemerintahan Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memerintah (1505-1513) dan (1521-1546). Sedangkan Pati Unus memerintah Demak (1518-1521). Trenggono kakak Adipati Unus. Sementara Adipati Unus, adalah Putra Mahkota Raden Patah buah perkawinan dengan putri dari Vietnam (menurut sebuah sumber tertulis). Pati Unus meninggal dalam serangan tentara Demak ke semenanjung Malaya. Serangan Demak ke Malaya ini adalah serangannya yang kedua.
Sultan Muhyi
Kerajaan Banten – yang didirikan atas aliansi Demak dan Cirebon – mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Maka kalau kedua duta (yang ditulis di atas, disebut oleh Inggris sebagai Sir Abdul dan Sir Ahmed), itu tentunya terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa ini (1682).
Apakah ada jejak kerisnya, baik gaya pembuatan bilahnya maupun warangkanya yang menjadi semacam identitas setiap kerajaan? Rupanya ada. Dan tersimpan dengan baik serta rapi, bisa dilihat sampai hari ini di satu etalase khusus pusaka-pusaka peninggalan Sultan Muhyi (Muhyiddin Zainussalihin). Pusaka-pusakanya tidak hanya masih utuh, akan tetapi juga unik. Dan jika dicermati teliti, gaya pembuatan bilahnya tidak sama dengan keris-keris Jawa yang dikenal masyarakat perkerisan. Terutama rancang bangunnya. Dimensinya juga beda (lebih besar dan lebih kekar dari keris-keris Mataram). Akan tetapi, ada kemiripan dengan Cirebon. Tetapi tidak sama.
Kisah di balik peninggalan yang cukup ‘lengkap’ dari Sultan Muhyi di Museum Gajah ini ternyata cukup getir. Ia tidak lama memerintah (1799-1801). Penggantinya, putra mahkota Muhammad Syafiuddin masih belum dewasa, sehingga pemerintahannya dipegang wali yang bernama Suramenggala, sebagai caretaker atau wakil sultan.
Pada masa kekuasaan Muhammad Syafiuddin (1809-1813) – yang ketika bertahta bergelar Sultan Muhammad bin Muhyidin Zainussalihin – Banten begitu lemah akibat tekanan global silih berganti mempengaruhi negeri kaya, Banten ini. Sebelum Sultan Syafiuddin (ada yang mengeja Shafiuddin) ini bertahta, pada 22 November 1808, Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang, bahwa “wilayah Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda...,”
Kemudian, ketika Inggris memerintah Hindia Belanda (1811-1816) setelah jatuhnya pelabuhan Batavia ke tangan 60 armada Inggris (menurut sejarawan McRicklefs pada 1 Agustus 1811), maka Sultan Muhammad Shafiuddin anak Sultan Muhyi ini dilucuti serta dipaksa turun tahta oleh penguasa Inggris, Thomas Stamford Raffles (1813). Berakhir pulalah, riwayat kerajaan Banten.
Dilucutinya Sultan Shafiuddin anak Sultan Muhyi ini merupakan puncak runtuhnya kekuasaan Banten, setelah sebelumnya semasa Sultan Ageng Tirtayasa di abad 17, Banten pernah diblokade perusahaan dagang Belanda, VOC. Tindakan yang membuat Sultan Ageng tidak senang, membuat Sultan Ageng Tirtayasa pun memimpin rakyat Banten untuk menyerang VOC di Batavia pada 1656.
Nah, perlucutan Sultan Shafiuddin oleh Inggris ini merupakan kemuncak keruntuhan Banten. Banten secara fisik sudah dihancurkan lebih dulu oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1808, Herman Willem Daendels Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1810) memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer demi untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer, dan menyediakan tenaga kerja guna membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, maka sebagai jawaban balik Daendels pun memerintahkan penyerangan atas Banten. Dan Istana Banten, Surosowan pun dihancurkan rata tanah. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan, Istana Surosowan sebelum diruntuhkan, dan kemudian dipindah penjarakan di Benteng Speelwijk milik Hindia Belanda. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutagin kemudian diasingkan ke Batavia. Dan pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari benteng Speelwijk, Kesultanan Banten sudah diserap masuk Hindia Belanda. Selain itu, Daendels juga mengeluarkan keputusan bahwa Banten melepaskan kekuasaannya atas Lampung, daerah perkebunan lada kerajaan Banten.
GANJAWULUNG PAKBO (15/06/2022)




Wedhung, Senjata Khas Pengawal Raja

Wedhung
Wedhung adalah sebuah senjata tradisional Kerajaan Mataram Islam yang berbentuk pisau dapur besar. Menurut keterangan dari beberapa sumber, sejak dulu hingga sekarang wedhung merupakan senjata ampilan (resmi) bagi para abdi dalem keraton yang berpangkat lurah ke atas (baik laki-laki maupun perempuan) dan para pejabat keraton.
Menurut Pustaka Sri Radyalaksana, wedhung yang dikenakan oleh pejabat tinggi keraton dinamakan dengan Pasikon. Dalam bahasa Jawa Krama Inggil, pasikon berarti bahwa senjata tersebut dipakai lurus dengan siku kiri dan berada pada tali kampuh, dan tali kampuh tersebut dipakai di pinggang, senjata tersebut lurus dengan cethik sethik sebelah kiri.
Senjata tradisional ini terdiri dari bilah wedhung, sarung, dan sangkelitan (semacam penjepit yang melekat pada sarung wedhung). Untuk bilah wedhung sendiri terbuat dari besi dan baja, meskipun ada pula wedhung berpamor. Sarung wedhung terbuat dari kayu trembolo, cendhono, ataupun jenis kayu keras lainnya. Sedangkan sangkelitan terbuat dari kulit penyu yang dapat diikat dengan pengikat dari kuningan,perak, atau rotan.
Wedhung merupakan senjata yang menjadi ukuran tinggi rendahnya seorang pejabat yang memakainya. Pejabat keraton yang berhak menggunakan wedhung adalah abdi dalem keraton dengan pangkat Riyo, Wedono, Kliwon, dan Lurah menurut Kitab Pusaka Sri Radyalaksana.