Rabu, 11 Januari 2023

Wulan Tumanggal Keris

Keris Wulan Tumanggal
Oleh; KRT. Cahya Surya Harsakya Sonto Djojowinoto, M.Sn.

    Keris Bahari Yang melanglang buana, ageman para Petinggi Komandan Armada Angkatan Laut Kerajaan (Laksamana Rajamala).

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah penanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji..” (QS Al Baqarah: 189)

    
        Wulan Tumanggal adalah jenis Warangka yang digunakan pada jaman Mataram Islam. Setelah perpecahan Mataram yang menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta, pada umumnya Warangka yang digunakan adalah jenis Ladrang untuk Surakarta dan Gayaman untuk Yogyakarta. Pada perkembangannya, Warangka jenis Wulan Tumanggal ini kemudian dipakai pada jenis keris-keris Sumatra.


Wulan tumanggal, dulunya adalah warangka di Kesultanan Demak (negara Islam di Pantai Utara Jawa 1480-1550)


Bentuk Wulan Tumanggal sudah sangat lama tidak dibuat di Jawa, menurut Harsiruksmo (Ensiklopedi Keris) sudah tidak dibuat sejak akhir zaman Kartosuro (1680-1745).


Salah Satu Warangka Wanda Surakarta dengan bentuk Wulan Tumanggal

        Warangka Wulan Tumanggal adalah gambaran bulan sabit yang distilisasi. Wulan artinya rembulan. Tumanggal artinya menjadi penanda waktu masuknya tanggal baru, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. Dalam sejarah, bentuk bulan sabit pernah digunakan untuk merepresentasikan panji-panji Kesultanan Islam. Salah satu puncaknya adalah masa Daulah Turki ‘Utsmaniyah, di mana gambar bulan sabit menghias bendera, pataka, hingga diderivatkan pada berbagai lambang yang dipakai baik institusi sipil maupun militer. 

        Di Nusantara, sebagai bagian kebanggaan akan hidayah Allah dan syiar agama; dari masa Demak hingga bertakhtanya Sultan Agung di Mataram, konon ramai khalayak mengenakan warangka yang berbentuk Wulan Tumanggal bagi keris mereka. Dalam berbagai referensi malah digambarkan bahwa panji Mataram adalah keris bersilang dengan bulan sabit di atasnya berlatar warna merah.  Dengan Perjanjian Giyanti pada 1755 membagi Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, terjadi pemisahan budaya. Yogyakarta di bawah Sultan HB I meneruskan tradisi Mataraman, sementara Surakarta di bawah Sunan PB III melakukan yasa enggal, membuat kreasi baru. Maka di Yogyakarta bertahan warangka keris Gayaman dan Branggah dengan dedernya, sementara Gayaman dan Ladrang Surakarta tercipta dengan jejerannya.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar