Jumat, 13 Januari 2023

Keris Rajahkalacakra dan Ilmu senggarageni

 Keris Rajahkalacakra dan Ilmu senggarageni 

        


        Keberadaan bilah keris Kyai Rajah Kalacakra dalam masyarakat Jawa sejak akhir abad 15 dikenal memiliki kaitan dengan persoalan esoteri. Setidaknya hal itu diketahui secara terbuka pada saat dipergunakan oleh Sunan Kudus untuk kepentingan penerapan bagi jalannya ilmu rajah kalacakra 4 dalam kaitan penyelesaian persoalan suksesi tahta Kasultanan Demak melalui cara-cara yang bercorak politis. Sedangkan keterangan yang tertutup yang diperoleh dari beberapa orang yang mengenal dan memiliki kedekatandengan keris tersebut, 5 menyatakan bahwa sebagian dari mereka pernah menggunakan bilah keris itu (ada yang sebanyak sekali atau bahkan lebih) sebagai kelengkapan dalam mempelajari dan melaksanakan laku amaliah dari ilmu senggarageni, yang secara umum lebih dikenal sebagai ilmu rajah kalacakra. 6 Penggunaan piranti pembantu seperti itu, dapat kita temukan pula pada keris-keris pusaka jaman kuno lainnya, meski sejak jaman awal, yakni tatkala Mpu Wanapala Wijaya yang terkenal sebagai Mpu Ramadi di Medang Kuno menciptakan bilah keris seperti Sang Mahesaséla (306) atau Sang Lar Ngatap (311) yang memiliki kaitan pula dengan kemampuan menjalankan tradisi laku esoterik.7 Memang, tidak semua keris pusaka dalam penciptaannya dikaitkan dengan laku ilmu isoteri. Hasil temuan sementara dalam telaah saya misalnya, ternyata dari keris-keris babaran Mpu Ramadi hanya sekitar separoh atau 50 persen saja yang dikaitkan dengan laku ilmu isoteri. Namun kebiasaan bagi pembabaran keris pusaka yang dikaitkan secara sistematik, padu dan harmoni antara tujuan esoteri dan fungsi eksoteri, terutama berlangsung setelah jaman Sigaluh Kuno, dirintis tokoh semacam Mpu Begawan Wilwatikta (patrem Sang Sinanggar Angin). Pada jaman Mataram Kuno juga dikembangkan oleh Mpu Resi Drupo (tombak Sang Beras Klinthing), Mpu Maharesi Watugunung (keris Sang Sembrani), dan kemudian Mpu Sindok (keris Sang Pulanggeni dan keris Sang Kalamayit). Sedang pada jaman Kahuripan, dilakukan oleh Mpu Baradhah (keris Sang Srenggana) atau Mpu Taksaka Murdha (keris Sang Pasopati). Dalam pada mana kapasitas keilmuan dari kekuatan halus yang ada dibalik bilah keris, berhubungan dengan piranti kelengkapan dari aspek laku esoteri yang banyak dikaitkan dengan kepentingan kekuasaan dalam kesejahteraan hidup dan keamanan. 


        Ilmu senggarageni merupakan salah satu ilmu esoteris, yang dahulunya diajarkan Syèikh Jumadilkubra dan biasa ditindakkan oleh Pangéran Alit yang bernama Raden Angkawijaya dan bergelar Bhré Kertabhumi di Majapahit. Ilmu merupakan tindak lanjut bagi mereka yang telah menguasai pelbagai kompleks pengetahuan esoteri tertentu, dengan basisnya telah menjalani puasa keilmuan dan kemudian melaksanakan ilmu qasam. Senggarageni diamalkan melalui prosesi “amalan khusus”, yakni suatu ritus keilmuan yang dilakukan dengan niat untuk pembersihan jiwa dan pendalaman esoteri, setelah bersuci (bersih badan, pakaian, niatan dan telah mengambil air wudlu), kemudian duduk bersila sebagaimana laku berdzikir menghadap ke arah kiblat, dengan melafadzkan kumpulan doa tertentu secara berulang-ulang hingga sampai ke tingkat hening dan sikap pasrah kepada Allah. Amalan ini dilaksanakan dalam suatu kamar khusus yang bersih dan terbebas dari pelbagai kegiatan lain. 

        Amalan khusus dilanjutkan amalan senggarageni. Diawali niat dan takbiratul ikhram, kemudian memasuki pelafadzan doa secara berulang-ulang hingga jumlah tertentu, dengan pemusatan perhatian dan pengaturan nafas, serta irama bacaannya. (Sebelumnya bilah keris Kyai Rajah Kalacakra telah dikeluarkan dari warangka dengan tangan kiri dan diletakkan di atas pangkuan). Pada saat pemusatan, yang bersangkutan akan mengalami perasaan-perasaan tertentu. Sejak adanya pusaran panas dari dalam perut, hingga naik sampai di bagian kepala, dan kemudian di tengah rasa hening akan merasakan seperti orang yang dirinya mulai terangkat naik ke atas. Pelbagai rasa spiritual dan proses komunikasi esoteri mereka alami. Pada saat dirinya seakan sudah turun kembali ke bawah, maka tubuhnya bagai masuk ke pusaran air, merasakan hawa dingin. Setelah itu, amalan diakhiri dengan semacam doa witir. 

        Bilah keris dimasukkan ke dalam warangka, dan selesai. 7 Persoalan proses ilmu esoteri yang dimasukkan ke dalam bilah keris pusaka, hingga sekarang (2019) masih saya telaah dalam penelitian “Tradisi tutur Perkerisan Mpu Ramadi”. Proses itu dirintis Mpu Ramadi, dan dibahas secara lebih sistematik sejak jaman Mataram Kuno di bawah pemerintahan Mpu Sindok (929-947).



    Rajah kalacakra dalam perkerisan berbeda secara konseptual dengan rajah kalacakra dalam perwayangan. Dalam perwayangan, keberadaannya dikaitkan dengan tradisi ruwatan melalui penerapan matram (dalam bentuk suara) caraka balik, sastra pedati, rajah kalacakra dan kumbalageni. Dengan maksud agar kelompok manusia tertentu selamat dan sejahtera, serta tidak menjadi korban dan tidak diganggu Bethara Kala sebagai pembawa nasib sial. Hal itu dilatari oleh kesadaran manusia terhadap keberadaannya yang terikat pada tanah dengan suatu patronase sosial di bawah kepemimpinan setempat yang didasarkan atas hukum keluarga dan hukum agraria, yang menempatkannya sebagai pusat dan karena itu disebut pancer, yang secara leksikal artinya oyod lajer, kang dadi baku utawa paugeran. Itu merupakan “kesadaran simbolik” yang telah melahirkan tradisi-tradisi sosial baik dalam bentuk norma, kebiasaan dan proses ritual, maupun ragam seni tradisi termasuk ruwatan Bethara Kala. Sedang rajah kalacakra dalam perkerisan, berkaitan dengan “kesadaran isoteri”, yang berkembang tatkala untuk menata kehidupan praksis, sosial dan moralnya, manusia berpaling ke langit. Dari langit, orang menjelaskan tentang ruang yang berisi daya-daya magis, yang harus dipahami aktivitas dan daya-dayanya agar mampu memperhitungkan dan menghindari pengaruh yang membahayakan dalam kaitan kepentingan duniawiahnya. Corak sinkretis membedakan “yang jasmani” dan “yang rohani”, melahirkan kesadaran esoteri sangkan paraning dumadi berpusat pada kesadaran penciptaan, rasa keimanan, spiritualitas serta rasa kesucian. Di sini, kehidupan manusia muncul dalam dua dimensi paralel, yaitu badan fisik dan badan halus, yang terbentuk melalui psikologi, emosional, pikiran, non-fisik, yang seluruhnya adalah enerji. Badan halus terdiri dari nadi (saluran enerji) yang dihubungkan oleh persetujuan enerji psikis yang disebut cakra. Cakra ini dibangkitkan dan dienerjikan sebagai bentuk inner-self melalui latihan pernafasan dengan metoda meditasi. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikembangkan melalui pola samadi yang disebut tapabrata, disatukan dengan konsep dzikir sebagai bagian dari metodologi esoteri. Penerapannya dikembangkan sejalan tahap-tahap kehidupan lain, di antaranya aplikasi sinkronik antara pola dzikir dengan pelepasan dalam yoga untuk tindakan ilmu senggarageni atau rajah kalacakra, disertai hasil terapan ilmu dan teknologi semacam keris sebagai piranti penguatnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar